Sunday Morning Deep Conversation with you


Minggu pagi yang sejuk dengan segudang deadline serta suara mesin cuci yang mengisi kesunyian pada kediaman Anggar dan Rara.

Setelah menerima pesan singkat akan ajakan menonton film bersama di Mini Theatre oleh Anggar, Rara langsung keluar dari kamarnya dan mengangkat beberapa jemuran. Setelah itu ia mengambil beberapa cemilan dari pantry dapur dan 2 cup kopi Tuku yang memang ia stock di dalam kulkasnya.

Usai membawa beberapa perintilan serta selimut bulu hangat favorite-nya, Rara langsung masuk kedalam theatre, netranya menangkap Anggar yang sedang asyik dengan ponselnya di atas sofa bed yang melingkari layar lebar yang ada di ruangan yang redup itu.

“Mau nonton apa sih?” Tanya Rara tepat saat ia menjatuhkan tubuhnya pada sofa bed di sebelah Anggar. Ia menaruh berbagai cemilan cepuluh yang ia bawa tadi.

Anggar hanya menatap Rara, arah pandangnya mengikuti seluruh gerakan Rara. “Apa ya? kamu suka film yang gimana?”

“Hmm... saya suka apa aja sih. EHH— Tau Posesif gak? mau nyoba nonton deh, kemaren kata Aras bagus, banyak moral value-nya.”

“Filmnya tentang apa?” Tanya Anggar.

Rara terdiam sejenak. “Hmmm... anak sma gitu pacaran, kurang tau sih, gak nanya juga kemaren tentang apa. Setel aja, ada kan di Netflix?”

“Bentar ya saya cari dulu.” Aslinya Anggar bukan tipikal yang menonton film-film menye dengan genre teenlit-romance seperti itu, bukan Anggar sekali, yah tapi kalau Rara yang meminta, Anggar bisa apa?

Usai mencari serta menyetel film itu, Anggar hanya duduk biasa sembari menyeruput kopi Tuku yang tadi Rara berikan, pun perempuan itu hanya duduk menonton sembari memakan cemilannya dengan santai. Awalnya Anggar masih mendengar beberapa celotehan Rara akan pasangan yang jatuh cinta secara instan dan memutuskan untuk berpacaran namun menurut Rara itu sangat cringe.

Hingga pada segmen dimana konflik-konflik itu mulai berdatangan, Anggar tak lagi mendengar celotehan Rara, ruangan itu terlalu gelap untuk bisa melihat dengan jelas mimik wajah Rara, bias cahaya dari arah layar pun hanya memperlihatkan lekukan hidung serta mulut Rara. Kok dia diem aja? nikmatin banget nontonnya, batin Anggar.

Hingga saat adegan demi adegan yang turut membuat Anggar terbelalak, dimana pemeran utama mengalami banyak kekerasan fisik serta kekerasan verbal bahkan ancaman-ancaman yang merusak mental serta ketakutan tak berujung yang membuat pemeran utama perempuan itu merasa hancur. Anggar reflek menoleh ke arah Rara.

Anggar teringat akan sosok Rasyad, mantan Rara yang melakukan kekerasan fisik serta verbal kepada Rara dulu semasa SMA, walau Anggar tak pernah tau detailya seperti apa, ia hanya tau sedikit-sedikit dari sanak saudara atau sahabat-sahabat Rara.

Tepat saat Anggar menoleh, netranya melihat Rara dengan tubuh yang bergetar serta air mata yang sudah berderai pada kedua pipinya, manik Rara terus menatap layar itu tanpa henti, ralat, ia tak bisa beralih, ia terlalu larut dalam sebuah film yang menyajikan kisah masa lalunya, dan ia sudah tidak bisa mengontrol ketakutan pada dirinya yang kian hari kian meyelinap keluar untuk mengusik ketenangan Rara lagi. Ia merasa terancam.

Ra... your hands... are shaking...” Ucap Anggar, ia terkesiap dengan kondisi Rara sekarang.

Rara tak menjawab, perempuan itu semakin terlihat ketakutan hingga segukan kecil itu lolos begitu saja dari kerongkongan Rara, membuat Anggar semakin gelagapan dan bingung dengan kondisi Rara sekarang.

“Hey... kamu kenapa?” Anggar dengan ragu menaruh jemarinya pada pundak Rara, tangan kirinya yang bebas menekan tombol power off pada remote tanpa melihat ke arah remote tersebut. Otomatis ruangan menjadi gelap gulita, hanya sinar-sinar lampu led berwarna biru yang menerangi samar-samar ruangan itu.

Ra? are you okay?” Bingung, jujur Anggar sangat bingung, ia mengelus pundak Rara pelan, mencoba untuk menenangkan sang nona.

Masih tak menjawab, Rara malah meringkuk, ia menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya yang ia tumpu pada kedua lututnya. Bukannya reda, Rara malah semakin terisak, bahkan dengan jelas Anggar dapat mendengar sesaknya dada Rara yang terus menerus mencari pasokan oksigen.

Jawaban dari semua kondisi Rara sekarang adalah trauma yang ia ingat melalui film yang baru saja mereka tonton, bahkan hanya dari sebuah ketikan, artikel, film, atau hal-hal kecil lainnya bisa men-trigger Rara pada masa kelamnya itu.

Rara ingat dengan jelas sakitnya seperti apa, sakit yang tak berdarah namun sukses membuat berat badannya turun drastis, jam tidurnya berantakan, nilainya terjun bebas, rambutnya rontok tak terkontrol, serta kesehatan mentalnya yang terusik hebat. Hal itu tak lain tak bukan adalah sakit yang diberikan oleh Rasyad. Orang yang ia percaya, namun menghancurkan segalanya dan nyaris membunuhnya secara perlahan.

Selain itu, ingatan akan Reza pun terus mengusiknya, semuanya bertubi-tubi, rasa sayang serta cintanya kepada Rasyad membuat sahabat tersayangnya malah pergi selamanya dari dunia ini, sebut ia tolol, karena ia sendiri sudah merasa tak pernah cukup untuk siapapun.

Rara semakin terpuruk dan ego dalam dirinya terus merajai kegelapan yang kini melingkupi relung hatinya. Ia merasa tenggelam dalam masa-masa yang harusnya sudah ia lupakan, yang harusnya sudah ia buang jauh-jauh walau masih banyak sekali tanya yang belum dapat ia temukan jawabannya.

Air matanya kian deras dengan bahunya yang bergetar dan dadanya yang naik turun, rasanya Rara ingin sesegera mungkin mencabut segala perih yang terus mengiris hatinya. “Ma-af...”

“G-gua me-mang sal-lah...”

“Ma-af...”

“Gu-ua har-rus-nya deng-ngerin lo...”

“Tapi gua bisa apa...”

“Gu-a ci-n-nta s-am-ma d-dia..”

“Ma—

Why do birds suddenly appear

Rara langsung mendongak, isakannya berhenti mendadak kala lantunan lagu Close To You – Carpenters itu mengalun pada rungunya. Siapa lagi kalau bukan Anggar yang menaruh airpodsnya pada telinga kiri wanita itu.

Every time you are near?

“Saya kalau lagi suntuk dan capek banget selalu dengerin lagu ini, dulu waktu saya sedih suka didengerin lagu ini sama Oma, sebelum dia meninggal.” Anggar menatap Rara dengan tulus, ia sedih melihat wanita yang sangat ia cintai seterpuruk itu.

Just like me, they long to be

“Kalau kamu sedih, cerita aja ke saya, saya dengerin, jangan nangis kaya gini, saya sedih liatnya.”

Close to you

“Kamu punya saya, jangan merasa not enough lagi ya?”

Rara menoleh ia terdiam dan terus menatap Anggar yang masih setia menatapnya, sungguh entah ada yang percaya atau tidak, mereka hanya saling menatap hingga lagu itu habis, tak hanya Rara yang memakai airpods namun Anggar turut memakainya, keduanya saling memandang sekaligus menatap satu sama lain tepat di bola mata keduanya.

Anggar mencopot airpods dari telinga Rara, lalu mencopot dari telinganya juga menaruh benda kecil itu pada meja pendek di depannya. “Udah mendingan?”

Rara mengangguk kecil, ia tak mengerti mengapa semudah itu ia tenang saat Anggar melakukan hal-hal kecil untuknya.

“Kalau kamu udah siap, kamu boleh cerita sama saya tentang segala unek-unek kamu, saya siap kok berbagi rasa sakit, daripada kamu terus-terusan kaya gitu, saya ikhlas.”

Rara masih terdiam, lantas ia kembali menunduk, enggan menjawab tuturan Anggar, ia hanya termenung. Ia sadar sekali tak mungkin kan ia terus-terusan memendamnya tanpa membagi sakitnya kepada orang lain, tapi memang dasarnya perempuan itu takut kalau orang lain harus merasakan apa yang ia rasakan.

Ada jeda sangat panjang hingga Rara akhirnya menghembuskan napasnya panjang, ia mendongak, menatap lurus kesembarang arah. “Dulu...”

“Dulu, saya mungkin emang bodoh aja kali ya.”

Anggar terdiam, enggan menginterupsi Rara yang sudah mulai berani berbicara.

“Saya dulu kenal sama Rasyad bentar doang, awalnya temen sekelas gitu, dia PDKT sama saya cuman seminggu, terus saya sama dia ya gitu, saling suka secara instan, gimana sih anak SMP, cinta monyet gitu.” Rara menarik napas panjang.

“Saya... pada saat itu ya secinta itu sama dia, soalnya dia pacar pertama saya, yang deket banyak, tapi saya gak tau kenapa yang berhasil bikin saya suka banget ya dia. Saya tuh kalau liat diri saya di masa lalu bener-bener malu, ya... sebenernya saya malu ceritain ini ke kamu Nggar, aib soalnya.” Rara kembali terdiam.

Rara menghela napas pelan. “Saya bucin banget, mana saya tuh jujur ya, bucin-bucin cuek gitu, gimana sih duh saya bingung. Saya... lumayan jutek ke dia dan itu jadi masalah. 1 tahun hubungan saya sama dia itu baik-baik aja, tapi saya suka ngambek gitu dan judes sedangkan dia tuh anak tunggal yang clingy banget apa aja diturutin sama mamanya jadinya bertolak belakang banget sama saya. Masalahnya kadang ngambeknya saya juga aneh sih, ya tapi anak SMP gimana sih, liat pacar banyak yang suka dan deketin ya kesel aja, terus tahun-tahun selanjutnya dia mulai hilang-muncul, hilang-mucul gitu aja terus. Pokoknya dramanya banyak, saya diselingkuhin 3-4 kali apa ya? saya lupa deh pokoknya banyak, saya terus maafin, saya juga gak ngerti sih kenapa, tapi kalau ditanya sekarang, kenapa saya gak lepas aja dari dulu, ya saya juga gak tau jawabannya, saya bahkan gak kenal diri saya saat itu.”

“Kamu... diselingkuhin 4 kali?” Tanya Anggar, sebisa mungkin ia menyembunyikan mimik kesalnya.

Rara mengangguk kecil sembari mengulum bibirnya, menahan getar yang mulai menjalar pada ranumnya. “Setiap ketauan selingkuh, ya dia marah sama saya, saya sering ngancem putus, bahkan saya pernah benar-benar ingin mutusin dia, tapi dia selalu gitu, persis kaya yang kita tonton tadi di film itu, semuanya saya alamin, untungnya, saya masih bisa menjaga kehormatan saya, itu suatu hal yang saya syukuri sampai sekarang.”

Hening.

Rara kembali terdiam, namun Anggar mengerti, mungkin Rara tengah mengontrol gemuruh amarah yang memporak-porandakan hatinya.

“Pernah satu waktu, saya foto sama teman sekelas saya, cowok, berdua doang, ini waktu kelas 9 SMP. Saya foto ya gak ada maksud gimana-gimana, saya cuman foto karena ya dia teman saya, dan waktu itu lagi ngerayain ulang tahun teman saya. Terus sorenya sama bimble, kebetulan saya bimble sekelas sama pacar saya ini, saya tunjukin foto as in cerita aja how was my day gitu kan. Karena siangnya dia gak masuk sekolah, tapi masuk les. Terus abis itu dia marah, di basement tempat saya les... – Rara mengambil napas panjang, mencoba untuk mengontrol getar pada suaranya – ... Dia marahin saya, katanya cemburu, tapi saya gak bakalan lupain apa yang dia lakuin saat itu.”

Glek! Anggar terdiam, entah mengapa ia takut mendengar kelanjutan cerita Rara.

“Dia ngelempar saya ke dinding, saya gak tau apakah saya sesalah itu sampai dia gituin aja, dia marah dan mojokin saya kaya orang gila, saya gak bisa mikir pada saat itu, saya diem dan otak saya cuman mikir, kok bisa anak kelas 9 punya personality kaya gitu. Terus pokoknya saya nangis, saya sampai takut banget, dan... setelah dia marah-marah dan nyadar kalau saya ketakutan, dia langsung meluk saya, dan minta maaf sambil nangis-nangis, pokoknya ngomong hal-hal yang bikin saya sedih dan merasa bersalah. Well... itu selalu terjadi tiap berantem selama 3 tahun saya pacaran sama dia kayak... kenapa harus dia yang nangis? kan dia yang marah-marah? sampai sekarang saya gak tau kenapa harus kaya gitu.”

“Itu gaslighting. Tapi ya... anak SMP atau SMA belum ada knowledge tentang hal kaya gitu dulu, jadi wajar kalau kamu bingung menanggapinya.” Ucap Anggar sembari menatap Rara penuh prihatin. Ia sesekali meringis kesal tiap Rara menceritakan tiap detail akan ke brengsekan seorang Rasyad yang dulu merupakan sahabatnya di Inggris, bahkan kepalan tinju di balik punggungnya sudah teremat erat hingga buku-buku jemarinya memutih.

“Tapi setelah saya dewasa, saya paham kenapa dia kaya gitu, basically he is a spoiled kid yang gak pernah ditolak sama orang tuanya. Dia juga kapten futsal dimana dia dapet banyak dukungan dari orang-orang, selalu didukung dan gak pernah di salahin, saya jadi ngerti kenapa dia se-egois itu, mana dia itu lumayan tajir buat seukuran anak remaja.”

“Makanya saya lumayan pilih-pilih teman dan pasangan setelah putus sama dia. Kalau saya gak dijodohin sama kamu, mungkin saya bakal milih orang biasa dengan kehidupan yang biasa, saya gak mau semuanya harus berlebihan, saya gak butuh orang-orang hebat dengan kesombongan di atas rata-rata sehingga mereka gak mampu memanusiakan manusia hanya karena keinginannya gak kecapai, atau gak sesuai ekpektasi.”

Anggar masih terdiam, banyak sekali hal yang ingin ia sampaikan, ingin sekali ia bilang bahwa ia telah mencintai perempuan di hadapannya itu lebih dulu dibanding Rasyad, namun Anggar tau perempuan di depannya itu sangat trauma akan sebuah rasa cinta yang dihianati.

“Pokoknya setelah segala hal yang saya lewatin sama Rasyad, saya gak mau dengan mudah menaruh rasa sayang sama orang lain secara gamblang, dulu ada sih satu orang yang saya ngerasa kayaknya bisa nih gitu, tapi lagi-lagi karena saya ragu, ya gak jadi. Rugi sih di sayanya karena saya secara gak langsung ngeremehin kepercayaan orang, padahal masih banyak orang tulus di dunia ini.” Rara menunduk, ia kembali murung.

“Ra, emang berat kok, saya mungkin gak melewati apa yang kamu lewati, jadi saya mungkin gak begitu paham sama apa yang menghalangi hati kamu, tapi... kalau kamu ngerasa struggle sama beberapa hal, kamu boleh kok jadiin saya kelinci percobaan, pura-pura aja saya PDKT-in kamu, dan kamu sendiri yang nilai, apakah kamu udah bener-bener pulih dari sakit hati kamu itu apa belum.” Ucap Anggar, sengaja ia menaruh nada bercanda agar Rara tidak terlalu tegang.

Rara malah terkekeh. “Jangan ah.” Ia tersenyum tipis sembari menggosok kedua telapak tangannya, gugup mungkin. Lantas ia mendongak, menatap Anggar dengan intens. “Nggar.”

“Ya?” Tanya Anggar, ia turut menatap Rara tepat di bola mata perempuan itu.

“Jangan suka sama saya ya?” Saya takut suka sama kamu.

Alis Anggar naik satu. “Kenapa?”

Rara tersenyum lebar lalu terkekeh, maniknya menyipit sehingga wajahnya sedikit berseri-seri. “Saya gak mau jatuh cinta, kamu itu lumayan tipe saya loh, tapi saya gak mau suka sama kamu, jadi jangan suka sama saya ya?”

Anggar langsung tertawa hambar. “Hahaha... Geer kamu, siapa juga yang bakal suka sama kamu, gak usah pede.”

Bagus, jangan suka sama saya.

Rara ikut tertawa, lalu kembali menatap Anggar. “Bener ya? tolong jangan lewatin batas, tolong kerjasamanya.”

Anggar menghela napas pelan lalu mengangguk tipis sembari tersenyum tipis.

Belum maju, namun sudah ditolak, kadang cinta memang se-sakit itu.