Sirkus Teknik

Sore itu, niat awalnya Rafina dan Garda mau mampir sebentar ke Apart Garda. Hanya untuk ambil hoodie, ambil tumblr, lalu berangkat.

Simple. Harusnya.

Pintu apartemen terbuka dengan satu dorongan malas. Garda masuk lebih dulu. Di belakangnya, Rafina—dengan langkah kecil ragu—mengikut pelan seraya clingak-clinguk, layaknya bocah yang nyasar di pasar.

Begitu pintu terbuka, alih-alih suasana sepi yang menyambut mereka justru suara riuh layak pasar malam berkumandang.

Anjing.

Bola mata Rafina hampir copot separuh saat melihat ruangan yang penuh sesak dengan makhluk-makhluk bertampang urakan macam tukang tambal ban, tukang las, dan musisi indie. Semuanya berambut awut-awutan, kaos lusuh, celana training belel, dan asap rokok yang nyaris menghalangi penglihatannya.

Refleks Rafina ngerem di ambang pintu saat aroma tembakau memasuki rungunya.

Di dalam, semua anggota Nocturn nongkrong kayak abang-abang pangkalan.

Bagas selonjoran sambil ngunyah ciki, Fadhil ketawa-ketiwi seraya nonton tiktok, Gersa nyeduh kopi sachet sambil debat sama Agra soal teori politik yang tidak mudah untuk dipahami.

Lantas Garda mendelik datar seraya masuk ke area dapurnya. “Bangke… lupa kalo bocah-bocah ini pada izin nongkrong di sini.” Tuturnya pelan.

Satu per satu, kepala-kepala itu menoleh ke arah kedua muda mudi itu, ekspresi mereka langsung seperti anak sekolahan yang baru ketahuan basah saat sedang nyontek berjamaah.

Shock. Berat.

“Lah? Loh?” Gersa memulai dengan tampang herannya seraya menunjuk Rafina.

“PAANEH!!! PENGANTEN KAH?” teriak Fadhil, langsung meledakkan tawanya.

“WAH DI KUA APA GRAHA, GAR??” Tambah Bagas seraya mengacungkan cikinya.

Lantas Fadhil melipat tangan di dada, mimik wajah sok serius, “Aku ingin bertanya… akad-nya kapan, Mas Garda?”

“CAILEHH ‘Mas Garda’ asoyyy benerrr.” Tambah Bagas seraya menabok pundak Fadhil pelan.

Lantas keduanya cekikikan seraya memegang perutnya.

Agra yang sedang berdiri di samping Gersa pun langsung berkacak pinggang dengan mimik sok tidak menyangkanya. “Walah mesti ngundang rombongan kayak e! Iki kudu tak siapno batik siji!”

“Gue lindes pala lo pada ya.” Jawab Garda cepat seraya melepas sepatu salomonnya.

Nael dan Wikan, yang duduk di karpet sambil main Uno, langsung menjatuhkan kartunya ke karpet saat maniknya menatap Rafina, sang sahabat, sang musuh bebuyutan Garda, datang ke dalam sarang penyamun.

“Lu ngapain Rafina…” Nael tenganga lebar. Ia terlihat sangat shock.

Sedangkan Wikan hanya terdiam karena iya betul ia tidak bisa berkata-kata.

Yang ditanya hanya bisa berdiri mematung. Maniknya sedikit melotot, tangannya menempel erat di tas selempangnya kayak lagi nyari pegangan hidup.

Astaga. Astaga. Astaga.

Mungkin, kalau Rafina jalan mundur pelan-pelan sekarang, dia masih bisa kabur sebelum urat malunya terputus.

Garda pun masuk ke area ruang tamunya, seraya mengibaskan tangan. “Udah, diem lo pada. Bentar ya, gue sholat dulu. Lo duduk aja samping Nael sama Wikan.” Ucapnya seraya mengalihkan wajahnya ke Rafina.

“HAAAH??!” Bagas hampir tersedak ciki. “LO SHOLAT, GAR?!” Teriaknya keras.

“ANJIR NITIP GAR, NITIP SATU ROKAAT.” Tambah Fadhil cepat.

“Mending lo refill dulu kuota soljum lu Dhil,” Jawab Gersa meledek.

Garda dengan gaya cuek bebeknya, berjalan ke arah laci nakas kecil di samping sofa, mengambil sajadah lipet, lalu melengos masuk kamar.

Seraya lewat depan Rafina yang telah terduduk kaku di samping Nael dan Wikan, ia nyeletuk. “Lo kalo mau cari Joder di sini, percuma. Nggak ada di sini.” Lalu kabur masuk ke kamar.

Seperti tau niatnya ketahuan, mimik wajah Rafina langsung mecucu layaknya bocah kehilangan mainan di mall seraya celingak-celinguk hopeless, ngarep si Joder nongol dari balik sofa.