Kecengan Lama.

Sekarang Rara dan Anggar kembali melanjutkan jalannya, menyusuri kawasan Thamrin-Sudirman, hingga mencapai titik yang mereka tuju. Ya, bundaran HI.

“Yeayyy!!!” Rara bersorak kegirangan. Ia menatap takjub kearah Tugu dengan air mancur disekitarnya.

Sungguh, Rara merasa dejavu, kala netranya melihat Mall Grand Indonesia, pikirannya melayang pada saat ia melakukan pertemuan dengan Anggar di resto Social House.

Ntah apa yang akan terjadi jika Anggar tidak datang untuk bertemu dengannya, habis sudah Rara dilahap bule biadab bernama Michael itu.

Rara menghela napas. “Capek juga ya jalan sejauh ituuu... enak nih kalo makan es doger.” Maniknya jelalatan mencari penjual asongan yang mondar-mandir di pinggir jalan.

Anggar mengernyit. “Ra.. Ra.. kamu tuh niat jalan apa niat kulineran sih disini.”

“Dua-duanya dong!!” Rara bertepuk tangan semangat sembari menghentak-hentakan kakinya kecil. “Masih pengen nyari itu deh, apa namanya... Otak-otak dua ribuan yang ikan sapu-sapu.”

Anggar terbelalak. “Yaampun Ra, kamu tau itu ikan sapu-sapu tapi tetep kamu makan?” Ia menatap Rara tak percaya.

Rara menatap Anggar heran. “Dih! apasi. Maksud saya tuh ikan sapu-sapu ya karena harganya murah banget cuman dua ribu, walaupun porsinya seiprit, tapii yaa tetep enak tetep kenyel gitu, kaya kebanyakan tepung aci, tapi saya tetep suka sih... Eh!! itu ada—Netra Rara tak sengaja melihat penjual yang tengah membakar otak-otak diatas gerobaknya—... saya kesana dulu ya hehe.” Rara langsung meninggalkan Anggar disaat pria itu tengah mengikat tali sepatunya yang sempat kendur.

Sejenak Anggar memainkan ponselnya dipinggir trotoar, maniknya bolak-balik beralih dari ponsel lalu ke arah Rara lalu ke ponsel lagi. Dalam sepersekian detik, Rara menghilang, perempuan itu tidak berada disamping gerobak otak-otak.

Anggar pun langsung beranjak dari tempatnya, netranya menerawang seluruh penjuru jalan, mencari-cari dimana perempuan itu berada.

Nah! Anggar menatap tak suka saat netranya menangkap Rara yang tengah berbincang asik dengan seorang pria dengan tubuh tinggi dan juga atletis.

“Makin cantik aja Ra… Single gak nihh…”

Rara terbahak mendengar penuturan pria itu, membuat Anggar geram dan langsung beranjak menghampiri keduanya. “Ra, dicariin kemana, taunya disini.” Ucap Anggar datar, ia menatap dingin kearah pria dihadapan Rara.

Rara tersentak saat ada seseorang yang mencolek lengannya. “Eh? oalahh.. Anggar toh.”

“Ini siapa Ra...?” Ucap pria yang tadi tengah bercanda dengan Rara.

Rara tersenyum tipis sembari menunjuk pria didepannya dengan telunjuknnya. “Oh ya Nggar, kenalin ini Jeffri, temen pas SMA. Nah, Jeff, kenalin ini Anggar, suami gua.”

“Owh... damn... i didn't know you

Rara memicingkan matanya kearah Jeffri. “Gua ngundang lo ya!! lo nya aja yang workholic sok-sok gadateng...”

“Sorry, kayaknya undangan lo ketumpuk sama berkas lain pas ditaro dimeja gua deh, puyeng dah jadi lawyer.”

“Iye dah yang sibuk.”

Anggar semakin tak suka saat ia melihat tatapan Jeffri kearah Rara. Jelas saja, sebagai sesama pria, ia mengerti mana tatapan biasa mana tatapan tertarik. “Ra, pulang yuk?”

“Eh? oh.. capek Nggar?”

“Iya.” Singkat, padat, dingin.

Rara kembali menatap Jeffri. “Jeff gua balik dulu ya? udah dari pagi soalnya.”

“Ohiya Ra! tiati yak!”

Rara tersenyum tipis, baru saja ia ingin mengangkat tangan untuk berdadah-dadah ria, Anggar dengan cepat menggandeng jemari Rara. “Ayok.”

Sembari berjalan, Rara menoleh sedikit kearah Jeffri. “Ehh.. ehiya sabar dong. Pamit ya Jeff… dahh!” Rara berlalu, meninggalkan Jeffri yang menatap punggung dua insan yang kian menjauh. Gila… makin cantik aja. — Pikir Jeffri.

Dilain sisi, Anggar yang masih menggenggam jemari Rara, seketika ia berhenti melangkah. Otomatis Rara pun ikut berhenti. “Eh… kenapa Nggar?”

Anggar terdiam, menatap Rara datar. Rara mengernyit heran. “Nggar? kenapa diem aja?”

Anggar masih terdiam.

“Nggar?” Rara mengibaskan jemarinya didepan wajah Anggar. “Oitt!”

“Jeffri dulu ngeceng kamu ya?”

Alis Rara naik satu. “Loh… kok tau?”

Anggar semakin menekuk wajahnya. “Pernah deket?”

“Nggak sih.. kan dulu saya punya pacar…”

Anggar terdiam.

“Nggar?”

Pria itu masih terdiam, menatap Rara datar.

“Hey?” Kembali Rara mengibaskan jemarinya.

Cup~

Dalam hitungan detik Anggar mengecup pelipis Rara cepat. “Tanda. Biar cowok lain gak seenaknya nebar senyum kekamu. Dan juga —Anggar melirik jemari Rara— cincinnya lain kali dipake, saya aja gapernah lepas.” Lalu ia beranjak pergi meninggalkan Rara yang membeku diam ditempatnya.

Rara meneguk salivanya. Hah…… . . . . . Sialan.