Khawatir
“Hati-hati Mi, Pi…” Anggar dan Rara dengan senyum mengembang, melambaikan tangan ke arah Mami dan Papi yang juga melambaikan tangan mereka dibalik kaca mobil yang terbuka setengah. Kini mobil itu melaju kian menjauh meninggalkan pekarangan kediaman Sadadi muda.
Lantas mereka berjalan menuju pintu rumah, dengan Anggar yang masih tersenyum tipis, berbeda dengan Rara yang kini sudah menatap datar pria yang tengah memencet tombol access smart door rumah mereka.
Tadinya Mami dan Papi ingin menginap semalam setelah kembali dari bandara, sontak hal itu membuat Rara dan Anggar panik mengingat kamar mereka yang terpisah, walaupun perlengkapan baju Rara ada di kamar Anggar, tapi tidak ada yang tahu kan kalau sewaktu-waktu rahasia mereka terbongkar. Namun, syukurnya tiba-tiba Mami teringat bahwa besok adalah jadwal arisan.
NIT! Bunyi smart door terbuka, Anggar pun mendorong pintu, mempersilahkan Rara masuk terlebih dahulu, perempuan itu langsung melenggang pergi tanpa sepatah kata pun, kayanya capek banget ya – pikir Anggar.
Masih sesekali tersenyum tipis tanpa alasan, Anggar menggeret koper ukuran sedang, menaruhnya sejenak diruang keluarga, pria itu langsung merebahkan dirinya di sofa dan menyalakan TV, mencari siaran berita terkini untuk sekedar membuat suasana tidak terlalu sunyi. Masalahnya pria itu tidak melihat keberadaan Rara dimanapun, tidak mau ambil pusing, Anggar hanya berpikir Rara sudah masuk kamar dan tidur.
Sedangkan Rara, ia langsung menuju mini theater. Entah mengapa saat ini ia ingin menonton film-film berbau bawang, yang pasti ia tau, kini tengah terjadi perang Bandung Lautan Api didalam batinnya dengan sejuta tombak penasaran sekaligus...api cemburu? Entah apa namanya, Rara belum mengerti tentang perasaannya saat ini.
Disisi lain, didalam mobil Honda Odissey yang tengah melaju membelah jalanan ibu kota. Afan, sang supir turun temurun dengan rambut klimis, kerah tegak, kancing terpasang hingga atas, serta badan yang ceking. Dari kaca spion tengah ia bisa melihat nyonya-nya alias Mami Retno tengah duduk dengan gusar dibangku belakang.
Papi yang menyadari raut gelisah istrinya langsung menggenggam jemari Mami. “Kenapa? Hm?”
Mami menghela napas pelan. “I’m very anxious, i can’t stop thinking about it.” Sesekali Mami menggesekkan jemarinya satu sama lain.
“Tentang apa?”
“Anggar dan Rara sayang, kamu pikir aku bisa dibohongin segampang itu?”
“Udah kuduga kamu juga ngeh. Soal mereka udah ngelakuin atau belum kan?”
Mami menoleh kearah Papi lalu wajahnya memelas. “Right honey, mau sampai kapan dong?”
Papi tersenyum simpul. “Babe, look at me.” Papi menangkup wajah Mami. “Kamu gaharus khawatir soal itu ya? You don’t have to worried too much about it okay? Trust me. Mereka itu bukan kita yang nikah karena we want to have each other, mereka itu dijodohin, mau kamu pun Audrey—Mama— gabisa ngepush gitu aja. Trust the process.”
Masih dalam Tangkupan Papi, Mami kembali berucap. “I know babe… aku bisa gaterlalu ngawatirin itu, tapi dari jalan-jalan di Bali, terus, aku juga ngajak ngobrol Rara kemaren kan dikit-dikit ku senggol soal Anggar, dan yang aku tangkep Rara belum sepenuhnya mengenal Anggar, aku yakin Anggar belum cerita soal dia gagal nikah, aku cuman ngawatirin sesuatu buruk bisa aja terjadi gitu loh Pi… apalagi alesannya.”
Papi menghela napas, melepas tangkupannya, lalu kembali menggenggam kedua jemari istrinya. “Retno, kamu itu membesarkan Anggar sebagai pribadi yang jujur dan setia, dia bijaksana dan akan memikirkan segalanya secara matang, kalau dia emang belum cerita ke istrinya ya berarti emang ada yang sedang dia pikirin. Lagi pula kan kita sebagai orang tua juga gabisa ikut campur urusan rumah tangga mereka, mereka sudah besar, kalau terjadi apa-apa hanya mereka yang bisa memutuskan, kita hanya support system dan ngasih nasehat kalau diperlukan… Anggar sendiri yang minta kita buat gak buka mulut soal itu kan? Dia minta biar dia sendiri yang cerita kalau waktunya sudah tepat, just trust your own son ya…”
Mami akhirnya menggangguk pasrah, walau sesekali tatapan frustasi masih terlihat dari pantulan kaca mobil disebelahnya. Pun Afan, selaku supir keluarga Sadadi sudah biasa mendengarkan obrolan-obrolan penting kedua majikannya dibelakang, apalagi kalau majikannya itu sudah menjurus ke dirty talk, ia hanya akan memasang mode budeg.
“Sayang… dari pada bete… let’s disscuss about what should you wear tonight… i kinda love red lately…” Papi mencoba menggoda Mami.
Mami langsung menghadap tubuhnya kearah Papi lalu tersenyum jahil. “Red? How about transparent? It’s more fun, isn’t it?”
Papi semakin tersenyum. “You better wear nothing, then.”