Eternity

Rara berdiri tepat di depan kamar rawat inap Anggar, suasana lorong itu sangat sepi, bahkan ia tak melihat satu pun suster yang lewat. Ia memandang Kamar VVIP dengan pintu kayu geser serta kaca buram itu.

Rara berdiri disana cukup lama, mencoba untuk mempersiapkan dirinya akan kemungkinan terburuk yang akan ia hadapi.

20% bukanlah angka yang besar, itu angka kritis yang mungkin akan menjadi akhir bagi kehidupan Rara.

Rara menarik napas panjang, beberapa kali ia meneguk salivanya, takut sekali menghadapi kenyataan bahwa Anggar ada di dalam sana, terbaring tak berdaya.

Srekk!

Pintu itu terbuka dengan mudah, netra Rara langsung mendapati tirai yang menutupi kasur pada bangsal itu. Rara berjalan perlahan. Degup jantungnya terus memompa tak karuan.

Tes Air matanya lolos begitu saja saat ia dengan ragu memegang ujung tirai merematnya erat, mencoba untuk menariknya perlahan. Tirai itu terbuka, otomatis netra Rara menangkap seseorang yang tengah terbaring dengan alat pendeteksi detak jatung yang menempel pada tubuh sosok itu.

Rara kembali meneguk salivanya. Ia merasa tak kuat. Seketika pecahlah tangisnya. Air mata itu berhamburan membanjiri pipinya, kedua jemarinya bergetar, dadanya naik turun pun bahunya yang tak kalah bergetar hebat.

Rara mendekat, mencoba melihat lebih jelas wajah Anggar. Namun, dahinya segera mengkerut kala ia tak mendapatkan Anggar disana. Rara tampak bingung, namun ia masih tak bisa menahan sedihnya, ia melongok ke papan nama pasien.

Hermawan.

Alis Rara menukik tajam. Terus dimana Anggar?

Lantas Rara keluar dari kamar rawat inap itu, masih terlihat linglung, ia mendudukan dirinya pada kursi tunggu. Ia sampai bingung mengapa ia sampai salah masuk kamar, atau memang Anggar sudah...

Tidak ada?

Masih dengan tangan yang tremor, Rara menelpon Ramzy, ia ingin tau apa yang sebenarnya terjadi.

Tut...Tut...Tut...

“Dimana Anggar.” Ucap Rara datar, ia sudah tak ada emosi lagi yang dapat ia keluarkan, ia pasrah kalau semisalnya Anggar sudah tak ada di bumi ini.

“Gak ada Ra.” Jawab Ramzy pelan dari sebrang sana. Ia tau memberitahu Rara yang sebenarnya adalah hal yang tepat, ia tidak mau menundanya lagi.

“Gak lucu, lo gausah ngeboong. Zy... please, tell me that you're liying.” Rara semakin lemas, bahunya mengendur, bahkan saraf-saraf tegang pada tubuhnya sudah tampak lelah.

“No, i'm not. Anggar udah gak ada. Lo dima-

Terputus.

Tepat saat Rara mematikan telpon Ramzy, ia menangis, melempar ponselnya asal pada bangku disebelahnya. Rara menangkup wajahnya, berserah diri pada Tuhan Yang Maha Esa.

Anggar pergi.

Kebahagiaannya hilang.

Anggar benar-benar meninggalkannya.

“Ng—gga-ar…” Cicit Rara pelan, ia masih menangkup wajahnya.

Rara menangis sejadi-jadinya, Ia sudah tampak kusut, dengan pipi yang memerah, mata yang sayu, pelupuk yang basah, dan guaratan lelah yang terpatri pada wajahnya.

“Kka—t-ta-nny-aa m—aa-u.” Rara mengambil napas panjang sembari terisak kecil.

“Rr—eeeb-but-tan kka—am-mar mma—an-di-i?” Tak kuat. Rara tak kuat.

Rasanya Rara hancur saat itu juga.

Rara menaikkan kakinya, memeluk lututnya, ia menangis dalam tangkupannya sendiri. Bahunya masih sama, bergetar naik turun dengan sesak di dadanya.

Perih rasanya ditinggal oleh orang-orang yang ia sayangi. Mengapa semuanya pergi disaat Rara baru menyadari perasaannya.

Rara menyesal. Ia menyesal akan dirinya yang dulu, Because, Rara had a love she wasn't sure about.

Harusnya Rara sadari itu sedari dulu. Rara menyesal tidak mencobanya sedari awal, mencoba membuka hatinya untuk Anggar. She's avoided relationships because she's afraid of giving her heart again, only to drive another love away.

Masih pada posisinya, Rara menangis tak karuan. Rara bahkan sudah tidak peduli bila ada yang menganggapnya aneh disana.

Relungnya hancur, dan pecah berkeping-keping, memang sedari dulu cinta slalu sial untuknya.