Honeymoon mau kapan?

Anggar kembali terlebih dahulu, Netranya menatap Mami dan Papi yang tampak bahagia tengah tertawa sembari melihat hasil jepretan kemarin pada kamera mirrorless-nya. Ia duduk seraya menatap hamparan laut biru di bawah sana.

“Nggar kok kalo Mami liat, foto kalian berdua dari kemarin gak ada yg so sweet ya? kaku banget, dirangkul kek gitu, atau di pegang pinggangnya. Nih liat, malah kaya musuhan…” Mami merengut lalu mengarahkan layar kamera itu kearah Anggar.

Manik Anggar beralih dari Mami kearah layar. “Perasaan Mami aja kali, itu aku hati-hati megang dia, she’s fragile soalnya, takut kena tangannya.”

Dalam foto itu terlihat Anggar dan Rara berdiri sejajar dengan jarak tipis namun, tidak menempel. Mereka tersenyum kikuk, surai keduanya berterbangan menutupi sebagian wajah mereka, serta pemandangan pasir putih diiringi ombak yang berderu saling berhempasan ke kaki kedua insan itu, tak lupa langit sore yang kian menguning, terlihat matahari yang sedikit lagi terbenam memberikan efek silhouette.

“Ohiya sih bener, takut kena tangannya ya.” Mami kembali fokus pada kamera.

“Ini Mami gak makan?”

“Tunggu Rara dong Nggar, tadi dia ke toilet.” Ucap Papi.

Kembali Anggar mengalihkan Maniknya menatap tebing karang yang berada ditengah laut. Sesekali ia tersenyum tipis mengingat obrolan random-nya dengan Rara sembari mengitari pulau Nusa Penida.

Pagi tadi Rara dan Anggar berjalan beriringan, pohon kelapa yang menari beriringan dengan hembusan angin sepoi-sepoi, menerpa helaian demi helaian rambut mereka.


“Nggar, kok mau sih nerima dijodohin sama saya? kata Mami, dulu kamu dijodohin sama banyak cewek tapi gak ada yang diterima?” Ucap Rara, Maniknya menatap lurus jalanan setapak di depan.

Anggar terdiam sejenak, tertawa kecil kemudian. “Kenapa tiba-tiba nanyain itu? bukannya udah pernah ngomongin ini pas di rooftop?”

Rara mendengus kesal. “It’s not specific enough.”

“Jujur, saya juga gatau. Kalau kamu? terlepas dari Mama, kenapa nerima saya? kamu dari awal udah nolak saya mentah-mentah loh, Kamu kan nerima saya kaya yang terpaksa banget, nah, biasanya kalo yang kaya gitu di bayangan saya pasti galak, sinis, ngomel-ngomel. Tapi kamu malah berbanding terbalik, kenapa kamu gak benci sama saya? ada alasan?”

Rara hanya tertawa, mengangguk-angguk kecil. ”Hmm… Apa ya? Saya tuh… orangnya gak bisa marah aja hehe tergantung sih, masalahnya apa kalau saya masih bisa handle ya ga bakal emosi, lagian kan saya sama kamu sama-sama gak berdaya, kamu yang capek karena dikejar-kejar nikah, pun saya yang capek sama Mama yang bolak balik ngomongin kematian. Jadi saya gak punya alasan buat membenci kamu. Karena kondisi kita gak jauh beda. Lagian saya paham juga perasaan kamu Nggar, pasti capek harus selalu memenuhi ekspektasi yang gak ada ujungnya.”

“Oh… so, what if kamu gak dijodohin sama saya, kamu bakal tetep nerima?”

“Tergantung. Saya juga liat orangnya lah, emosinya seperti apa, cara dia menyampaikan pendapat seperti apa, cara dia berpikir seperti apa, cara dia melindungi dan cara dia memperlakukan orang-orang disekitarnya. Dan saya liat Nggar, cara kamu perlakuin Mami, cara kamu nge-handle diri kamu kalau lagi kesel, sebulan sebelum kita nikah, saya liat semuanya Nggar, gak semerta-merta saya terima gitu aja, seenggaknya saya liat kamu adalah zona aman, saya gak bisa bayangin kalau calon suami saya mirip sama Rasyad.” Rara melangkahkan kakinya menuju taman, mendudukkan dirinya dibangku panjang.

Pun Anggar ikut mendudukan tubuhnya disana. “Zona aman? kenapa gak zona nyaman aja?” Anggar tersenyum usil.

Rara mengerutkan dahinya. “Apasihhhhh. Kenapa jadi bahas zona nyaman deh! ngomong panjang lebar malah out of topic gitu.” Rara memalingkan wajahnya.

“Saya cuman nanya loh Ra, apa salahnya sama zona nyaman coba? kan zona nyaman gak melulu soal asmara, temen contohnya.”

Huft…

“Nggar. Sadar gak sih pertanyaan kamu tuh menjebak banget? ntar kalau saya salah ngomong kan berabe.” Alis Rara naik satu, seraya memiringkan kepalanya.

“Loh menjebak gimana? saya tuh cu-man na-nya. Emangnya salah ngomong gimana yang bikin berabe?” Semakin gencar Anggar ingin mengusili perempuan disampingnya itu.

Dahlah Ra ngomong sama pedang letoy gabakal menang…

“Nggar plis udah cukup saya pusing sama pertanyaan kamu pas kuliah dulu, kamu tau gak sih? kamu tuh ngeselin banget-bangetttt pengen saya makan rasanya.”

“Yakin?”

“Hah? yakin apa?”

“Yakin mau makan saya?.”

Rara menatap Anggar heran, lalu memutar bola matanya. ”you’re such a weirdo.”


Seketika Anggar tersadar dari lamunannya saat ia merasakan seseorang datang dan duduk disampingnya. Netranya melihat Wajah Rara yang sedikit basah, dengan beberapa helai anak rambut yang lepek.

“Cuci muka?” Tanya Anggar.

“Iya.” Singkat, padat, dan dingin.

Anggar hendak mengambil kipas elektronik milik Mami dihadapannya. “Panas? mau kipas? nih pake kipas Mam—“

“Gausah.” Sela Rara.

Rara mengambil ponselnya, diam seribu bahasa, hanyut tenggelam dalam dunia maya. Nyatanya ia hanya menscroll Instagram, Tiktok, dan Twitter, ia hanya tidak ingin Anggar mengajaknya berbicara.

Pun Anggar hanya diam saat perkataannya dipotong begitu saja. Rara kenapa sih? — Pikir Anggar.

“Kok kalian diem aja? ini loh dimakan.” Mami menaruh piring kosong kehadapan Anggar dan Rara, lantas dua sejoli itu menerima seraya tersenyum tipis.

Di sela-sela menyantap makanan, Tiba-tiba Mami membuka sebuah topik yang Rara hindari sedari awal. “Kalian gimana? udah dipikirin Honeymoon-nya mau kemana?”

Anggar yang tengah menunduk menatap makanan di depannya melirik Rara sejenak. Terlihat wanita itu mengulum bibirnya, ingin mengatakan sesuatu namun, seperti tertahan.

Manik Anggar beralih menatap Mami yang berada di serongnya. “Belom Mi, Anggar masih ada proyek yang belum selesai, takutnya keteteran, kalau sampe ga beres Anggar gaenak sama Bu Rieta.”

Mami hanya mangut-mangut. “Terus, rencananya mau kemana? oh apa belom kepikiran? kalian mau kemana? nanti Mami bantu siapin kalau kalian sama-sama sibuk. Mau kemana Ra? Santorini? Campervan di New zealand? atau mau ke swiss liat pegunungan Alpen?” Mami menatap Rara dengan antusias yang tinggi.

Rara terdiam menatap Mami yang tengah menopang dagu dengan binar mata yang menyala-nyala, ia terkejut dengan segala penuturan kata mertuanya itu. “Mi… kayaknya itu butuh waktu banyak deh…”

“Loh ya gapapa, mau sebulan? dua bulan? ya gapapa, setahun pun Mami mau kok bayarin, kalo bisa pulang-pulang bawa bayi.”

UHUK!!! Anggar reflek tersedak makanan yang tengah ia kunyah. Rara terperanjat melihat wajah Anggar yang merah padam.

“Eh Nggar…” Rara reflek meminumkan air mineral miliknya ke mulut Anggar, menepuk pelan punggung pria itu. Jujur, Rara mungkin akan sama tersedak jika ia tengah mengunyah sesuatu. “Pelan-pelan Nggar.”

Anggar masih terbatuk-batuk, Mami dan Papi menatapnya khawatir karena wajah pria itu berubah merah dengan mata yang berair, gatal di tenggorokan tak kunjung mereda.

Rara langsung mengambil seemplok nasi putih dengan tangannya, menyuapkannya ke mulut Anggar. “Makan.” Anggar hanya melirik sejenak lalu mengikuti suruhan Rara. Setelah nasi itu dimakan Rara langsung menyuruh Anggar untuk minum kembali. Itu adalah cara yang biasa eyangkung ajarkan sejak Rara kecil.

Gatal serta perih yang menjalar dalam tenggorokan Anggar mereda. “Makasih Ra.”

Mami menatap Rara dan Anggar gemas, masih dengan tangannya yang menopang dagu, ia semakin membulatkan maniknya. “Kalian kok gemes banget sih sayang. Papi aja gapernah gituin Mami.”

“Loh kok jadi Papi yang kena.” Balas Papi.

“Rara, you such a good wife, Mami emang gapernah salah pilih ya Pi.” Mami menyandarkan kepalanya ke pundak Papi.

Yup, she is.” Ucap Anggar reflek tanpa sadar.

“Kalian tuh udah ngelakuin itu kan?” Sebuah pertanyaan paling menyeramkan seketika terlontar dengan ringannya dari bibir Mami.

Bak mengetahui maksud arah perbincangan Mami, Rara dan Anggar seketika mematung, dengan sulit mereka meneguk salivanya.

Mami memicingkan Matanya. “Anggar? Rara?”

“U-uudah.. Mi.” Suara Rara sedikit bergetar, namun sebisa mungkin ia menutupi gugupnya.

“Ohh… kok 4 bulanan belum isi ya…” Manik Mami berputar seolah sedang berpikir.

“Masa sih Nggar kamu gak tokcer? Mami kamu tuh hamidun abis dua bulan nikah, Papi gencar tiap ada kesempatan, kalo perlu kelonan aja tiap malem, sama perhatiin tanggalnya juga jangan asal…” Papi menambahi.

“Iya loh, kalo bisa bikin yang banyak, bikin padepokan cucu Oma Retno kalo bisa hihi.” Mami tertawa meledek.

“Mi…”

“Ya Mami gak maksa sih… tapi Mami kangen gendong baby, yagak Pi.” Papi mengangguk setuju. “Kalau cowok nanti Papi ajak jajan saham, kalau cewek nanti Papi ajak borong seisi Mall.”

INI OBROLAN APA SIH YALLAH…. Ternyata keluarga Anggar sama anehnya sama keluarga gua?!

“Papi.. Mami.. Yuk kita abisin dulu makannya, obrolannya dilanjut nanti, takut ketinggalan flight gak sih?.” Ucap Anggar, sesekali ia melirik kearah Rara yang masih diam membeku, terlihat wanita itu menggigit-gigit kecil bagian dalam ranumnya.

Rara langsung mengangguk-angguk setuju. “Iya Mi… ntar telat loh…”

“Ohiya, lupa kalau lagi makan hehe. Yaudah cepetan deh makannya, harus buru-buru ke bandara ini, belom check-in tiket.” Ucap Mami. “Rara makan yang banyak ya.” Mami mengelus surai Rara pelan.