Pamit

TAK! Anggar melayangkan stik hybrid-nya kencang, terlihat bola kecil berwarna putih itu melayang di udara lalu jatuh dan menggelinding kearah sasaran. Manik Anggar menyipit, netranya terus mengikuti arah bola golf yang meluncur kearah hole.

Masuk.

“Masalah lo sama Rara udah kelar?” Ramzy mengambil ancang-ancang untuk memukul bola golf nya, netranya menatap lurus hole golf yang berada diujung green.

Tak ada jawaban.

TAK! Bola yang Ramzy pukul melambung tinggi. Contour green yang meliuk-liuk serta penempatan water area yang tersebar dibeberapa bukit membuat permainan golf ini lumayan tricky untuk Ramzy.

Meleset. Bola Ramzy masuk ke water area.

“Ah!” Ramzy menggeram kesal. Ia menoleh kearah Anggar, terlihat jemari pria itu yang terbalut sarung tangan menopang pada ujung pegangan stik.

“Gua bakal cerai sama sepupu lo. Gua udah tanda tangan berkas-berkasnya.” Ucap Anggar santai, lalu ia berbalik memunggungi Ramzy, mengambil ancang-ancang untuk memukul bola selanjutnya.

Otomatis alis Ramzy menukik tajam. “Hah? anjing?” Ia tampak terkejut atas ucapan Anggar yang terdengar santai. “Terus? lo iyain gitu? aja?” Lemas sudah jemari Ramzy membuat genggamannya pada stik golf mengendur.

“Iya.” Anggar tersenyum tipis. “Gua gak mau maksa sesuatu yang emang gak bisa dipaksain, udah cukup.” Ia menegakkan tubuhnya, mengendurkan ancang-ancangnya.

“Cukup apa? cukup ancur maksud lo?” Seketika rahang Ramzy megeras, terdengar gemelutuk antara giginya yang bergesekan.

Anggar terkekeh pelan. “Dari dulu udah ancur gak sih?” Anggar malah balik bertanya.

“Sakit lo?” Ramzy masih menatap Anggar heran. “Kan lo sendiri yang waktu itu ngajuin diri buat nolongin keluarga gua? kalau lo sama Rara cerai, mau ngomong apa lo sama bokapnya? sama eyang?” Ramzy bersedekap, bahkan stik nya sudah jatuh dan tak ia pedulikan.

Anggar manggut-manggut kecil sembari mengulum bibirnya. Ia tersenyum tipis. “Buat apa gua jelasin, sesuatu yang gak harus gua jelasin?”

“Hah?” Ramzy menganga, tak mengerti maksud Anggar sama sekali. “Maksud lo apa?”

Anggar menghela napas pelan, perlahan wajahnya menoleh kearah Ramzy. “Dia yang minta, ya dia yang jelasin dong?”

“Bang? apasih lo?”

She said, she doesn't love me, she just pretending, so, what should I do?” Anggar mendengus pelan sembari memejamkan maniknya rapat-rapat, lalu ia mengambil napas. “Gua juga bisa capek.” Ucap Anggar disertai maniknya yang terbuka lebar.

To be very honest, omongan dia di bandara kemarin bikin gua ngerasa jahat banget Zy, seolah gua nyakitin dia banget. Padahal gua juga bisa sakit, gua juga bisa capek. Ga cuman dia.” Tambah Anggar, sembari mengusap ujung stiknya.

Ramzy meneguk salivanya pelan. Ia tampak frustasi menatap suami dari sepupunya itu. “You said you love her, and will protect her with all cost. Lo janji, sama nyokapnya.”

But, it doesn't work. Gak bisa dipaksa Zy, gua capek. Dia bahkan gak mau dengerin gua barang sedetik aja, dia gak mau denger penjelasan gua, dan milih pergi sama Alam, bahkan gak ijin sama gua. Sebagai suami gua rasanya gak di hargain.”

“Jadi lo... nyerah gitu aja?” Ramzy terkekeh pelan. “Gila lo.”

Anggar berdecak kesal. “Nyerah gitu aja? yakin kalimat lo gak salah? dengan segala yang gua lakukan selama ini? Gua nyoba segala celah, masuk ke hatinya, tapi tetep gak bisa, dengan effort yang udah gua kerahin, gua pikir semua bakal berjalan lancar, nyatanya apa coba? efeknya gak gede-gede banget. Dia tetep dihantui masa lalunya, dan gua gak dianggep.”

Anggar lelah. Sudah terlalu lama dirinya bertahan. Aslinya menyerah pun ia enggan, namun ia lebih lemah lagi kalau itu adalah permintaan Rara, tak bisa ia membantahnya. Andai saja Rara tidak melukai ego-nya kemarin mungkin Anggar masih bisa berpikir bahwa ia akan memperjuangkan Rara.

Bagi Anggar, Rara selalu memberikannya tanya bukan tanda. Anggar akhirnya lelah sendiri.

“Asal lo tau Zy, Najma pernah bilang sama gua, Rara itu cintanya sama Reza.”

“Dan lo percaya? Gila lo?” Ramzy melotot sembari mengacungkan telunjuknnya.

Bahkan caddy yang sedaritadi berada disekitar mereka sampai khawatir akan terjadinya baku hantam.

“Lah? Rara sendiri yang bilang dia gak ada rasa sama gua? Apa yang perlu dipertahanin?” Semprot Anggar tak mau kalah.

Ego-nya terlalu tinggi. Wajar saja, ia anak tunggal.

“Ego lu. Ego lu turunin.” Saut Ramzy tak kalah keras.

Menghela napas Anggar saat menyadari sausana yang menegang. Ia pun melunakkan suaranya. “Udah males, Zy.”

Anggar mengambil napas panjang. “Seakan-akan gua terus yang salah, padahal gua cuman nolongin Maudy, gak maksud sama sekali buat ninggalin Rara, pas itu emang urgent banget, nyokapnya terus nelfonin gua, bilang kalau Maudy sekarat, dengan keadaan Rara yang marah karena berkas itu, gua yakin dia gak bakal percaya sama semua omongan gua, dia pasti nganggep gua bohong. Dengan segala situasi yang sama-sama panas kaya gitu, mana bisa dia kepala dingin, Zy.” Anggar menghela napasnya berat.

“Lo tau sendiri tabiat sepupu lo itu, merasa bisa nge-handle segala sesuatu sendiri, sampe nyakitin dirinya sendiri.” Tambah Anggar.

Seketika Ramzy terdiam.

“Gua punya janji masa lalu, yang gak bisa gua tinggal, nyokapnya minta gua buat pura-pura cinta sama anaknya, dua tahun kebelakang Maudy udah gak punya semangat hidup, dan ketemu sama gua pas di bandara lombok bikin dia punya harapan. Gua punya rencana buat jelasin semuanya ke Rara, gua butuh kita sama-sama tenang.”

Remember that he is future oriented.

“Gua pikir jalan terakhir adalah jelasin semuanya di bandara kemarin. Tapi dia malah bilang dia gak cinta sama gua, jadi buat apa gua jelasin panjang lebar kaya orang bego?” Tutur Anggar lagi.

“Masa? lo effort loh buat Maudy. Padahal lo bisa aja bilang ke nyokapnya buat nolak, bilang kalau lo udah punya istri, dan ga bisa gimmick kaya gitu. Harusnya lo sadar, Nggar- Ramzy mengambil napas pelan.

Ada jeda panjang disana.

“Lo bukan Tuhan, yang bisa nolongin segala hal.”

Anggar mendengus sebal sekaligus tersenyum miring. “Gua balik pertanyaannya. Kalau lo dihadapkan dengan orang yang dulu pernah nolong lo waktu ngerantau, dan lo ngerasa bersalah karena pernah ngasih harapan tapi gak bisa ngebales. Apa lo tega buat nolak?” Anggar menatap Ramzy intens.

“Lo mau anggep gua brengsek, silahkan. Tapi gini kenyataannya, gua bakal lebih jahat lagi kalau nolak hal itu, disaat orang itu punya harapan yang penuh atas gua. Iya, salah gua gak cerita soal ini ke Rara dari awal. Tapi gua punya alasan Ramzy.” Anggar menghela napas pelan.

“Dari awal gua nikah, Rara udah bangun barrier yang tinggi banget. Gua cuman mau menghargai boundaries yang dia punya. Gak mungkin kan dia yang punya masalah banyak banget, gua bebankan lagi dengan masalah yang gua punya.” Anggar menatap Ramzy lekat-lekat.

“Itu, yang gua maksud dengan protect her with all cost.” Ucap Anggar mengakhiri penjelasannya.

Ramzy manggut-manggut mendengarnya, air wajahnya tampak murung. “Tapi gak usah sampe lo tanda-tangan kan? Lo bisa loh jelasin ke dia?” Ramzy masih berusaha meyakinkan Anggar untuk tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.

“Bang, yakin?” Tanya Ramzy sekali lagi.

Anggar sempat termenung beberapa saat, menatap Ramzy intens. Lalu ia mengangguk mantap. “Yakin. Yang terpenting kan gua udah ngabulin permintaan dia buat yang terakhir kalinya. Gua sekarang udah gak bisa nurutin semuanya lagi, gua nyerah Zy. Udah gua tanda tangan.”

“Bang...”

Anggar mengulum bibirnya lalu tersenyum miring sembari mendengus pelan. “Ohiya Zy, mungkin ini our last match ya, gua ngajak lo main, sekaligus cerita dan pamit. Sorry kalau gua pengecut menurut lo, tapi selepas gua pergi dari hidup Rara nanti, gua gak akan sanggup ketemu apapun itu yang bersangkutan sama dia, termasuk lo. Gua pamit ya.”

Belum sempat Ramzy menjawab, Anggar sudah berbalik, berjalan meninggalkan Ramzy dengan kedua caddy nya.

“Bang!” Panggil Ramzy.

Anggar menoleh kebelakang. Ia tak menjawab panggilan itu, ia mengangkat satu alisnya mengisyaratkan tanya.

“Lo pura-pura cinta sama Maudy karena kasian, atau lo emang cinta sama dia?”

Anggar menggigit bibirnya, tersenyum tipis kemudian. “Kenapa lo nanya pertanyaan yang jawabannya udah jelas?” Ucap Anggar sembari berbalik, ia berjalan pergi meninggalkan Ramzy.

Ramzy termenung menatap punggung Anggar yang kian menjauh. “Iya, dari awal lo cinta sama Rara.” Gumamnya sendiri.


Kalau saja sedari awal eyang atau Audrey atau siapapun itu memberitahukan perihal berkas itu kepada Rara mungkin perempuan itu tidak akan semurka sekarang.

Tapi kalau Rara mengetahui berkas itu di awal mungkin ia juga tidak akan mau menikahi Anggar yang notabene nya, melindungi Rara akan ancaman pembunuhan dari anak dokter yang dulu sempat melakukan malpraktek terhadap tante Audrey.

Ya, satu rahasia yang Rara tidak tahu, bahkan hal ini mebuat Anggar nyaris depresi mengetahui kabar bahwa Rara kecelakaan karena alergi kacangnya yang kambuh, ia terus berasumsi itu adalah ulah si anak dokter itu.

Anak tunggal dari dokter yang dulu menghabisi nyawanya sendiri dengan loncat dari gedung rumah sakit, setelah salah mendiagnosa dan memberikan Audrey obat yang malah merusak ginjalnya. Anehnya anak tunggal dokter itu malah menyalahkan keluarga Dewandaru atas nasib miris yang menimpa keluarga mereka.

Audrey sampai kalang kabut saat ia bolak-balik menerima surat kaleng berisikan ancaman pembunuhan terhadap anaknya. Pengirimnya terang-terangan menyebut nama Rara sebagai sasaran. Dan, perjodohan itu memiliki beberapa alasan kuat mengapa ia sampai tega menyerahkan anaknya sendiri.

Mendiang Audrey tidak sekejam itu, membiarkan anaknya menikah dengan orang yang tidak anaknya cintai.

Sempat dulu, berita tewasnya dokter rumah sakit itu naik sebagai headline berita utama, wartawan terus menerus menganggu keluarga dokter itu sehingga mereka dikucilkan dan selalu menerima sanksi sosial atas kesalahan yang bahkan tidak mereka lakukan.

Mungkin hal itulah yang membuat anak dokter itu dendam setengah mati terhadap keluarga Dewandaru, dan berharap sebuah nyawa harus dibalas dengan nyawa.

Namun, surat-surat kaleng itu sudah tak lagi datang setelah keluarga Dewandaru memiliki ikatan sah dengan keluarga Sadadi, salah satu pengusaha property yang memiliki banyak saham rumah sakit dan sangat disegani oleh banyak orang.

Memang waktu itu Anggar pribadi yang menawarkan bantuan kepada Papa, awalnya Audrey tidak setuju, mengingat ia tidak begitu mengenal Anggar, dan setelah ia berbincang dan mengetahui bahwa Anggar adalah anak dari sahabat karibnya sewaktu SMA ia setuju, dan tentu saja demi melindungi Rara, ia rela melepas anaknya.

Maka dari itu, sebagai jaminan, Audrey mengajukan sebuah syarat, apabila Anggar menyakiti Rara, dan tidak berhasil melindungi anak bungsunya itu, ia harus memberikan saham terbesar yang keluarga Sadadi punya.

Dengan kondisi Audrey yang sudah sakit-sakitan itu, alasan yang paling bisa diterima oleh Rara adalah Audrey sudah tidak punya banyak waktu untuk menunggu anak bungsunya itu memiliki sandaran.

Alias, Audrey takut tidak bisa melihat anaknya menikah. Sebuah alasan dibalik alasan sesungguhnya.

Lantas apakah alasan Anggar menawarkan diri? tak ada yang tau.

Ramzy mengacak surainya frustasi, ia sampai tak habis pikir mendengar seluruh kekacauan rumah tangga yang yang terjadi pada sepupu dan sahabatnya itu. Ia meneguk habis air mineral yang baru saja ia beli dari vending machine lalu meremukkan botolnya hingga hancur.

“Anjing, anjing.” Gumam Ramzy penuh amarah.

Setelah selesai berberes, Ramzy menyampirkan tas selempang pada pundaknya, berjalan pelan menuju parkiran tempat golf itu, sesekali ia tersenyum tipis saat berpapasan dengan para caddy yang baru saja selesai menemani pengunjung yang bermain golf.

“Selalu gini dah, kabur terus kalau abis sakit hati, Nggar... Nggar kapan lo berubah sih?” Ramzy bermonolog sembari merogoh kunci mobilnya didalam saku jeans nya.

Seketika manik Ramzy melebar saat melihat mobil Anggar yang masih terparkir tepat disebelah mobilnya. “Loh? lah belum balik dia? ah bodolah.” Ia berjalan kearah pintu mobilnya.

Sekilas Ramzy menoleh kearah mobil Anggar, namun pandangannya berubah heran saat melihat pintu mobil Anggar disebrangnya yang terbuka lebar.

Otomatis Ramzy langsung berjalan mengitari mobil Anggar, mencari-cari keberadaan sang empu. Dengan hati-hati ia melihat ke balik pintu mobil yang terbuka. Seketika ia terbelalak saat melihat Anggar yang terduduk diatas conblock dan bersandar pada sisi bawah mobil.

“Bang!” Ramzy tak bisa menyembunyikan rasa paniknya saat melihat keringat yang membanjiri pelipis Anggar, pria itu mengeram kesakitan sembari memegang perutnya. “Bang! Anjir lo kenapa?!”

Perlahan Anggar mendongak, menatap Ramzy samar-samar, tatapannya buram. Gemuruh serta rasa sakit yang terus menusuk perutnya tak kunjung berhenti, ia sampai tak mampu membalas panggilan Ramzy. “Zz—yy-y...” Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya, dan seketika gelap.