E-mail

“Kenapa?” “Kenapa lo se-gegabah itu? gak mau pikirin baik-baik dulu?”

Alam memandang sungai Thames yang terbentang didepannya, duduk disamping Rara pada kursi panjang dipinggir pedesterian. Perempuan itu meringkuk, memeluk lututnya seraya termenung menatap lurus kedepan.

Usai mendengar curhatan mantan gebetannya itu, Alam malah bingung harus berkata apa, pasalnya urusan rumah tangga serta beberapa rahasia yang baru saja dilontarkan oleh Rara sungguhlah rumit.

“Ya gak cinta kali guanya.” Jawab Rara gamblang.

Alam menghela napas pelan. “Lo se-yakin itu mau cerai?” Ia berusaha meyakinkan Rara akan keputusan wanita itu.

Rara menggedikkan bahu. “Jujur Gatau. Tapi, gua udah mikirin ini dari lama Lam, kebetulan temen SMA gua ada yang lawyer.” Terpancar tatapan kosong dari manik Rara. “Jujur, gua gak terlalu sakit hati soal Maudy, atau mungkin karena ada yang lebih bikin sakit kali ya jadi gagitu gua pikirin yang itu. Gua lebih sakit hati soal berkas perjanjian itu. Harga diri gua rasanya murah banget, Lam.”

“Kaya di jual sama keluarga sendiri.” Tambah Rara.

Kaya di jual sama keluarga sendiri.

Alam terdiam.

“Bahkan, sakitnya gak bisa gua deskripsiin.” Ucap Rara lagi.

Sakitnya gak bisa gua deskripsiin.

Ya, ini sudah soal harga diri. Siapa pun tidak akan mau menurunkan egonya kalau sudah menyangkut sebuah martabat.

Alam masih terdiam, bingung akan respon apa yang harus ia berikan, semua hal yang Rara ceritakan dengan gamblang barusan bukanlah sesuatu yang pernah ia alami.

Rara menoleh, menatap hampa pria yang kini tengah termenung tak merespon ceritanya. Ia tersenyum tipis.

Rara mengangguk-angguk kecil seraya mengalihkan netranya ke sungai didepan sana. “Gua cuman mau cerita aja Lam, jangan dijadiin beban pikiran ya? sorry kalau lo malah jadi mikir keras harus gimana...” Rara tersenyum kecut, lalu mengambil napas panjang. “I just... don't know how to act now. Semuanya kaya semu Lam buat gua, baru aja gua seneng, taunya palsu dan Anggar lebih milih nemuin... maybe his ex-sweetheart, I don't know haha.”

“Lo cemburu?” Alis Alam naik satu, pernyataan Rara yang kontradiktif barusan membuatnya heran, baru saja perempuan itu berkata ia sakit hati soal berkas perjanjian keluarganya, namun sekarang malah membahas soal perempuan lain. Dasar cewek.

“Kenapa gua harus cemburu?” Tanya Rara, alisnya menukik tajam.

“Kenapa lo gak harus cemburu?” Alam malah bertanya balik membuat Rara semakin heran.

Plok!

“Ih!!” Rara menepuk pelan pundak Alam, merasa kesal akan pemutaran kata yang Alam lontarkan. “Apaansih lo.”

“Tau gitu, dari awal harusnya sama gua aja ya.” Alam malah bercanda ditengah-tengah galaunya Rara, tertawa lah Rara dibuatnya.

Dasar, sebuah obrolan yang gak nyambung!

“Gak jelas! gak bisa gua sama lo Lam. Alergi.” Rara bersedekap, merasa mantap akan kata-katanya.

“Lo aja kali seleranya om-om, makanya milih bang Anggar.” Celetuk Alam.

“Lah dari pada milih brondong kaya lo, yeu! Lagian kita cuman beda 2 taun kali, mana ada om-om!” Rara mencibir pelan.

“Lah brondong yang minatin banyak anjir, janda perancis juga doyan ama gua.” Saut Alam seraya terkekeh pelan.

“Etdah.” Rara malah terbahak, merasa sautan Alam lucu. “Perapatan Ciamis kali ah.”

“Apa yang salah sama prapatan Ciamis? rasis lo!” Alam berseru pelan.

“Dih, gelo ngata-ngatain aing rasis tetibaan kitu.” Reflek Rara menoleh kearah Alam.

“Wedeh, bisa ngomong sunda dikit-dikit nih.” Alis Alam naik turun, mencoba meledek Rara.

“Biasa ajaran Aras, teteh-teteh yang gak teteh samsek karna bangor.” Jawab Rara santai.

Alam langsung terbahak kencang. “Apaan dah, teteh-teteh yang gak teteh.” Masih terkekeh pelan, Alam manggut-manggut kecil. “Iya ya, paling plengosan tu anak, demen banget kelapayan tengah malem. Pantes aja nyokapnya galak.”

“Ya gitu dah pokoknya teteh-teteh yang gak teteh, males jelasinnya.”

Okay, okay, back to topic. Jadi?” Alam menatap Rara intens.

“Ha?” Rara melirik Alam sekilas.

“Ho.” Alam berdecak sebal. “Ya itu, lo demennya yang tua-tua makanya gak demen brondong.”

“Dih, kan, malesin. Sok tau, suka sih, yang muda-muda sedep, apalagi dosen muda.” Rara masih mencoba untuk bercanda

Dosen muda nya udah kandas tapi, ya kan Nggar?

“Yee!” Alam memutar bola matanya malas seraya tersenyum miring. “Suka mah, suka aja Ra, susah amat ngak—

“Bercanda ih!” Sela Rara cepat. “Gua gak serius kali, lo mah gak paham inside jokes! malesin.” Rara menegakkan tubuhnya sembari bersedekap, ia memalingkan wajahnya, berpura-pura ngambek.

“Iya deh.” Alam hanya manggut-manggut sebagai tanggapan. “Terus rencana lo abis cerai ngapain?”

Tiba-tiba sekali pertanyaan Alam ini.

Rara berpikir sejenak. Lalu menggeleng pelan. “Hmm... gak tau ya, keliling dunia kali? pengen nyobain semua resort top dah di seantero dunia.” Rara menatap lurus keatas, menerawang langit-langit biru diatas sana.

“Gaya bet lo.” Alam meledek. “Kaya berani aja, bocil mana berani.”

“Heh! tuaan gua ye, ada adab lo ngomong gitu.” Rara langsung menoyor pelan bahu Alam. “Sopan banget gua liat ye.”

Hening.

“Emangnya…” Awalnya ragu, namun akhirnya Alam bersuara lagi. “Lo udah nyampein uneg-uneg lo ke bang Anggar Ra?” Tanya Alam tiba-tiba.

“Selain surat yang lo tulis pas pulang honeymoon?

“Gua belom nyampein apa-apa lagi sih.” Rara menghela napas kasar. “Yang jelas, gua sakit hati. Dia biarin gua nunggu di Orient8 sampe malem, awalnya gua optimis mungkin macet, taunya sampe gua lumutan dia gak dateng juga.”

Sekilas Alam memutar maniknya kesana-kemari. “Hmm… Lo udah tau alesannya?”

“Tau.”

Seketika dahi Alam mengkerut heran. “Apa?”

Rara terdiam sejenak, ia menatap kosong kakinya yang terbalut sneakers putih. “Email Anggar tuh... pernah nyangkut di hp gua. Karena apanya gua lupa.” Rara tersenyum kecut. “Dia pesen penerbangan, ke Lombok, tepat setengah jam gua nunggu di Orient8, padahal dia janji mau dateng. Dan, lo tau? Lombok tempat... mungkin ya mungkin first lovenya? gua masih pengen banget mikir ini cuman asumsi gua, tapi setelah apa yang gua liat kemaren, kayaknya bener deh.”

“Apa?”

“Gua kan baca chatnya Lam. Cara Anggar typing aja sweet banget. Ngingetin makan, sampe nyuruh jaga kesehatan. Gua aja jarang dapet text begitu. Seakan-akan Maudy tuh rapuh banget dan Anggar sayang banget.” Rara menghela napas pelan. “Dan, profile picture Maudy…”

Alam terdiam, menunggu kelanjutan kalimat Rara.

“Foto sama Anggar, gua inget kemejanya. Kemeja yang Anggar pake waktu pulang dari Lombok waktu itu. Berarti kan Maudy nganterin Anggar balik.” Rara langsung menunduk murung, tak kuasa menahan bulir kristal yang sedaritadi ia tahan.

“Ra…”

“Chatnya panjang, sebenernya. Tapi gua gak scroll keatas-atas, soalnya—

“Gua gak berani baca.” Tambah Rara.

Jeda.

“Karena kalo gua lanjutin baca keatas. Gua yakin, gua bakal ngebenci Anggar lebih dari apapun.” Kembali Rara menambahkan.

“Ra...” Alam hanya bisa menenangkan Rara, mengelus pundak Rara yang mulai bergetar dan isakan kecil itu akhirnya lolos mengisi rungu Alam.

Memang, lebih baik berhenti, daripada kita tau lebih banyak lagi, karena something you don’t know, wouldn’t hurt you.