Kok Beda Mas, Ceweknya?
Mereka jalan beriringan dengan Anggar yang masih menggenggam jemari Rara erat, pria itu tak mengucapkan sepatah kata pun, Rara yang bingung hanya diam sembari mengikuti laju kaki Anggar.
Demi Allah Rasulloh… ini gua udah clueless banget asli. Dari pagi emang ni kutu kupret udah gajelas sih… mukanya manyun terus pen gua tabok lama-lama bibirnya.
Hingga akhirnya mereka tiba di depan stand bubur ayam. Tertulis dengan jelas 'BUBUR AYAM MAS ARIS'. Terlihat juga deretan street food lainnya, kalau dipikir-pikir lebih banyak orang yang berkuliner daripada berolahraga.
Yaiyalah… gausah ditanya lagi.
Stand Bubur Ayam ini terletak didepan mall FX Sudirman, disebelah gerbang utama Gelora Bung Karno yang bertuliskan Citius, Altius, dan Fortius.
Anggar sudah biasa kesini, bubur ayam ini sudah seperti ritual wajib jika ia lari disekitar kawasan CFD.
“Permisi mas Aris.” Ucap Anggar ramah.
Pedagang bubur ayam yang bernama Aris itu menoleh, tangannya sibuk melayani para pelanggan yang tengah mengerubunginya. “Eh mas Anggar, udah lama gak keliatan... loh... cewenya beda mas?” Aris tersenyum usil.
Hah? cewe beda? maksudnya gua? lah kan emang baru kesini...
Anggar terkekeh geli. “Hahaha bisa aja mas... buburnya dua porsi ya mas.” Ujar Anggar. “Ra duduk aja situ—Ia menunjuk salah satu bangku bakso berwarna merah—, ini saya aja yang nungguin, kamu gapake kacang kan?”
Rara yang masih bingung hanya mengangguk kecil dan berjalan menuju bangku yang tadi ditunjuk Anggar. Maksudnya si mas bubur apa sih?
Rara duduk dengan pikirannya yang masih menjelajah mencari arti makna yang dimaksud oleh mas Aris. Seketika maniknya membulat. Oh… ni NAJMA BUKAN SEHH?!, ampe bener awas lo ye Nggar! bisa-bisanya lo ngajak gua ketempat lo ngedate ama si Najma!
Sesekali Anggar melirik kearah Rara yang tengah melamun sembari menatap ujung sepatunya. Jujur, ia sedikit kesal karena chat terakhir yang ia kirimkan ke Rara tidak dibalas, apalagi perempuan itu bertingkah biasa saja. Tidak ada reaksi khusus. Gua typing lama, perang batin, buat ngirim tu chat, malah gak dibales, dibaca juga nggak — Pikir Anggar.
Tak lama Anggar membawa dua wadah styrofoam. “Nih.” Ia menaruh diatas jemari Rara yang sudah siap memegang.
Otomatis netra Rara berbinar saat ia melihat bubur ayam dengan asap panas yang mengebul didepan wajahnya. Bukan seperti bubur ayam yang umum ditemui dikawasan Jakarta, bubur ayam ini tidak memiliki kuah.
Wahh!!
Rara semakin semangat saat ia melihat taburan ayam suwir yang melimpah, tak lupa potongan cakwe, pangsit goreng serta soun kering. Apalagi drizzle kecap manis diatasnya memperindah visual bubur ayam itu.
Seakan lupa dengan perkataan Mas Aris yang tadi sempat menganggunya, Rara menyendokkan bubur itu kedalam mulutnya.
Edannn!
Seketika manik Rara membulat, dengan cepat ia menoleh kearah Anggar yang duduk pada trotoar tepat di depannya yang duduk di bangku bakso. “Nggar... kok enak banget sih?! 25 tahun saya idup baru tau ada bubur ini didunia?!” Ucap Rara antusias.
Anggar tersenyum tipis, sejenak ia menelan bubur yang tadi dikunyahnya. “Kamu suka?”
“Iya!! ini gurih bangettt, mana buburnya lembut beginii!!” Ucap Rara, masih dengan binar mata yang menyala.
“Bagus deh kalo suka, kapan-kapan kesini lagi aja.” Anggar mendongak, menatap Rara yang tengah menggigit kerupuk.
“Yes!! kesini sering-sering ya Nggar!! saya udah lama bangett gak CFD-an, terakhir kayaknya SMA deh...”
Anggar tersenyum tipis, melihat ekspresi semangat Rara. “Oh... lumayan lama ya—Sejenak ia melirik kearah bubur Rara yang tidak diaduk sama sekali—Kamu… tim bubur gak diaduk?” Kemudian maniknya beralih ke buburnya yang sudah saling berkolaborasi antara warga cakwe dan warga ayam suwir.
Seketika Rara berhenti mengunyah, ia melirik ke arah bubur Anggar dengan tatapan ‘Idih, sekte mana lo?’. “Yalah! bubur tuh harus dimakan satu-satu topping-nya diambil satu-satu. Kata saya sih kamu aneh.”
Anggar terdiam, lalu tersenyum jahil. “Ya, aneh-aneh gini, kan suami kamu.”
APA-APAAN INI?!. Rara terdiam, enggan membalas sautan Anggar barusan.
Masih fokus dengan buburnya, Anggar kembali bersuara. “Ra… semalem tuh… kamu baca chat terakhir saya kan?”
Rara menepok pahanya pelan. “Nah itu Nggar!! duh, tadi malem tuh kamu typing-nya lama, jadi saya skincare-an dulu, terus pas banget notif kamu masuk, eh tiba-tiba hp saya mati, makanya gasempet bales, tau kan Iphone kalo udah penyakitan nyebelin banget!— Rara mendengus sebal.
“Nah! pas udah gak nge-hang, ternyata IOS-nya update, eh pas banget, semalem wifinya rada ngadet kan, emang Indihome bala. Data saya ilang semua Nggar… termasuk chat-chat penting… makanya tadi pagi saya sibuk download aplikasi di mobil.” Jelas Rara dengan menggebu-gebu.
Terjawab sudah prahara yang membuat Anggar gelisah sekaligus kesal sejak tadi pagi. Wajar jika perempuan itu bertingkah biasa saja sejak ajakannya semalam, orang gak dibaca.
Anggar mengangguk pelan. “Oh… jadi kamu baca sampe mana?”
“Kamu ngajak CFD kan? emang kamu kirim sesuatu lagi?”
Anggar menghela napas pelan. “Iya.”
“Apa?” Rara menatap Anggar penasaran.
“Gapenting sih, cuman bilang abis subuh siap-siap, biar dapet udara pagi.”
“Oh… —Rara terkekeh geli— Kirain apaa..” Seketika Rara teringat akan obrolan mas Aris dengan Anggar tadi. “Nggar… kamu… Mmm… pernah kesini sama siapa aja?”
Anggar menatap Rara datar, lalu mengangguk kecil. “Dulu saya suka makan bubur disini sama Najma. Dia juga yang ngasih tau tempat ini.”
Hah…..? MAKSUDNYE?!? WAH! UDAH LAH ANYING KAGA ADA HAREPAN EMANG LO NGGAR!
“Oh… jadi tempat ngedate sama mantan… oh…” Sindir Rara.
Anggar menatap Rara heran. “Emangnya kenapa? buburnya enak ini kan, ada masalah?” Anggar masih menatap Rara dengan watadosnya.
Udahlah ngambek aja apa ye?
“Gapapa. Saya beli cilok dulu ya.” Rara langsung melenggang pergi, meninggalkan Anggar yang menatap punggung istrinya yang kian menjauh. Lah? salah gua apa? kok tiba-tiba ngambek?— Pikir Anggar.