Home.

Kalau saja pesawat Rara dan Alam tidak delay lama, pasti subuh tadi mereka sudah tiba di Jakarta, namun karena keterlambatan itu, mereka baru menapakkan kakinya dibandara Soekarno Hatta pukul 9 pagi.

Terlihat dengan jelas, kantung mata yang bergantung dibawah kelopak mata yang sayu, berusaha untuk mengalahkan rasa kantuk serta lelah karena penerbangan yang panjang. Belum mandi, belum sarapan, apalagi memantaskan diri di depan ibu mertua, huh... Lelah.

Keduanya celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. Seketika manik Rara dan Alam langsung berseteru dengan manik Ramzy, pria itu tengah melambai-lambaikan tangannya di udara. Tanpa senyuman yang biasanya selalu tampak pada wajahnya

“Lo mau ikut gua gak Lam?” “Gak usah Ra, gua udah dijemput pak Sapri.”

Usai berpisah dengan Alam, Rara berjalan beiringan dengan Ramzy yang diam disebelahnya. Sempat tadi, Ramzy sedikit berbasa basi dengan Alam lalu mengajak Rara untuk pulang, tak lupa pria itu membantu membawa koper Rara.

Rara bertanya-tanya di dalam hati sejak tadi, suasana disekitar Ramzy terlihat suram, jarang sekali aura pria itu begitu menyeramkan seperti ini, bahkan Ramzy tidak mengajak Rara untuk sekedar ngobrol-ngobrol ringan sembari berjalan ke parkiran. Sangat bukan Ramzy.

Seketika Rara berhenti, mencoba untuk memundurkan langkahnya. Dan, ya. Ramzy tidak sadar bahwa Rara berhenti, alhasil perempuan itu melanjutkan jalannya, maniknya sedikit menyipit menatap punggung Ramzy yang terlihat lelah.

Setelah memasukan beberapa tas oleh-oleh dan koper, Rara dan Ramzy langsung masuk ke dalam mobil. Ntah mengapa Ramzy malah semakin diam, padahal biasanya pria itu sangat cerewet dan menyebalkan.

Bahkan dijalan pulang pun Ramzy tak kunjung bersua, ada beberapa kali Rara mencoba untuk mencairkan suasan, bahkan jokes cabe-cabean komplek yang Rara lontarkan tidak menggoyahkan diamnya Ramzy sama sekali.

“Lo marah sama gua?” Tiba-tiba Rara bersuara di tengah hening serta deru AC mobil.

Ramzy menggeleng kecil, maniknya masih fokus pada jalan tol di depan sana.

“Kalau marah tuh bilang, jangan diemin gua kaya gini, iya gua tau gua salah, gua kemaren marah-marah sama lo ditelpon soal perjanjian Sadadi sama Dewandaru, gua mana tau kalau lo gak ada sangkut pautnya sama sekali, gua pikir lo tau.” Rara langsung cemberut. “Ramzy ih! Lo dengerin gua gak sih?”

Tak ada jawaban. Pria itu masih fokus dan tak menggubris Rara sama sekali.

“Ramzy! ngomong kek! ngobrol gitu, dikasih suara sama Allah tuh dipake! ini lo simpen-simpen, dikata ada yang mo cipet apa!!”

Masih tak ada jawaban.

Rara berdecak kesal. “Ih! Anjrit! ngangguk-ngangguk sama geleng doang lu bisanya, patung hokben lo?” Rara langsung menegakkan tubuhnya sembari bersedekap dan menyandarkan kepalanya pada kaca mobil. dikacangin gua. Ceritanya ngambek.

Percuma, Ramzy tidak tampak prihatin sama sekali.

Bahkan sampai mobil mereka berhenti tepat didepan kediaman Rara dan Anggar, Ramzy masih saja diam. Sebisa mungkin Rara berusaha agar Ramzy membuka mulutnya, namun tetap saja pria itu diam tak bersua.

Sampai koper dan semua barang-barang Rara selesai diangkut kedalam. Disaat itulah Ramzy menarik pelan lengan Rara, dan mendudukkan wanita itu pada sofa ruang keluarga. “Duduk, tunggu sebentar.”

Rara hanya diam kebingungan, maniknya bergerak mengikuti arah gerak Ramzy ke meja makan, ia mengambil sebuah paper bag berwarna putih, yang ternyata sudah nangkring sedaritadi di atas sana.

Ramzy berbalik, berjalan ke arah Rara dengan paper bag berukuran sedang yang ia genggam pada jemarinya. Manik Rara terus mengikuti arah gerak Ramzy, hingga pria itu benar-benar berada tepat didepannya.

Ramzy menyodorkan paper bag berwarna putih itu kearah Rara. “Ini, titipan bang Anggar, Ra.”

Rara menatap paper bag itu heran. “Apa?”

Ramzy tak menjawab. Ia kembali menyodorkan tangannya, mengisyaratkan Rara untuk mengambilnya.

Tangan Rara terangkat, kemudian ia meraih paper bag itu dari tangan Ramzy, seketika Ramzy langsung beranjak meninggalkan Rara.

Sontak Rara langsung menoleh kearah Ramzy “Ih mau kemana?”

Langkah Ramzy terhenti, ia menoleh sedikit. “Keluar, ngerokok.”

Manik Rara langsung melebar, setaunya, Ramzy merokok kalau ia sedang stres atau depresi akan masalah-masalah hidupnya, seperti saat ia diminta jadi penerus Om Wisnu pada perusahaan Kayu keluarga Dewandaru, putus dari bule singapura yang toxic itu, atau saat-saat sakral lainnya. Namun, untuk saat ini, pria itu kenapa?

Tanpa bertanya lebih lanjut, Ramzy pergi bergitu saja.

Rara menatap paper bag itu heran, jemarinya meraba bibir paper bag itu, lantas ia membukanya. Hal pertama yang ia lihat adalah sebuah map coklat. Rara langsung mengeluarkannya, lalu menaruh paper bag itu sejenak ke atas nakas mini disebelah sofa.

Maniknya beralih pada map di jemarinya.

Sebuah. Berkas. Perceraian.

Tanpa menunggu lagi, Rara langsung membuka map itu, maniknya menatap datar beberapa berkas yang waktu itu ia berikan kepada Anggar.

“Just sign that god damn papers.”

Ingat betul Rara akan perkataannya tempo lalu, ia membaca berkas itu perlahan, hingga netranya jatuh ke bagian paling bawah pada lembaran itu. Rara menghela napas, sembari tersenyum pahit.

Anggar benar-benar menandatangani-nya.

Haha, ditanda tangan beneran.

“Gimanapun, ini yang gua mau, kan?” Gumam Rara sendirian.

Selesai dengan berkas cerai, Rara beralih ke paper bag putih, yang tadi sempat ia sisihkan. Kini diatas pahanya sudah terdapat kantung yang terbuka memperlihatkan isinya.

Rara melongok, melihat kedalam paper bag itu, seketika ia terperangah melihat isi yang ada di dalamnya.

Rara mengerutkan dahinya saat netranya menangkap benda-benda yang ada di dalam paper bag itu. Sebuah notebook, sepatu bayi berwarna kuning.

dan.

Plastik zip berisi karet gelang berwarna hitam.

Tertempel sebuah notes pada masing-masing benda itu.

Rara mengeluarkan satu-persatu barang tersebut, menaruh ketiganya diatas sofa, lantas ia memiringkan tubuhnya, bersila diatas sofa sembari menatap benda-benda aneh itu yang sekarang sudah berada diatas sofa.

“Loh ini kan yang ilang di meja...” Gumam Rara sembari membolak-balik plastik zip berisi karet gelang berwarna hitam.

Karet gelang berwarna hitam. Benda yang dulu pernah hilang saat Rara membantu Anggar mengoreksi makalah teman-temannya di Cafe depan kampus.

Rara langsung membaca notes yang tertera diatas plastik itu.

Maaf ya, kunciran ini yang sempet kamu cari-cari, saya sengaja nyuruh kamu beli aqua waktu itu, biar kamu gak nguncir rambut dan bisa saya ambil. Dibelakang kamu waktu itu ada 3 anak SMA yang ngeliatin kamu sambil moto-motoin kamu, saya khawatir kalau kamu kuncir nanti leher kamu keliatan, apalagi rambut kamu udah pendek juga. Waktu itu mau saya kembaliin tapi saya bingung alesannya apa, jadi saya balikin sekarang aja mumpung kita bakal pisah.

Selanjutnya.

Sepatu bayi berwarna kuning. Benda yang Anggar beli di Harrods waktu itu. Rara pikir pria itu tidak serius membelinya.

Kembali Rara membaca rentetan tulisan disana.

Saya serius soal apa yang saya bilang waktu kita beli ini, saya nanya pendapat kamu soal warna, saya pengen kamu punya konstribusi buat beli barang yang bersangkutan soal anak, seenggaknya kalau pun kamu ujungnya gak mau punya anak sama saya, saya tetep ngerasa kamu milihin barang buat anak kita.

Otomatis Rara mengatup bibirnya rapat-rapat, ia meneguk salivanya, mencoba untuk menahan maniknya yang sudah berkaca-kaca. Maksudnya gimana?

Rara sampai bingung mengekspresikan diri.

Lanjut, benda terakhir. Sebuah notebook yang...

“Loh? Ini buku catetan yang Anggar kasih pas benerin makalah anak-anak gak sih? pas di Cafe kan? yang isinya catetan materi semua? Kok disini?” Ucap Rara bermonolog.

Manik Rara kembali beralih pada notes yang tertempel diatasnya.

Kalau kamu buka buku ini dari depan, kamu cuman bakal nemuin catetan materi yang bikin kamu pusing, coba kamu buka dari belakang, mungkin kamu bakal nemu sesuatu yang berbeda. Pesan dari saya, tolong liat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda ya Ra.

Rara terdiam sejenak, entah mengapa ia langsung merasa bulu kuduknya meremang hebat, keringat dingin yang seketika membanjiri pelipis dan punggungnya kini membuat suasana disekitarnya dingin. Kenapa gua gugup gini sih?

Dengan perlahan Rara membuka lembar terakhir, ia mencoba membaca bait pertama, bait kedua, dan... seketika dahinya mengerut. “Ini... lah? kok diary anak SMP??!”