Gairah Kalbu yang Redup
Sudah larut malam.
Anggar tak kunjung melihat batang hidung istrinya. Setelah membereskan pakaian serta menata oleh-oleh kedalam laci pantry, kemudian ia menyusun beberapa kotak pie susu kedalam paperbag untuk ia dan Rara bawa besok sebagai buah tangan kepada teman-temannya.
Maniknya menyusuri setiap sudut rumah, ia naik-turun tangga, membuka setiap ruangan, tapi tak juga ia menemukan Rara. Hingga lelah ia akhirnya makan sendiri dimeja makan, walau hati khawatir karena pasti wanita itu belum makan. Masa sih keluar? kayaknya gak ada yang buka pintu? — Pikir Anggar.
Hingga akhirnya Anggar selesai makan, tak lupa ia menyisakan sepiring cumi goreng tepung yang tadi ia buat. Menulis sebuah pesan pada post it dan menempelkannya di tudung saji. ‘Ini ada cumi goreng tepung, maaf gak sempet buat tumis kangkung kesukaan kamu, jangan lupa makan, kalau sakit saya yang repot.’
Anggar menatap jam dinding yang terpatri pada ruang makan. Pukul 9 malam. Ah udahlah biarin, kalau laper juga dia pasti makan — Pikir Anggar. Lantas ia pun melangkah menaiki tangga, berjalan hingga ia sampai pada pintu kamarnya.
Maniknya menatap pintu kamar yang berwarna coklat tua, pikirannya kembali teringat akan Rara. Sebenarnya daritadi Anggar ingin menyampaikan sesuatu kepada Rara, sesuatu yang menyita waktunya belakangan ini, ia ingin melepaskan batu yang terus mengganjal dalam hatinya.
Baru ia ingin meraih tombol access pintu kamar, rungunya mendengar langkah seseorang menaiki tangga, netranya menoleh kesamping, terlihat Rara dengan langkah gontai muncul diujung tangga.
“Ra… kemana aja?”
Tak ada jawaban.
“Ra udah makan?”
Sama. Tak ada jawaban.
Rara melangkah tak mengacuhkan presensi pria didepannya. Ia melangkah menuju pintu kamarnya yang berada disebrang pintu kamar Anggar.
Anggar menghela napas, lalu membalik tubuhnya. Mereka sama-sama menekan tombol access, sebenarnya mau Anggar pun Rara sama-sama ingin mengatakan sesuatu. Namun, perdebatan batin yang terjadi diantara mereka sungguh sengit, si Jin bilang ‘jangan’ sedangkan si Jun bilang ‘iya’.
NIT! NIT! Pintu keduanya terbuka, namun, sungguh rasanya sudah tak tertahan lagi, keduanya membalik tubuh, menghadap satu sama lain.
“Ra.” “Nggar.”
“Eh?” Keduanya kembali bersuara.
Anggar menatap Rara lekat, netranya menangkap arus air mata yang tercetak jelas dikedua pipi istrinya, lantas ia langsung berjalan mendekat, digenggamnya tangan Rara. “Ra, kamu nangis? kenapa? siapa yang bikin nangis? ngomong sama aku, atau kamu butuh tempat cerita? aku bisa Ra.”
Manik Anggar meniti setiap titik wajah Rara yang sembab dan sedikit memerah. Namun, Rara langsung melepas genggaman Anggar, dan tersenyum tipis. “Saya gapapa Nggar, tadi abis nonton miracle in cell number 7, itu sedih banget soalnya sampe nangis gini, kamu gak perlu sekhawatir itu…”
Anggar mendengus sebal. “Haduh kirain kenapa, bikin panik aja… pantes dicariin gak ketemu, kamu di theater ya ternyata.”
“Iya, tadi lagi badmood aja soalnya tadi Aras cerita ada problem di studio, makanya kesel banget sampe pengen sekalian nangis.” Wajah Rara berubah heran. “Nyariin saya ngapain? kalau buat beresin baju, saya emang rencananya mau besok, capek soalnya, terus kalau soal oleh-oleh say—“
“Soal kamu belom makan dari sore Rara. Kamu bisa sakit.” Sela Anggar, sengaja memotong perkataan Rara.
Nggar tolong, kalau masih ada hati yang kamu jaga gausah kaya gini, saya bingung harus gimana…
“Oh ya… tadi Anggar mau ngomong apa?”
Anggar menatap Rara datar. “Kamu dulu, gapapa. Tadi kamu juga pengen ngomong kan?”
“Beneran?” Ucap Rara, yang langsung mendapat anggukan setuju dari Anggar.
“Nggar… boleh nggak…— Rara sedikit menggigit kecil bagian dalam ranumnya, mencoba untuk tak terlihat gugup. “Boleh nggak kamu gak kaya gini?”
Anggar mengerutkan dahinya heran. “Gini? gimana?” <!—more—!>
Rara tersenyum tipis. “Jangan terlalu musingin atau meduliin hidup saya ya? saya bisa sendiri, kita jalanin aja se-normalnya kehidupan masing-masing… kamu sama duniamu pun saya sama dunia saya, gaperlu terlalu berlebihan bereaksi soal suatu hal… saya tau, saya ini kewajiban kamu, tapi tolong jangan berlebihan sama semua hal. Saya bisa lindungin diri saya sendiri, saya bisa makan sendiri gausah kamu siapin kaya dibawah itu… saya suka nyiapin kamu sarapan karena itu kewajiban saya… kamu cukup jalanin kewajiban kamu sebagai suami yang baik, selayaknya orang yang dijodohin kaya gimana harusnya. Maaf kalau penuturan saya ada yang buat kamu tersinggung, serius saya gak maksud buat gimana-gimana… tapi saya serius soal kamu gausah berlebihan.”
Pupus sudah seluruh kata yang terangkai didalam pikiran Anggar, entah kalimat apa yang cocok untuk menjawab penuturan istrinya barusan.
Anggar pun menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis. “Iya Ra, gapapa kok, selama ini juga saya cuman gamau kamu kenapa-kenapa, saya gamau orang-orang mikir saya gabisa jagain istri sendiri terlebih kejadian kamu masuk RS buat saya takut bakalan ada orang-orang kaya gitu lagi disekitar kamu. Maaf ya kalau saya terlalu berlebihan bersikap, dan malah bikin kamu ganyaman… saya serius cuman reflek kok.”
Tuhkan cuman reflek…
Rara tersenyum tipis. “Makasih ya Nggar, udah ngertiin saya. Saya masuk dulu ya, saya belum mandi soalnya…” Anggar langsung mengangguk pelan.
Keduanya masuk kedalam kamar, seketika pintu kamar tertutup bersamaan. Terlihat kedua insan itu menyenderkan tubuhnya pada pintu.
Rara menatap kosong kamarnya, ia hanya tidak ingin terus-menerus merasa spesial, terlebih seseorang bernama Najma masih sering bertemu serta mengontak Anggar. Jujur Rara tidak menyangka ia bisa mengatakan kalimat sepanjang itu tanpa sedikitpun getar pada bibirnya.
Pun Anggar, senyum tipis yang tadi terpatri pada wajahnya lenyap dalam sepersekian detik, wajahnya tampak frustasi, ia memejamkan matanya sejenak, menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan. Lantas ia melangkah menuju kasur, merebahkan dirinya disana.
Setelah merasa tenang, Rara masuk kedalam kamar mandi dikamarnya, meyalakan kran dan mengisi bathtub hingga penuh dengan air hangat. Ia menuangkan stress relief shower gel kedalam bathtub, lalu melepaskan helai demi helai pakaian yang melakat pada tubuhnya, tak lupa dengan hati-hati ia melepas arm sling yang menopang tangannya.
Rara mematikan kran, lalu ia masuk kedalam air hangat yang sudah penuh dengan busa, merendam tubuhnya, kembali dengan hati-hati ia menaruh tangan yang terbalut gips pada bibir bathub.
Pikirannya melayang mencari momen-momen lucu dengan para sahabat, berusaha mengusir segala penat serta segala pemikiran buruk yang ada dalam benaknya.
Pun Anggar yang masih sibuk menatap langit-langit tanpa suara. Keduanya pun memejamkan mata, menikmati perih serta pedih akan kalbu yang redup, ntah sampai kapan mereka harus menahan, mereka pun tidak tau.