Paris
Unbeliveable. Senangnya bukan main.
Akhirnya Rara menapakkan kakinya di Paris, setelah semalam sampai pada pukul 21.20 waktu setempat, dan kebetulan mata Rara dan Anggar sudah sepet dan lecek mereka pun langsung pergi ke hotel, dan tertidur pulas setelahnya. Bahkan mereka tak sempat membereskan perlengkapan yang mereka bawa.
Paginya mereka berencana untuk city tour. Senyum sumringah tak pernah luntur dari wajah Anggar, Rara sampai keheranan melihatnya. Ya tapi Rara pun turut senang sih, apalagi melihat bangunan-bangunan yang biasanya cuma bisa dilihat di film-film.
Pagi ini udaranya super duper dingin, Rara beberapa kali menggosok lengannya pelan. Bodoamat lah anjir yang penting jalan-jalan.
Rara yang tengah menggosok-gosok jemarinya seketika terkejut saat Anggar tanpa aba-aba meraih tangannya lalu meniupnya pelan. “Masih dingin?”
Rara meneguk ludah pelan. Anjirrrrr.
“Yeh ditanya, masih dingin gak?”
YA KALAU DITANYA DINGIN APA NGGAK YA MASIH NGGAR KAN 7°C, MASALAHNYA SEKARANG TANGAN GUA LO PEGANG!!!
“Kok diem aja?” Anggar memiringkan kepalanya, menunggu Rara menjawab.
“Y-ya... bibir saya rada beku, jadi susah ngomong.” Buru-buru Rara menarik tangannya. Aduh aduh aduh, masih pagi...
Rencananya pagi ini mereka mau pergi ke Arch de Triomphe, bangunan besar yang ada ditengah kota. Sejenak mereka habiskan waktu dengan berfoto- foto disana, apalagi Mami yang kerap meminta untuk video call membuat Rara menghela napas berkali-kali.
Anggar lah yang kerap mendapat panggilan itu, alhasil sekarang ia tengah memegang ponselnya mengarahkan benda itu ke wajahnya dengan Rara yang berada disampingnya.
“Hallo!! gimana sayang disanaa?” Terlihat Mami yang tengah dadah-dadah dibenua bagian sebrang sana. Tak hanya Mami, ternyata perempuan paruh baya itu tengah berkumpul dirumah Eyang Her.
“Assalamualaikum mas Anggar... Rara..aduh putu eyang...kangen nihhh. Gimana kabar kalian...” Kini Eyang yang dadah-dadah dari sebrang sana.
“Waalaikumsalam.. Kita baik-baik aja kok... Hehe..” Rara dan Anggar hanya bisa terkekeh mendengar pertanyaan yang bertubi-tubi dari Mami dan Eyang.
“Rara ngerepotin gak bang.” Eh Ramzy nimbrung dibelakang Eyang.
Rara reflek memutar bola matanya malas. “Nimbrung aja lo Zy!”
“Hahahaaa...” Baik Eyang, Mami dan Ramzy hanya terkekeh pelan menanggapi. “Mas Anggar gimana? Rara atau kamu gak sakit kan selama disana.” Tanya Papa tiba-tiba, ternyata pria itu juga ada disebelah Eyang.
Anggar dengan segala 'Tanpa aba-abanya' langsung menaruh jemarinya pada pucuk surai Rara, mengelusnya pelan. “We're having fun here! no need to worry Pa.” Ucap Anggar sembari menyandarkan kepala rara pada dadanya.
Anggar lo ngapain anjir.
“Aduhh...aduhh... yaampun Mami gakuat... Ma liat deh cucu Mama ini yaampunn....” Mami langsung terenyuh melihatnya. Rara yang sekarang tengah membeku masih bisa terheran melihat Mami yang tersentuh hanya karena adegan cheesy ini.
Usai mematikan video call, Rara langsung mengenyahkan dirinya dari dada Anggar. “Kamu ngapain tadi?” Tanya Rara, masih dengan wajahnya yang sedikit memerah.
“Nunjukin ke mereka lah, kalau kita seneng-seneng disini.” Jawab anggar enteng.
“Really? kasian dong yang mereka liat palsu.” Ucap Rara tanpa sadar, ia fokus memotret pahatan-pahatan cantik dilangit-langit gapura kemenangan yang dibangun atas perintah Napoleon Bonaparte.
“Palsu? siapa bilang?”
Rara menoleh kearah Anggar. “Ya emangnya asli?”
“Masa palsu?” Anggar malah balik bertanya.
Rara terdiam sebentar. “Masa... asli?”
Yeh.
“Gak tau ah.” Anggar pun berbalik berjalan menuju terowongan bawah tanah yang tadi mereka gunakan untuk masuk ketengah gapura.
“Ehh!! kok ditinggalll, Anggar ihhh!!”
Kok malah ngambek sih tiba-tiba! gajelasss.
“IHHHH!!! MOANA!!!”
Teriak Rara menggelegar, saat maniknya menangkap patung Moana yang tengah memegang kayuh. Sesudah dari Arch de Triomphe mereka langsung menuju stasiun MRT dan memilih untuk pergi ke Champs-Élysées. Jalanan yang penuh akan toko-toko branded. Tapi Anggar keheranan saat manik Rara berbinar-binar saat melihat Disney store.
“Fotoin! fotoin!” Rara berseru senang. Ia pun langsung berpose-pose gemas bersama Moana, Anggar sesekali tersenyum tipis melihat layar ponselnya.
Usai selesai membeli beberapa barang disney yang menurut Anggar itu hanya untuk pajangan, mau bagaimanapun juga Rara tetap perempuan biasa yang menyukai hal-hal receh. Setelah itu mereka berjalan ke Museum Louvre, bangunan kaca segitiga yang menjadi kediaman tetap lukisan Monalisa.
“D-ddu-uh huuuhh...” Rara menghela napas berat, ia menopang tubuhnya dengan kedua jemari yang berpegangan pada lututnya.
“Mo minum?” Anggar menyodorkan tumblrnya, lalu tanpa bicara Rara langsung merampasnya, meneguknya tanpa ampun.
Ternyata berjalan sejauh 3.5 KM itu bikin kaki pengkor dan napas tersengal-sengal. Rara sampai memegang bahu Anggar berkali-kali saat ia kelelahan. “Makanya rajin olahraga biar gak gampang capek.” Anggar malah meledek.
“Ih!! capek tau, jauh banget ternyata.”
Musée du Louvre. Senyum Rara merekah ruah saat maniknya menatap bangunan segitiga itu. Maniknya sampai berkaca-kaca karena ia terharu. “Duh mbak Monalisa, I'm cominggg!!“
Usai membeli tiket seharga €20, atau bila dirupiahkan setara dengan tiga ratus ribu rupiah.
Kini keduanya tengah memandangi lukisan Monalisa yang ramai, saking ramainya, beberapa kali Rara terhuyung karena tersenggol orang, alhasil selama didalam museum Rara dirangkul oleh Anggar, jangan tanya perasaan Rara, campur aduk perut Rara dibuatnya.
“Tau gak Nggar, apa yang terpenting dari lukisan Monalisa?' ucap Rara sembari bersedekap.
“Apatuh?” Anggar ikut bersedekap, maniknya fokus menatap Lukisan.
“Jadi tuh tahun 1911 si pencuri ngambil lukisannya dari dinding museum kan, terus pokoknya mereka berhasil tuh nyuri, eh dua tahun kemudian salah satu pelaku nyoba buat ngejual, eh apesnya ada salah satu pembeli yang curiga terus lapor polisi, yaudah deh abis itu diliput sama media, jadinya tuh lukisan jadi lukisan paling terkenal sedunia.” Jelas Rara panjang lebar.
Anggar hanya manggut-manggut, lalu ia tersenyum tipis. “Tapi... tau gak Ra, apa yang lebih penting dari dicurinya lukisan Monalisa.”
Rara menoleh kearah Anggar yang masih fokus pada lukisan didepan sana. “Lukisan apalagi yang dicuri?”
“Bukan lukisan sih,” Anggar terdiam sejenak, Rara masih memandang Anggar, menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya. “Tapi... hati saya.”
H-hhat-tti?!
“Gimana? gimana?” Rara menatap Anggar serius. “Organ kamu pernah dicuri? kamu... pernah jadi korban human trafficking???”
Anggar malah terbahak mendengarnya. “Nggak dong cantik,” Ia menoel hidung Rara gemas. “Maksudnya hati saya ya... perasaan saya dong.”
EALAHH.
“Duh kalau nyuri harusnya dihukum gak sih kaya pencuri lukisan itu.” Rara mencoba menimpalinya asal.
“Ya udah saya hukum sih.”
“Gimana tuh.” Rara menegakkan tubuhnya, merasa penasaran dengan jawaban Anggar.
“Saya nikahin.” Manik Anggar beralih dari lukisan ke arah Rara, ditatapnya bola mata perempuan itu. “Kamu tuh culprit-nya.”
ANJIRRRR!!
ZZzz! Seketika bulu kuduk Rara meremang hanya dengan tatapan Anggar yang dalam kepadanya, Rara mencoba mencari ketulusan didalam manik coklat itu, because eyes never lie.
“Eh udah yuk yuk, kita keluar aja makin rame soalnya.” Tak kuasa menatap manik Anggar Rara langsung menarik tangan Anggar keluar dari kerumunan yan mengerubungi Lukisan siang itu.
Baru saja beberapa langkah Rara berbalik, Anggar menarik tangan Rara.
CUP~
Anggar mengecup pipi Rara cepat. “Kamu gemes ya kalau salah tingkah gini.” ditatapnya Rara yang tengah kesulitan menelan ludahnya.
Kenapa pake nyium sihhh?!
Rara bukannya menjawab malah menyelinap kabur ditengah keramaian museum.
Gua malu anjirrrr, malu bangettt!! gua mau punah sekarang juga plisss!! Anggar manis banget masalahnyaaaa.
Rara sampai diluar museum Louvre, menunggu pria itu keluar sembari menunduk malu. Rona merah masih terasa panas dikedua pipinya.
Grep.
Seketika tangannya dipegang dari belakang. “Jangan misah Rara, nanti ilang.” Anggar sedikit meninggikan suaranya.
Rara masih terdiam.
“Rara, saya cheesy banget ya?” Tanya Anggar tiba-tiba.
Tidak ada jawaban.
KRUYUK! Jadilah perut Rara yang menjawab.
Rara tersenyum canggung saat suara perutnya berbunyi keras, Anggar pun hanya tersenyum tipis seraya menarik perempuan itu untuk mencari restoran terdekat.
Setelah merundingkannya sejenak, akhirnya mereka makan siang di Restoran Le Wilson , salah satu restoran yang berada persis disebrang Trocadéro, pelataran lebar yang biasa buat orang-orang foto pre-wedding itu.
“Bonjour!”, sapa pelayan restoran. Rara dan Anggar sibuk memilih berbagai macam menu, Rara memesan berbagai patisserie dan steak serta segelas white chocolate, sedangkan Anggar dengan segala rasa penasarannya memesan es cargot, kalau kata Rara, Ih makan umang-umang. Soalnya es cargot itu terbuat dari bekicot.
Usai makan siang Rara dan Anggar berjalan-jalan disekitar pekarangan Eiffle Tower.
Banyak sekali pasangan yang berciuman disana, membuat Rara sesekali memalingkan wajahnya malu. Ya sebenarnya budaya disini ya memang seperti itu, namun melihat hal itu dengan Anggar kan jadi canggung.
Cuaca sore ini sedikit foggy, bau-bau akan turun hujan semakin terasa. Namun hal itu tidak menghentikan Rara dan Anggar untuk berfoto-foto dipekarangan menara Eiffle.
Entah mengapa melihat banyak sekali pasangan yang berpacaran mesra membuat suasana terasa panas, ditatapnya tangan Rara yang digenggam oleh Anggar. Sudah sedaritadi sebenarnya jantung Rara terus-terusan memompa tanpa irama, bahkan kupu-kupu yang berkeliaran bebas pada perutnya tak kunjung berhenti mengepakkan sayapnya.
Repot banget sih suka sama orang. Sudah lama Rara tidak merasakan ini, gemuruh hebat yang terus menerjang hatinya, desiran pasir yang terus memenuhi kepalanya, serta sengatan listrik yang melingkupi ujung jemarinya. Sungguh, Rara sudah baper maksimal.
“Ra sini deh saya fotoin.” Anggar mundur beberapa langkah.
“Ngapain deh?”
Anggar menyingkirkan ponselnya dari wajahnya. “Fotoin kamu lah, saya mau punya foto kamu disini.”
Mulutmu, Harimaumu.
Rara tak kuat.
Alhasil ia hanya berpose-pose canggung, karena tak sanggup menahan semburat merah yang ada dipipinya.
“Ra, quick question for you.” Tiba-tiba Anggar merekam dirinya dan Rara pada kamera ponselnya.
Rara yang keheranan menatap layar ponsel Anggar hanya bisa menjawab singkat. “What?”
“What my privilege if I am your lover?” Ucap Anggar seraya melihat layar ponselnya.
Rara merengut, terkekeh pelan kemudian. “Hmm... you'll be the first one i send memes to, maybe...” Lalu Rara menoleh kearah Anggar. “How about you?”
Sejenak Anggar terdiam. “Hmm... maybe... you'll be my priority with 24/7 attention and affection from me.“
TIK!
TIK!
TIK!
BRESS!
“Ehhh ujann Ra!!” Anggar langsung memasukkan ponselnya kekantung celananya lalu melepas jaketnya, menyampirkannya keatas kepala Rara dan merangkul perempuan itu erat. “Neduh dulu ayok.”
Tapi Rara malah menepis rangkulan Anggar. “Ujan-ujanan aja yuk, saya udah lama banget gak ujan-ujanan.”
Anggar menatap Rara heran, namun tersenyum lebar kemudian, entah mengapa tanpa malu mereka menari dibawah hujan lebat, didepan menara eiffle yang mungkin cemburu akan pasangan yang tengah berbahagia itu.
Seketika Rara tersenyum lebar, rintikan hujan masih terus menghujani wajah serta tubuh mereka, kini mereka sudah basah kuyup. “NGGAR!!!”
“IYA RA KENAPA?!” Anggar menatap Rara tepat dibola mata wanita itu.
“EIFFLE FOR YOU!!!” Ucap Rara lantang.
Mereka tampak tak tau malu dilihati oleh para turis lainnya yang berteduh ditepi sana.
“HAH APA?? GAK DENGER RA!!!”
“EIFFLE FOR YOU!!!“
“HAH GIMANA BAWA MENARA EIFFLE KE JAKARTA??? GANTUNGAN KUNCI MAKSUD KAMU?”
Rara kembali terbahak pelan, diusapnya wajah yang kian penuh dengan rintikkan air hujan. “MAKSUD SAYA I FELL FOR YOU NGGAR, SAYA JATUH CINTA SAMA KAMU!!”
Anggar terdiam sejenak, masih dengan Rara yang tersenyum sumringah. Namun senyuman Rara pudar begitu saja saat tiba-tiba Anggar melumat ranumnya,
Pria itu melumat lembut bibir Rara dibawah rintikan hujan, serta menara Eiffle yang menjadi saksi bisu pernyataan cinta Rara terhadap Anggar.
Anggar menangkup wajah Rara, memagut wanitanya lembut, mengigit kecil ranum Rara pelan, terasa gairah dari keduanya yang kian memuncak, entah mengapa urat malu sudah tak ada harganya. Ini romantis untuk Rara!
Anggar melepas pagutannya, sejenak ia menatap wajah Rara yang basah, seketika ia tersenyum lebar. “Makasih, Ra.” Anggar kembali melumat bibir Rara, tak sempat perempuan itu membalas kata, hanya rasa yang bisa membalas, betapa bahagianya Rara sekarang.
Anggar mendekatkan bibirnya kearah telinga Rara. “I want you.”
Seketika bulu kuduk Rara kembali meremang. Anggar merengkuh tubuh kurus Rara, lalu menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Rara. “I want you in my bed.”
Seketika Rara menyunggingkan senyumnya. She flushed when she realized they're just kissed in the middle of the rain.
Paris, the city of love. Indeed.