Endless love
Rara berjalan menyusuri taman rumah sakit, ia jalan tanpa arah, bahkan orang-orang sekitar sudah melihatnya aneh. Berjalan tanpa alas kaki, kaus yang lecek dan wajah yang kusut. Bahkan rambutnya sudah berantakan sedari tadi.
Tanpa ampun, perempuan itu mengacak-acak surainya kasar. Ia duduk di bangku panjang, disana tampak sepi, hanya ada segelintir orang. Namun lumayan jauh.
Rara menatap kosong rerumputan didepannya.
Masa sih hidupnya hanya seperti ini? Masa sih?
Kembali Rara menangis, Ia menatap rerumputan yang terlihat meliuk-liuk bersama ilalang yang tampaknya tak dipangkas.
Anggar benar-benar pergi, gitu?
Tangisnya sudah pecah sedari tadi, bahkan sekarang pelupuknya tampak kering, ia terus mengacuhkan ponselnya yang bergetar. Panggilan telfon yang terus masuk pada ponselnya ia acuhkan.
Masih diam dan akan selalu diam.
“RA!”
Rara menoleh, melihat kearah sumber suara. Ramzy.
“Ngapain?” Tanya Rara lemah.
Ramzy berlutut didepan Rara yang duduk diatas kursi taman. “Ra.” Ia menatap Rara khawatir. “Gua minta maaf. Gua salah gak ngasih tau lo sedari awal.”
“Anggar udah gak ada Ra, dia udah berpulang.” Tambah Ramzy.
Ramzy menghela napas panjang. “Awalnya usus buntu, tapi ternyata dia selama ini nahan sakitnya dan gak pernah di periksa, dan kemarin tiba-tiba dia ambruk, pas dicek, semuanya udah telat. Usus buntunya pecah.”
Rara hanya mengangguk kecil mendengar penjelasan Ramzy. Lalu Rara menatap Ramzy dari atas hingga bawah. Semuanya serba hitam. Jelas semua.
Ramzy bangkit lalu melepas jaket yang ia kenakan, hoodie hitam itu Ramzy sampirkan pada bahu Rara. “Pake, anginnya kenceng.”
Rara hanya mengangguk pelan. Sorot matanya tampak kosong. Dengan perlahan Ramzy membantu Rara berdiri, menuntun perempuan itu untuk berjalan pulang.
Iya pulang kerumah, pulang untuk mengantar Anggar berpulang.
“Kita kemana.” Ucap Rara pelan, masih dengan sorot mata hampa. Kini mereka tengah berada didalam mobil yang melaju cepat, Ramzy sesekali melirik Rara khawatir, ia takut sepupunya itu melakukan sesuatu yang tak diinginkan.
Jelas saja, Ramzy paham. Ini pasti berat untuk Rara, ini sulit untuk Rara, ini sangat menyakitkan untuk Rara. Ramzy juga tau, Rara tidak hanya kehilangan satu orang, tapi tiga. Tiga orang yang ia sayang, meninggalkannya. Wajar jika Ramzy tampak khawatir akan kesehatan mental sepupunya itu.
“Rumah, Tante Retno, Ra. Anggar disana.”
Kembali Rara hanya mengangguk pelan.
Hingga mereka sampai dirumah masa kecil Anggar pun, Rara tidak lagi menangis. Ia benar-benar diam tak bersuara, siapapun yang datang untuk memberikan bela sungkawa dan memeluknya benar-benar tak ia respon.
Rara mati Rasa.
Rara lupa cara berbicara.
Rara lupa cara tersenyum.
Rara lupa cara tertawa.
Bahkan,
Rara lupa cara menangis.
Hatinya sudah hancur, pecah, dan tak ada satu pun hal di dunia ini yang bisa mengobatinya.
Kalbunya mati.
Rara hanya menatap datar wajah Anggar dengan kelopak mata yang tertutup, bibir yang terkatup, dan nyawa yang tiada.
Anggar telah tiada.
Sandiego Hills sore ini tampak mendung, gumpalan awan putih yang melingkupi pemakaman itu memberi efek sejuk kepada para pelayat.
Tapi nyatanya, sejuknya udara tak dapat memadamkan api pada hati Rara. Kini semuanya sudah berubah menjadi gelap. Relungnya berubah menjadi batu yang tenggelam kedalam palung mariana, dan tak ada satu pun orang yang bisa menemukannya.
Rara adalah sesosok manusia yang tidak dimanusiakan oleh dirinya sendiri. Ia mati.
Rara telah mati pada usianya yang baru 25 tahun.
Pemakaman Anggar berjalan dengan lancar, hanya sedikit mendung dan angin kencang yang terus menerpa scraft yang Rara kenakan. Rara melihat dengan sangat jelas, kali terakhir ia melihat wajah Anggar hinga wajah itu tertutup tanah.
Rara masih sama. Ia tak bereaksi sedikitpun.
Berbeda dengan orang-orang lain disekitarnya, mereka tampak histeris dan menangis tersedu-sedu. Rara tampak tak mempunyai perasaan sama sekali.
Setelah pemakaman Anggar selesai, dan batu nisan tertancap sempurna. Rara berbalik, ia berjalan paling pertama meninggalkan pusara itu. Bahkan Ramzy sampai terkejut kala Rara lewat didepannya dengan wajah datar dan sorot mata yang mati.
Rara sudah tau, semesta memang tak pernah berpihak padanya.
Semua pasti berubah, mau tidak mau. Semua pasti berpisah, ingin tidak ingin. Semua pasti berakhir, siap tidak siap
Tiba-tiba Rara menghentikan langkahnya, ia menatap sekitar. Menatap barisan pusara yang tersusun rapih dibawah sana.
Rumah Anggar.
Pada sore hari ini, dengan banyaknya pelayat yang datang, Rara tetap merasa sepi. Ia merasa sendiri. Namun kala ia melihat tangannya, ingatan itu mulai kembali. Bak melihat sebuah film dokumenter yang terputar pada imajinasinya, tiba-tiba Rara tersenyum kala kenangannya dengan Anggar lewat pada benaknya.
To my endless love and my hardest goodbye,
I Love You.