They can imitate you, but they can't duplicate you, cause you got somethin' special.

Mengenyam pendidikan di negri orang tidak selamanya mudah jika kita tidak memiliki seseorang untuk diandalkan. Bukan bermaksud oportunis, namun terkadang kita butuh seseorang untuk melakukan simbiosis mutualisme.

Jangan lupa, kita semua adalah makhluk sosial yang butuh untuk bersosialisasi. Butuh someone to talk to, butuh perhatian walau hanya sekedar teman.

Dan di Inggris, Rasyad bukan lah satu-satunya teman yang dekat dengan Anggar. Namun, ada sesosok wanita yang juga dekat dengannya.

Maudy Hara Yamamoto.

Akrab-nya Maudy, perempuan keturunan Indo-Jepang. Super halus namun bisa keras sesuai kondisi, kind hearted, careful to everything around her, really into humanism, feminist, smart and really good at public speaking, having a really strong intuition, loveable, and perfect life.

Tipikal perempuan berkepribadian sanguinis, yang akan disukai dan dicintai dengan mudah.

Whos not gonna love her?

Mustahil untuk tidak menyukainya pada pandangan pertama, nyaris 99,99% orang yang bertemu dengannya memiliki first impression yang baik.

Begitu pun dengan Anggar, hari pertama pertemuan mereka, persis saat Anggar duduk-duduk di taman kampus sembari membaca ulang beberapa catatannya. Sesuai prediksi, perempuan itu langsung menoleh saat tak sengaja Anggar berucap, aduh sakit! Kala itu tak sengaja tangan Anggar terbeset kertas catatannya sendiri, Maudy pun langsung tau bahwa Anggar adalah orang indonesia.

Hari pertama kenal, dengan segala ke humble-an yang dimiliki oleh Maudy, ia tanpa segan memberikan plester luka bermotif Disney princess kepada Anggar. Dan sejak itu mereka jadi dekat dan tambah akrab tiap harinya.

Seiring berjalannya waktu, Maudy lah tempat Anggar melepaskan homesick-nya. Menemani hari-hari pria itu hampir nyaris seperti sepasang kekasih yang saling mencintai. Namun, nyatanya mereka hanyalah sahabat, tak ada diantara keduanya yang mendeklarasikan apapun, nyaman akan hubungan yang seperti itu.

Tak jarang mereka hangout berdua hanya untuk melepas penat diakhir pekan, melakukan banyak hal-hal romantis seperti piknik di taman, nonton di bioskop, lari pagi bersama dan belajar bersama.

Lancaster benar-benar indah untuk mereka kala itu. Angin yang sejuk, bangunan-bangunan tua yang iconic, suasana desa yang begitu kental, benar-benar tempat healing sesungguhnya. Sangat sempurna untukdua sejoli yang tengah memadu kasih.

Bak cerita dongeng-dongeng. Maudy benar-benar diperlakukan seperti princess oleh Anggar, benar-benar se-perhatian itu Anggar dengannya, hingga Maudy merasa Anggar memang untuknya, Anggar miiknya, Anggar lah cintanya.

Rasanya Maudy benar-benar se-cinta-itu. Cinta sekali.

Namun, Maudy sendiri tidak tau perasaan Anggar sesungguhnya, tapi perempuan itu yakin Anggar memiliki rasa yang sama. Apalagi Maudy hapal diluar kepala tabiat pria itu, sikapnya yang terkadang sulit ditebak dan ekspresinya yang datar kala pria itu mengungkapkan perasaannya, ya Anggar memang seperti itu.

Hingga, Maudy sudah tak kuat menahan rasa cintanya yang sudah setinggi gunung Everest.

Kala itu musim dingin, Anggar dan Maudy datang ke farewell party salah satu temannya yang sudah wisuda minggu lalu. Drinking and dancing as a young age generations and having a great time in their life. Then, Maudy got high, cause she drank a lil bit.

She confess everything that she felt for Anggar. Literally, everything.

“Please, tell me what you feel about me, say something, Nggar. Jangan diem kaya gini.”

Kini keduanya tengah berdiri saling berhadapan. Suasana yang gelap dan sepi, terlihat beberapa mobil yang terparkir teratur di teras rumah teman mereka yang tengah mengadakan farewell party tersebut.

Anggar terdiam sejenak, confession Maudy yang sangat tiba-tiba itu sungguh membuatnya terkejut. Yup, Anggar didn't drink anything, even a drop of a beer. Anggar masih sadar, dan tidak mabuk sedikit pun.

Bagi Anggar sendiri, hubungannya dengan Maudy memang tidak bisa dianggap hubungan biasa, ia merasa Maudy spesial, but, not in that way. Maksudnya, memang benar, Maudy adalah prioritas Anggar pada saat itu, perdebatan batin yang terjadi didalam dirinya sungguhlah sengit. Ia tak bisa membedakan atau menaruh Maudy diposisi mana.

Atau lebih tepatnya, Anggar tidak tau bagaimana menyalurkan perasaannya kepada Maudy, ia bingung kata serta diksi apa yang cocok untuk mengutarakannya.

Alhasil Anggar malah mengalihkan topik.

“Dy. Lo mabok, pulang aja yuk?” Anggar menatap Maudy intens, mencoba meyakinkan perempuan itu.

Maudy menggeleng cepat, wajahnya tampak memerah dengan mata yang sayu. “Gak usah ngalihin topik deh, Nggar. Mau sampai kapan kita kaya gini? why you never ask me to be your lover? why you always do something special to me? I was confused everytime kamu selalu perlakuin aku kaya pacar kamu, bahkan kamu gak pernah memberi sebuah statement atau pertanyaan yang bisa bikin kita official. what are we?” Kini manik Maudy sudah berkaca-kaca, lelah dengan pertahanannya yang seperti tak menemukan titik cerah.

“Dy, listen. Lo lagi mabok, dan gak sadar. Mending lo pulang, ayo gua anter.” Anggar langsung menggeret Maudy yang kini sudah sedikit sempoyongan, perempuan itu terus meracau dalam rengkuhan Anggar.

“Kamu sayang kan sama aku?” “Nggar, please tell me that my feelings for you isn't something that impossible to happen.

Dan pengakuan-pengakuan lainnya. Anggar hanya bisa menghela napas, pasalnya ia tidak mau gegabah dalam menyatakan sebuah perasaan, baginya perasaan cinta adalah sesuatu yang sakral dan sangat crucial, tidak bisa segamblang itu.

Usai pengakuan itu, paginya Anggar bersikap seperti biasa, memperlakukan Maudy seperti tak ada yang terjadi malamnya, Maudy pun marah, ia merasa Anggar tak menganggapnya serius.

Maudy ingat dengan jelas perkataannya semalam.

Pertengkaran yang hebat pun terjadi, Anggar sampai kehabisan kata-kata saat Maudy terus mendebatinya soal perasaan Anggar yang terus menerus denial.

Selang seminggu, Maudy pergi, tanpa pamit, ia hanya menitipkan sebuah surat kepada Anggar melalui salah satu temannya. Bahkan ia mengundurkan dirinya dari universitas, ia tak menyelesaikan pendidikannya.

Dear, Anggar.

Hello! Maaf udah buat keadaan diantara kita jadi runyam kaya gitu, aku ngerasa bersalah banget udah bikin kamu sampe kaya kemaren. Makasih ya udah selalu ada buat aku, bantu aku melewati segalanya.

Kemaren, actually i'm not drunk at all, i'm just pretending, karena aku mau ungkapin semua perasaan aku, aku pikir kamu emang gitu, gabisa ngungkapin semuanya jadi harus aku duluan yang maju, gapapa kalau kamu emang gak bisa jawab sekarang, aku tetep nunggu karena, aku yakin kamu punya rasa yang sama kaya aku.

I'm so sorry. I tried my best to beat this teribble disease. Iya aku kena leukimia, maaf udah nyembunyiin ini dari awal. Nggar, please don't be mad if someday the surgery didn't go well as I wish, sometimes bad things happen in life and we should deal with it no matter what. Please, jangan cari aku, aku mau berjuang tanpa membebani orang lain, ini permintaan aku, Either i'm alive or not, you should remember that I love you with all my hearts.

Rencananya aku bakal pulang dulu ke Indonesia, terus ke Amerika, doain segalanya bakal lancar. I promise, kalau aku sehat nanti, aku bakal muncul di depan kamu. Please, promise me too, kamu bakal ada disaat itu. I love you.

Maudy.

Anggar meremas erat surat Maudy, memejamkan maniknya rapat-rapat. Perasaannya campur aduk, marah, kesal, merasa bersalah, lelah. Jika ia tau sedari awal akan hal ini ia akan lebih berhati-hati soal perkataannya tempo hari, ia akan dengan gamblang membalas perasaan wanita itu.

Hingga dalam hembusan napasnya yang sudah tak teratur, Anggar mengangguk kecil.

I promise you, Dy. Gua bakal ada dan terus nunggu lo, kalau kita bertemu lagi. Gua janji.

Bertahun-tahun Maudy menghilang, bahkan perempuan itu menutup seluruh akses social medianya, mungkin memang ia butuh rehat untuk kelangsungan hidupnya sendiri.

Kalau saja Anggar tidak bertemu dengan Maudy di Bandara Lombok kala itu, mungkin sampai sekarang ia akan berpikir bahwa Maudy sudah tak ada, Maudy sudah pergi bersama yang maha kuasa.

Kembali teringat akan hari kemarin, Anggar sampai mengusap surainya kasar. Tepat saat ia tengah menuju Orient8 untuk menjelaskan segalanya kepada Rara, telfon dan Pesan dari Maudy masuk, perempuan itu ingin bertemu.

Kalau sudah soal Maudy, Anggar tak bisa menolak. Ia punya janji.

Usai membalas pesan maudy kala itu, Anggar langsung memesan tiket menuju Lombok, tak menunggu lama, karena Anggar membeli tiket penerbangan tercepat. Hanya selang 3 jam ia sudah mendaratkan kakinya di Lombok.

Tepat saat perjalanannya menuju rumah Maudy, telfon dari Mama Maudy masuk. Segala percakapan yang terjadi kala itu sukses membuat Anggar terdiam.

Maudy penting.

Maudy sangat penting.

Maudy butuh Anggar.

Tepat saat Anggar masuk kedalam kamar Maudy, perempuan itu langsung tersenyum senang, merentangkan kedua tangannya dan langsung merengkuh Anggar. Kamu datang, katanya.

Anggar ikut tersenyum sembari mengacak-acak pucuk surai Maudy pelan. “Udah mendingan?”

“Udah!! kata dokter aku udah mendingan banget, bertahun-tahun stem cell, akhirnya ada hasil juga.”

“Yaudah, makan yuk? Butuh energi kan?”

Maudy hanya manggut-manggut sembari tersenyum lebar.

Bahkan saat makan, sempat-sempatnya Maudy mengusap pipi Anggar pelan. “Nggar, Kamu sayang kan sama aku?”

Anggar tersenyum lalu mengangguk kecil. “Iya.”

“Cinta kan?”

Anggar kembali mengangguk. “Iya, Dy.”

Tak pernah Anggar sangka sama sekali, permintaan Maudy akan dirinya untuk menemani hari itu menjadi hari terakhir bagi maudy untuk bernapas. Ya, Maudy menghembuskan napas terakhirnya tepat saat Anggar menarik selimut untuk menutupi tubuh wanita itu, memberikan usapan selamat tidur kala perempuan itu ingin beristirahat.

Beristirahat untuk yang terakhir kalinya.

Ulangi lagi.

Maudy penting.

Maudy sangat penting.

Maudy butuh Anggar.

Karena, Maudy sekarat.

Sesukses apapun pengobatan yang dibuat oleh manusia, keputusan akan nyawa seseorang tetaplah ditangan Yang maha kuasa.

Kematian Maudy terjadi begitu cepat, semuanya tampak begitu tiba-tiba, Anggar sampai tak bisa memproses otaknya.

Maudy yang ceria.

Maudy yang selalu perhatian terhadap Anggar.

Maudy yang suka bercerita dan mudah akrab dengan orang baru.

Maudy yang memiliki suara merdu.

Maudy yang sedikit slengekan.

Maudy yang ekspresif.

Maudy yang sedikit cuek, tapi perhatian.

Maudy yang tidak tegaan, dan sungkan untuk menolak permintaan orang.

Maudy yang penyayang.

Maudy yang picky akan beberapa hal karena dia orangnya perfectionist.

Maudy yang tidak suka difoto kecuali oleh Anggar.

Maudy yang terkadang memikirkan hal-hal yang tidak perlu dan suka insecure-an parah.

Maudy yang selalu menolak pria dengan berbagai alasan dan menolak untuk membangun sebuah hubungan.

Dan,

Maudy yang alergi kacang.

Awalnya Anggar berpikir hanya Maudy yang seperti itu. Hingga ia menikah dengan Rara dan tinggal bersama dengan sosok itu.

Rara has a lot of similar things with Maudy.

Dan mereka berdua mirip, Rara mirip dengan Maudy. Walau Anggar sadar segala sesuatu bisa diimitasi tapi tak ada yang bisa di duplikat.


Kini Anggar tengah duduk di sofa keluar, memasukkan beberapa benda kedalam sebuah paper bag, tak lupa ia juga memasukkan sebuah map coklat berisikan berkas perceraian yang sudah ia tanda tangani.

Sejenak Anggar terdiam, memandangi isi yang ada didalam paper bag itu.

Selepas ia bertengkar dengan Rara di bandara sewaktu perempuan itu akan pergi ke Inggris, Anggar tidak lagi skeptis atas perceraian itu, ia merasa mantap. Memang betul kedatangannya yang tiba-tiba itu mungkin membuat Rara terkejut, Alam lah yang menghubungi Anggar.

Alam mengatakan bahwa Rara terus-menerus murung sedari pagi, dan meminta Anggar datang. Pasalnya Anggar baru saja mendarat subuh-subuh di Jakarta seusai pemakaman Maudy malamnya. Ia masih menggunakan kemeja hitam dan celana hitam.

Pikirannya masih ruwet, segalanya datang bertubi-tubi hingga Anggar tak mampu berpikir jernih.

Anggar beranjak dari sofa, sembari menenteng paper bag itu, menaruhnya diatas meja makan. Kemudian ia merogoh ponselnya yang berada dikantung celananya. Ia menekan beberapa digit angka disana.

Tut... Tut... Tut...

”....”

“Halo, Zy. Masih bisa main golf gak? temenin gua yuk.”