Mang Cilok Mau Nangis.
Rara berjalan menuju mang-mang Cilok yang tengah digandrui oleh bocil-bocil kerudungan dengan lengan kaus yang pendek. Terlihat antreannya cukup panjang, Rara langsung berdiri tepat dibelakang antrean terakhir.
Tepat saat Rara ingin maju karena sudah gilirannya, tiba-tiba ada ibu-ibu dengan lipstik merah tua serta makeup yang cakey. “Permisi mba, saya duluan ya anak saya laper.”
Rara terperanjat saat ibu-ibu itu dengan mudahnya mendorong Rara kencang dari depan gerobak cilok. “Maaf ya mba, anak saya laper. Mang ciloknya sepuluh ribu diik—
ANJING.
Rara langsung menghadang ibu itu, berdiri menghalangi gerobak cilok. “GABISA DONG BU!, SAYA JUGA LAPER.” Sela Rara.
Rara paling tidak suka dengan kaum 'anak saya laper' seperti ini, kejadian yang sama pernah terjadi saat Rara kebelet pipis di bandara Halim Perdana Kusuma, kala itu ia sampai berdebat dengan ibu-ibu yang membawa anaknya yang berumur 8 tahun, harusnya anak umur segitu sudah mengerti untuk mengantre dan menahan pipis.
Rara berdecak kesal. “Saya dateng duluan bu, saya ngantri dari tadi, masa ibu dateng-dateng nyelak gitu aja!”
“Ya anak saya laperr!! kamu nih gak bisa hormat sama yang lebih tua apa gimana sih? ngomongnya bentak-bentak begitu!” Ucap ibu itu tak kalah ngotot.
Mang cilok yang melihat perseteruan antar dua betina beda umur ini seketika panik. “Eh... aduh... neng... udah neng ngalah aja....” Ucap mang cilok.
Rara melirik mang cilok sekilas. “Gabisa! ini udah soal manner ngantri! Harusnya ibu ajarin anak ibu buat bisa ngehargain orang lain!”
Ibu itu semakin melotot. “Mba yang gabisa ngehargain saya yang udah tua bawa anak! anak saya ini laper! dewasa dong mba! gak mencontoh anak bangsa banget.” Si ibu semakin nyinyir.
YEEEEE GUA PITES LU BIJI KETUMBAR!!. Deru napas Rara semakin menggebu-gebu, sebisa mungkin ia menjaga intonasinya untuk tidak lebih keras dari yang sudah ia keluarkan.
Reflek Rara berkacak pinggang. Sudah tak kuasa menahan emosinya, ia pun berbicara asal tanpa memikirkan kedepannya. “Lohh bu, emangnya anak ibu doang yang laper?! anak saya juga!!” Ucapnya dengan dada yang naik turun.
EH?! Anjing gua ngomong apa...
“Mana anaknya bu?! kamu loh masih muda mana ada anak!! mana!! gak ada!!”
BODO ANJIR BOONG-BOONG DAH GUA!!
Emosi Rara semakin menjadi-jadi, ia menatap wajah ibu-ibu itu penuh kesal. Ni ibu-ibu beneran bikin gua naik pitam banget ya!! pokoknya gua gak akan nyerah sampe gua duluan yang dapet cilok!!!
Rara memang suka membantu orang, cenderung mengalah demi kepentingan orang lain, tak lupa ia akan selalu bilang ‘gua gapapa’ padahal ia tidak suka. Namun, kalau sudah prihal manner Rara tidak punya alasan kuat untuk mengalah.
“POKOKNYA ADA!! —Rara menatap penuh amarah kearah ibu-ibu itu— saya bukan ibu yang jadiin anaknya sebagai alesan buat nyelak antrian orang—”
“Yallah... Gustii Allah... neng udah neng... bu... udah...neng atuh— Mang cilok mencoba menyela, namun, omongannya kembali terpotong.
“DIEM!” Ucap Rara dan ibu itu bersamaan.
Mang cilok meneguk salivanya, celingak-celinguk mencari orang-orang sekitar untuk membantu melerai kedua betina ganas ini.
“POKOKNYA SAYA DUL—
Grep. Napas Rara tercekat persis saat ia merasakan tangan seseorang merangkul pinggangnya. “Sayang, udah?”
Hah… sayang?
Rara menoleh kesamping, terlihat Anggar yang tengah tersenyum tipis menatap matanya. “Hah?”
AAAaaaaaaa! ANGGAR TANGANNYA BANDEL ISHH!
Netra Anggar beralih dari Rara kearah Ibu-ibu tukang nyelak itu. “Maaf ya bu... kebetulan istri saya lagi ngandung baru dua minggu…, dia ngidam banget... cilok pake kecap, udah pengen dari dua hari yang lalu... dan maunya cilok GBK, makanya sampe marah-marah kaya gini... mohon pengertiannya ya bu...” Anggar mencoba menjelaskan kepada ibu itu.
Ngomong apaan lo anjir gila!!
Jujur Rara hanya terdiam, membeku mendengar penuturan Anggar.
Terlihat anak si ibu yang sudah kepalang malu, terus-menerus menarik ujung kaus ibunya. “Bu... ih udah dedek malu, gajadi mau cilok... beli yang lain aja...”
Awalnya, si ibu masih tampak shock akan kedatangan Anggar yang tiba-tiba. Namun, kemudian sang ibu pun langsung meminta maaf kepada Rara, dan berlalu pergi.
“Ibunya udah pergi.” Rara mencoba memperingati Anggar.
“Ya bagus dong... tinggal beli ciloknya.”
Rara menunjuk tangan Anggar yang masih betah berdiam dipinggang Rara. “Nih... ini apa nih? ibunya pergi, kok tangannya gak pergi?”
Anggar reflek menarik tangannya. “Yakan tadi nolongin kamu doang Ra, maaf ya itu pure improvisasi...”
Rara hanya berdehem, lalu tersenyum manis kearah Mang Cilok. “Mang ciloknya 10 ribu yah!!”
“Sama-sama Azarra istriku.”
HHHhhhh! DIEM!
Tak kuasa menahan panas pada kedua pipinya, Rara langsung mendorong punggung Anggar kencang. “Udah! sana-sana! ganggu banget!”
Anggar hanya terkekeh geli sembari berlalu. Mang cilok yang melihat drama rumah tangga didepannya hanya mesem-mesem malu, pun Rara, ia tak kuasa menahan senyum mengingat akan pinggangnya tadi.
Rencananya gua pengen ngambek nih! gagal mulu anjirrr!.