Maya
Shit!
Rara memijat pelipisnya pelan, rasa pening itu terus melingkupi kepalanya. Ia terbangun dengan jantung yang berdegup kencang, rasanya sesak sekali. Bahkan ia bisa merasakan kesat akibat arus air mata yang membekas pada wajahnya.
Rara menangis sepanjang tidurnya. Ia melihat sekitar. Lorong rumah sakit. Rara tertidur di atas kursi tunggu didepan kamar rawat inap yang tadi ia masuki.
Ternyata apa yang ia rasakan barusan adalah sebuah fatamorgana. Sebuah cerminan akan ketakutannya selama ini.
It was just a dream.
Sesuatu yang sangat kita takutkan bisa menjadi sebuah mimpi buruk yang terasa nyata. Rara takut Anggar pergi dari hidupnya.
Rara mengubah posisinya, menyandarkan punggungnya pada kursi tunggu, ia menunduk sembari menopang pipinya dengan kedua jemarinya.
Terlalu nyata untuk sebuah mimpi.
Namun kala Rara mengingat akan pesan yang dikirim oleh Ramzy, ia sadar, mimpinya memang betulan, sang bunga tidur hanya membantunya untuk mempersiapkan diri.
Membantunya menghadapi kenyataan.
Rara kembali menangis, ia tak kuasa menahan sakit yang menusuk jiwanya. Ia terus mengusap wajahnya kasar, merasa bodoh karena telah menyianyiakan cinta Anggar selama ini.
Tubuhnya semakin membungkuk, dengan bahu yag naik turun, tangannya masih bergetar dengan ujung jemari yang mendingin.
Ting! Masih dengan bulir kristal yang membuat alur sungai pada pipinya ia mengangkat wajahnya, menoleh sedikit untuk melihat notif pada ponselnya yang baru saja menyala.
From Anggarsadadi@gmail.com
Don't cry, I'm here, look up.
Seketika tangisnya berhenti, dahi nya mengerut hebat. Ada sekita 10 detik Rara benar-benar terdiam tak bergerak barang se inchi pun. Maniknya terus memandang ponselnya hingga layarnya mati dan menggelap.
Netra Rara menangkap pantulan sosok seseorang dari layar ponselnya.
Hah?
Dengan Ragu Rara mendongak, seketika maniknya terbelalak saat melihat Anggar dengan piyama pasien tengah memandang datar dirinya sembari memegang ponsel pada tangan kirinya. Wajahnya pucat, dengan kantung mata yang bertengger pada wajahnya, bibirnya biru.
Rara terisak kembali. “Yallah, gua liat setan! Astagfirullohaladzim -Rara langsung menunduk, mencoba memalingkan wajahnya-... Allahu la ila ha illa hu...” Mulutnya komat-kamit merapalkan surat ayat kursi, kini Rara menangis karena ketakutan, bukan lagi karena sedih.
“Heh heh, saya bukan setan...” Protes Anggar.
Rara masih menunduk. “Astagfirulloh setannya bisa ngomong...” Kembali rara mengangkat tangannya, membaca kembali surat ayat kursi. Ia benar-benar takut.
Anggar sampai geram sendiri melihatnya. Namun ia terkekeh pelan kemudian, menatap tingkah ajaib istrinya yang tampak pucat pasi seperti baru bertemu mayat hidup.
Anggar kesal.
Anggar menarik kedua lengan Rara, memaksanya untuk berdiri. “Ya Allah gua bakal melayang bentar lagi, Ya Allah, astagfirulloh, ayat kursi gak mempan...” Ucap Rara sembari memejamkan maniknya rapat-rapat. “Ohiya tadi ga pake bismillah. Bismillahirr—
Seketika doa Rara terputus, ia terbelalak saat merasakan sebuah benda kenyal yang dingin menyentuh ranumnya. Anggar melumat bibir Rara perlahan, merasakan rindu yang tertunda begitu lama.
Anggar menciumnya. Benda pink pucat yang sedari dulu selalu ia dambakan.
Ada sekitar 30 detik Anggar menahan pagutannya. Rara sampai mematung dan menatap kosong kesembarang arah. Anggar menangkup wajah Rara, mengarahkan wajah wanitanya untuk menatap maniknya. “Liat saya.”
Rara masih tampak shock dan membeku dibuatnya.
Anggar melepaskan tangkupannya, lalu menarik tangan Rara yang bebas. Ia menaruh telapak tangan Rara pada pipinya. “Pegang.” titahnya, ada nada kesal disana.
“Ada dimensinya kan?” Tutur Anggar. “Kenyel kan?” Ucapnya lagi berusaha meyakinkan.
Rara masih mematung, menatap Anggar tak percaya. Ia masih berusaha untuk memproses otaknya.
Anggar—baru—saja—mencium—Rara.
AAaaaaaa! Sayangnya teriakan itu hanya debut dalam hati Rara, wajar saja lidahnya kelu dan membeku.
Mencoba untuk mengontrol dirinya, walau ia tau pasti pipinya sudah memerah seperti tomat segar. Rara pun menarik tangannya, lalu menekan pipi Anggar dengan telunjuknya.
Hmm.. lembek, kaya bakpau tapi rada glowing. Rara pun mengangguk singkat. “Kamu... tuh bukan qodam kan?” Ia mengacungkan telunjuknya.
Ck. Masih saja wanita ini.
“Saya bukan qodam, saya sayang.“
Seketika manik Rara melebar, lalu menunduk malu, mencoba menghindari contact mata dengan Anggar.
Anggar semakin tertawa. Ia memegang dagu Rara, mengangkatnya ke atas. Otomatis Rara langsung mengalihkan pandangannya kesembarang arah.
“Kenapa sih gitu matanya? tadi pas saya cium mata kamu melek padahal.”
HHhhhhhh!!!!!
Rara meneguk salivanya. “Yy—aa t—ta-ad-ddi...”
Anggar tersenyum. “Iya, paham. Jangan nangis lagi ya? Sayang.” selanya cepat semabri menghampus pelupuk Rara yang basah dengan ibu jarinya.
Rara hanya mengangguk kikuk, masih enggan menatap Anggar.
“Jadi?” Anggar menengklengkan kepalanya lalu tersenyum sembari menaikkan satu alisnya.
Dahi Rara mengerut heran, kali ini ia menatap Anggar. “Apa?”
“Udah cinta?”