Terbuai.

Maafkan aku terbuai olehmu. Kau buat hatiku jadi merana... Terjatuh aku lemas tak berdaya... Kuingin.. jatuh dipelukan

Tadinya Anggar tidak disarankan untuk keluar kamar, wajar, 24 jam pasca operasi usus buntu pria itu masih merasa pusing dan keleyengan.

Namun saat seorang suster datang dan memberitahu ada seorang perempuan yang mencari dirinya ke kamar lama, tanpa ragu, saat itu juga ia langsung keluar menghampiri Rara. Ia tau itu Rara.

SROTTT! Rara menarik ingusnya kencang, masih saja wanita itu terisak kecil kala ia mendengarkan Anggar bercerita tentang Maudy. “Is she happy now?” ucapnya dengan wajah murung.

Kini Anggar terduduk di atas kasur kamar rawat inapnya dengan Rara yang ikut duduk miring pada pinggiran kasur.

Anggar manggut-manggut lalu menengklengkan wajahnya, ia mengelus pipi Rara sembari menghapus air mata dari pipi wanitanya. “Hmm.. I hope so.

Rara malah semakin manyun mendengarnya. “Hati saya jadi gak enak.”

Anggar menghela napas pelan. “Udah, gak harus jadi beban pikiran kamu, kebiasaan ah kaya gitu.” Tutur Anggar.

“Ya tap-

“Sini.” Sergah Anggar.

Rara mengerutkan dahinya heran. “Apa?”

“Sini, deketan dikit.”

Rara memajukan wajah, hingga wajahnya hanya selisih beberapa centi dari wajah Anggar. Pria itu menangkup wajah Rara dengan jemarinya.

CUP~ Anggar mengecup kening Rara, ia menahan bibirnya beberapa saat disana sembari memejamkan maniknya. Sontak hal itu membuat Rara terkejut sekaligus memerah.

IH ANGGAR SELALU DEHH! Rara kan jadi salah tingkah.

Tiba-tiba Rara merasakan gesekan pada kulit lengannya bagian dalam. Terasa sebuah tangan yang perlahan melingkar pada pinggangnya lalu ke punggungnya. Anggar merengkuhnya, mendekapnya erat. Pria itu menenggelamkan dirinya tepat pada ceruk leher Rara.

Rara meneguk salivanya. Ia membeku.

“Kalau di hitung dari tahun 2008, waktu saya pertama kali liat kamu di CUP SMP saya, berarti saya udah sayang kamu selama itu ya..” Ucap Anggar dengan suara yang teredam.

Rara tersipu malu mendengarnya. Ia membalas rengkuhan Anggar sembari mengelus surai pria itu dengan jemarinya. “Kok bisa sih gak pindah hati?” Tanya Rara, jujur perasaan Anggar menimbulkan tanya pada benak Rara.

“Ra, Ra. Kamu tu nanyain pertanyaan yang saya gak tau jawabannya.” Ucap Anggar.

Rara melepas paksa rengkuhan Anggar. “IH! boong banget! buktinya kamu bisa pacaran sama Najma tuhh!!”

Nahkan, mulai deh.

Anggar menatap Rara heran, tangannya masih setia pada pinggang wanita itu. “Kok tiba-tiba bahas Najma?”

Rara malah memalingkan wajahnya kesal. “Gak tau.”

Melihat Rara yang merajuk, Anggar malah tertawa. “Cemburu kok sama masa lalu.” Ucapnya enteng.

Anggar mendekatkan dirinya ke arah Rara, berbisik pelan pada telinga Rara. “Cemburu tuh sama anak kita nanti, yang bakal ngambil semua waktu saya, gak tersisa buat kamu.”

“IH!” Rara menatap Anggar geram.

SREKK! Seketika Rara dan Anggar menoleh ke arah pintu bersamaan. Relek Rara langsung melepas tangan Anggar yang berada dipinggangnya dan turun dari atas kasur. Diluar pintu terdapat beberapa dokter dan suster.

Adohhhh malu! Teriak Rara dalam hati. Anggar sih biasa-biasa saja kelihatannya.

Para dokter itu masuk. Pada barisan terdepan, tampak pria dengan surai yang sudah memutih dimakan usia. Dokter Nino namanya.

“Gimana pak Anggar, sudah enakan?” Sapa dokter Nino sembari tersenyum kearah Rara dan Anggar.

Bisa dengan jelas Rara lihat, dokter-dokter lain dan para suster yang terlihat menahan senyum malunya dibelakang dokter Nino. Aduh! pasti tadi mereka liat dari luar nih.

“Yah, lumayan, masih rada keleyengan dikit.” Tutur Anggar.

“Masih sedikit pusing ya, oke... Hmm.. ngomong-ngomong ini istrinya ya pak?” Tanya dokter Nino.

Anggar terkekeh pelan. “Iya, dok. Namanya, Rara.”

“Loh, kenapa kemaren bukan bu Rara yang tanda-tangan surat persetujuan operasi?”

Otomatis Rara dan Anggar langsung saling pandang.

Anggar tersenyum simpul sembari mengangguk-angguk. “Ohiya, kemaren emang dia lagi sibuk banget, baru pulang dari Inggris. Biasa dok, kerjaan.” Tutur Anggar kemudian.

Dokter Nino pun hanya manggut-manggut.

Usai pemeriksaan harian, dokter Nino mendekat ke arah Rara. “Bu, ini suaminya tolong dikasih sayang yang banyak ya, biar cepet pulih.” Ucap dokter Nino sembari terkekeh pelan. Dokter itu mencoba bercanda.

“Hahahah...” Semua orang dalam ruangan itu tertawa melihat Rara yang langsung menunduk malu sembari menyelipkan anakan rambutnya kebelakang telinga. Terlihat sekali bahwa Rara malu.

“Wah dok, kalo itumah gak harus disuruh, dia bucin banget ke saya.” Ledek Anggar.

“Aduh, jangan didengerin ya dok, suami saya emang suka ngehayal.” Ucap Rara sembari tersenyum kikuk ia mengibas-ngibaskan jemarinya di udara.

“Pokoknya jangan kurang cinta ya bu.” Ucap dokter Nino. “Pak Anggar kena usus buntu karena pola makan yang gak bener dan banyak pikiran...” Jelas dokter Nino, bermaksud bercanda.

Rara menoleh ke arah Anggar. “Iya gitu? Banyak pikiran ngapain sampai makannya gak teratur?”

Anggar pun hanya menghela napas mendengarnya. Dasar gak peka.