@mintsugarkyopta

Selamat membaca sayang!

Sudah larut malam.

Anggar tak kunjung melihat batang hidung istrinya. Setelah membereskan pakaian serta menata oleh-oleh kedalam laci pantry, kemudian ia menyusun beberapa kotak pie susu kedalam paperbag untuk ia dan Rara bawa besok sebagai buah tangan kepada teman-temannya.

Maniknya menyusuri setiap sudut rumah, ia naik-turun tangga, membuka setiap ruangan, tapi tak juga ia menemukan Rara. Hingga lelah ia akhirnya makan sendiri dimeja makan, walau hati khawatir karena pasti wanita itu belum makan. Masa sih keluar? kayaknya gak ada yang buka pintu? — Pikir Anggar.

Hingga akhirnya Anggar selesai makan, tak lupa ia menyisakan sepiring cumi goreng tepung yang tadi ia buat. Menulis sebuah pesan pada post it dan menempelkannya di tudung saji. ‘Ini ada cumi goreng tepung, maaf gak sempet buat tumis kangkung kesukaan kamu, jangan lupa makan, kalau sakit saya yang repot.’

Anggar menatap jam dinding yang terpatri pada ruang makan. Pukul 9 malam. Ah udahlah biarin, kalau laper juga dia pasti makan — Pikir Anggar. Lantas ia pun melangkah menaiki tangga, berjalan hingga ia sampai pada pintu kamarnya.

Maniknya menatap pintu kamar yang berwarna coklat tua, pikirannya kembali teringat akan Rara. Sebenarnya daritadi Anggar ingin menyampaikan sesuatu kepada Rara, sesuatu yang menyita waktunya belakangan ini, ia ingin melepaskan batu yang terus mengganjal dalam hatinya.

Baru ia ingin meraih tombol access pintu kamar, rungunya mendengar langkah seseorang menaiki tangga, netranya menoleh kesamping, terlihat Rara dengan langkah gontai muncul diujung tangga.

“Ra… kemana aja?”

Tak ada jawaban.

“Ra udah makan?”

Sama. Tak ada jawaban.

Rara melangkah tak mengacuhkan presensi pria didepannya. Ia melangkah menuju pintu kamarnya yang berada disebrang pintu kamar Anggar.

Anggar menghela napas, lalu membalik tubuhnya. Mereka sama-sama menekan tombol access, sebenarnya mau Anggar pun Rara sama-sama ingin mengatakan sesuatu. Namun, perdebatan batin yang terjadi diantara mereka sungguh sengit, si Jin bilang ‘jangan’ sedangkan si Jun bilang ‘iya’.

NIT! NIT! Pintu keduanya terbuka, namun, sungguh rasanya sudah tak tertahan lagi, keduanya membalik tubuh, menghadap satu sama lain.

“Ra.” “Nggar.”

“Eh?” Keduanya kembali bersuara.

Anggar menatap Rara lekat, netranya menangkap arus air mata yang tercetak jelas dikedua pipi istrinya, lantas ia langsung berjalan mendekat, digenggamnya tangan Rara. “Ra, kamu nangis? kenapa? siapa yang bikin nangis? ngomong sama aku, atau kamu butuh tempat cerita? aku bisa Ra.”

Manik Anggar meniti setiap titik wajah Rara yang sembab dan sedikit memerah. Namun, Rara langsung melepas genggaman Anggar, dan tersenyum tipis. “Saya gapapa Nggar, tadi abis nonton miracle in cell number 7, itu sedih banget soalnya sampe nangis gini, kamu gak perlu sekhawatir itu…”

Anggar mendengus sebal. “Haduh kirain kenapa, bikin panik aja… pantes dicariin gak ketemu, kamu di theater ya ternyata.”

“Iya, tadi lagi badmood aja soalnya ada masalah distudio tadi, makanya pengen sekalian nangis.” Wajah Rara berubah heran. “Nyariin saya ngapain? kalau buat beresin baju, saya emang rencananya mau besok, capek soalnya, terus kalau soal oleh-oleh say—“

“Soal kamu belom makan dari sore Rara. Kamu bisa sakit.” Sela Anggar, sengaja memotong perkataan Rara.

Nggar tolong, kalau masih ada hati yang kamu jaga gausah kaya gini, saya bingung harus gimana…

“Oh ya… tadi Anggar mau ngomong apa?”

Anggar menatap Rara datar. “Kamu dulu, gapapa. Tadi kamu juga pengen ngomong kan?”

“Beneran?” Ucap Rara, yang langsung mendapat anggukan setuju dari Anggar.

“Nggar… boleh nggak…— Rara sedikit menggigit kecil bagian dalam ranumnya, mencoba untuk tak terlihat gugup. “Boleh nggak kamu gak kaya gini?”

Anggar mengerutkan dahinya heran. “Gini? gimana?” <!—more—!>

Rara tersenyum tipis. “Jangan terlalu musingin atau meduliin hidup saya ya? saya bisa sendiri, kita jalanin aja se-normalnya kehidupan masing-masing… kamu sama duniamu pun saya sama dunia saya, gaperlu terlalu berlebihan bereaksi soal suatu hal… saya tau, saya ini kewajiban kamu, tapi tolong jangan berlebihan sama semua hal. Saya bisa lindungin diri saya sendiri, saya bisa makan sendiri gausah kamu siapin kaya dibawah itu… saya suka nyiapin kamu sarapan karena itu kewajiban saya… kamu cukup jalanin kewajiban kamu sebagai suami yang baik, selayaknya orang yang dijodohin kaya gimana harusnya. Maaf kalau penuturan saya ada yang buat kamu tersinggung, serius saya gak maksud buat gimana-gimana… tapi saya serius soal kamu gausah berlebihan.”

Pupus sudah seluruh kata yang terangkai didalam pikiran Anggar, entah kalimat apa yang cocok untuk menjawab penuturan istrinya barusan.

Anggar pun menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis. “Iya Ra, gapapa kok, selama ini juga saya cuman gamau kamu kenapa-kenapa, saya gamau orang-orang mikir saya gabisa jagain istri sendiri terlebih kejadian kamu masuk RS buat saya takut bakalan ada orang-orang kaya gitu lagi disekitar kamu. Maaf ya kalau saya terlalu berlebihan bersikap, dan malah bikin kamu ganyaman… saya serius cuman reflek kok.”

Tuhkan cuman reflek…

Rara tersenyum tipis. “Makasih ya Nggar, udah ngertiin saya. Saya masuk dulu ya, saya belum mandi soalnya…” Anggar langsung mengangguk pelan.

Keduanya masuk kedalam kamar, seketika pintu kamar tertutup bersamaan. Terlihat kedua insan itu menyenderkan tubuhnya pada pintu.

Rara menatap kosong kamarnya, ia hanya tidak ingin terus-menerus merasa spesial, terlebih seseorang bernama Najma masih sering bertemu serta mengontak Anggar. Jujur Rara tidak menyangka ia bisa mengatakan kalimat sepanjang itu tanpa sedikitpun getar pada bibirnya.

Pun Anggar, senyum tipis yang tadi terpatri pada wajahnya lenyap dalam sepersekian detik, wajahnya tampak frustasi, ia memejamkan matanya sejenak, menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan. Lantas ia melangkah menuju kasur, merebahkan dirinya disana.

Setelah merasa tenang, Rara masuk kedalam kamar mandi dikamarnya, meyalakan kran dan mengisi bathtub hingga penuh dengan air hangat. Ia menuangkan stress relief shower gel kedalam bathtub, lalu melepaskan helai demi helai pakaian yang melakat pada tubuhnya, tak lupa dengan hati-hati ia melepas arm sling yang menopang tangannya.

Rara mematikan kran, lalu ia masuk kedalam air hangat yang sudah penuh dengan busa, merendam tubuhnya, kembali dengan hati-hati ia menaruh tangan yang terbalut gips pada bibir bathub.

Pikirannya melayang mencari momen-momen lucu dengan para sahabat, berusaha mengusir segala penat serta segala pemikiran buruk yang ada dalam benaknya.

Pun Anggar yang masih sibuk menatap langit-langit tanpa suara. Keduanya pun memejamkan mata, menikmati perih serta pedih akan kalbu yang redup, ntah sampai kapan mereka harus menahan, mereka pun tidak tau.

“Hati-hati Mi, Pi…” Anggar dan Rara dengan senyum mengembang, melambaikan tangan ke arah Mami dan Papi yang juga melambaikan tangan mereka dibalik kaca mobil yang terbuka setengah. Kini mobil itu melaju kian menjauh meninggalkan pekarangan kediaman Sadadi muda.

Lantas mereka berjalan menuju pintu rumah, dengan Anggar yang masih tersenyum tipis, berbeda dengan Rara yang kini sudah menatap datar pria yang tengah memencet tombol access smart door rumah mereka.

Tadinya Mami dan Papi ingin menginap semalam setelah kembali dari bandara, sontak hal itu membuat Rara dan Anggar panik mengingat kamar mereka yang terpisah, walaupun perlengkapan baju Rara ada di kamar Anggar, tapi tidak ada yang tahu kan kalau sewaktu-waktu rahasia mereka terbongkar. Namun, syukurnya tiba-tiba Mami teringat bahwa besok adalah jadwal arisan.

NIT! Bunyi smart door terbuka, Anggar pun mendorong pintu, mempersilahkan Rara masuk terlebih dahulu, perempuan itu langsung melenggang pergi tanpa sepatah kata pun, kayanya capek banget ya – pikir Anggar.

Masih sesekali tersenyum tipis tanpa alasan, Anggar menggeret koper ukuran sedang, menaruhnya sejenak diruang keluarga, pria itu langsung merebahkan dirinya di sofa dan menyalakan TV, mencari siaran berita terkini untuk sekedar membuat suasana tidak terlalu sunyi. Masalahnya pria itu tidak melihat keberadaan Rara dimanapun, tidak mau ambil pusing, Anggar hanya berpikir Rara sudah masuk kamar dan tidur.

Sedangkan Rara, ia langsung menuju mini theater. Entah mengapa saat ini ia ingin menonton film-film berbau bawang, yang pasti ia tau, kini tengah terjadi perang Bandung Lautan Api didalam batinnya dengan sejuta tombak penasaran sekaligus...api cemburu? Entah apa namanya, Rara belum mengerti tentang perasaannya saat ini.

Disisi lain, didalam mobil Honda Odissey yang tengah melaju membelah jalanan ibu kota. Afan, sang supir turun temurun dengan rambut klimis, kerah tegak, kancing terpasang hingga atas, serta badan yang ceking. Dari kaca spion tengah ia bisa melihat nyonya-nya alias Mami Retno tengah duduk dengan gusar dibangku belakang.

Papi yang menyadari raut gelisah istrinya langsung menggenggam jemari Mami. “Kenapa? Hm?”

Mami menghela napas pelan. “I’m very anxious, i can’t stop thinking about it.” Sesekali Mami menggesekkan jemarinya satu sama lain.

“Tentang apa?”

“Anggar dan Rara sayang, kamu pikir aku bisa dibohongin segampang itu?”

“Udah kuduga kamu juga ngeh. Soal mereka udah ngelakuin atau belum kan?”

Mami menoleh kearah Papi lalu wajahnya memelas. “Right honey, mau sampai kapan dong?”

Papi tersenyum simpul. “Babe, look at me.” Papi menangkup wajah Mami. “Kamu gaharus khawatir soal itu ya? You don’t have to worried too much about it okay? Trust me. Mereka itu bukan kita yang nikah karena we want to have each other, mereka itu dijodohin, mau kamu pun Audrey—Mama— gabisa ngepush gitu aja. Trust the process.”

Masih dalam Tangkupan Papi, Mami kembali berucap. “I know babe… aku bisa gaterlalu ngawatirin itu, tapi dari jalan-jalan di Bali, terus, aku juga ngajak ngobrol Rara kemaren kan dikit-dikit ku senggol soal Anggar, dan yang aku tangkep Rara belum sepenuhnya mengenal Anggar, aku yakin Anggar belum cerita soal dia gagal nikah, aku cuman ngawatirin sesuatu buruk bisa aja terjadi gitu loh Pi… apalagi alesannya.”

Papi menghela napas, melepas tangkupannya, lalu kembali menggenggam kedua jemari istrinya. “Retno, kamu itu membesarkan Anggar sebagai pribadi yang jujur dan setia, dia bijaksana dan akan memikirkan segalanya secara matang, kalau dia emang belum cerita ke istrinya ya berarti emang ada yang sedang dia pikirin. Lagi pula kan kita sebagai orang tua juga gabisa ikut campur urusan rumah tangga mereka, mereka sudah besar, kalau terjadi apa-apa hanya mereka yang bisa memutuskan, kita hanya support system dan ngasih nasehat kalau diperlukan… Anggar sendiri yang minta kita buat gak buka mulut soal itu kan? Dia minta biar dia sendiri yang cerita kalau waktunya sudah tepat, just trust your own son ya…”

Mami akhirnya menggangguk pasrah, walau sesekali tatapan frustasi masih terlihat dari pantulan kaca mobil disebelahnya. Pun Afan, selaku supir keluarga Sadadi sudah biasa mendengarkan obrolan-obrolan penting kedua majikannya dibelakang, apalagi kalau majikannya itu sudah menjurus ke dirty talk, ia hanya akan memasang mode budeg.

“Sayang… dari pada bete… let’s disscuss about what should you wear tonight… i kinda love red lately…” Papi mencoba menggoda Mami.

Mami langsung menghadap tubuhnya kearah Papi lalu tersenyum jahil. “Red? How about transparent? It’s more fun, isn’t it?”

Papi semakin tersenyum. “You better wear nothing, then.”

Anggar kembali terlebih dahulu, Netranya menatap Mami dan Papi yang tampak bahagia tengah tertawa sembari melihat hasil jepretan kemarin pada kamera mirrorless-nya. Ia duduk seraya menatap hamparan laut biru di bawah sana.

“Nggar kok kalo Mami liat, foto kalian berdua dari kemarin gak ada yg so sweet ya? kaku banget, dirangkul kek gitu, atau di pegang pinggangnya. Nih liat, malah kaya musuhan…” Mami merengut lalu mengarahkan layar kamera itu kearah Anggar.

Manik Anggar beralih dari Mami kearah layar. “Perasaan Mami aja kali, itu aku hati-hati megang dia, she’s fragile soalnya, takut kena tangannya.”

Dalam foto itu terlihat Anggar dan Rara berdiri sejajar dengan jarak tipis namun, tidak menempel. Mereka tersenyum kikuk, surai keduanya berterbangan menutupi sebagian wajah mereka, serta pemandangan pasir putih diiringi ombak yang berderu saling berhempasan ke kaki kedua insan itu, tak lupa langit sore yang kian menguning, terlihat matahari yang sedikit lagi terbenam memberikan efek silhouette.

“Ohiya sih bener, takut kena tangannya ya.” Mami kembali fokus pada kamera.

“Ini Mami gak makan?”

“Tunggu Rara dong Nggar, tadi dia ke toilet.” Ucap Papi.

Kembali Anggar mengalihkan Maniknya menatap tebing karang yang berada ditengah laut. Sesekali ia tersenyum tipis mengingat obrolan random-nya dengan Rara sembari mengitari pulau Nusa Penida.

Pagi tadi Rara dan Anggar berjalan beriringan, pohon kelapa yang menari beriringan dengan hembusan angin sepoi-sepoi, menerpa helaian demi helaian rambut mereka.


“Nggar, kok mau sih nerima dijodohin sama saya? kata Mami, dulu kamu dijodohin sama banyak cewek tapi gak ada yang diterima?” Ucap Rara, Maniknya menatap lurus jalanan setapak di depan.

Anggar terdiam sejenak, tertawa kecil kemudian. “Kenapa tiba-tiba nanyain itu? bukannya udah pernah ngomongin ini pas di rooftop?”

Rara mendengus kesal. “It’s not specific enough.”

“Jujur, saya juga gatau. Kalau kamu? terlepas dari Mama, kenapa nerima saya? kamu dari awal udah nolak saya mentah-mentah loh, Kamu kan nerima saya kaya yang terpaksa banget, nah, biasanya kalo yang kaya gitu di bayangan saya pasti galak, sinis, ngomel-ngomel. Tapi kamu malah berbanding terbalik, kenapa kamu gak benci sama saya? ada alasan?”

Rara hanya tertawa, mengangguk-angguk kecil. ”Hmm… Apa ya? Saya tuh… orangnya gak bisa marah aja hehe tergantung sih, masalahnya apa kalau saya masih bisa handle ya ga bakal emosi, lagian kan saya sama kamu sama-sama gak berdaya, kamu yang capek karena dikejar-kejar nikah, pun saya yang capek sama Mama yang bolak balik ngomongin kematian. Jadi saya gak punya alasan buat membenci kamu. Karena kondisi kita gak jauh beda. Lagian saya paham juga perasaan kamu Nggar, pasti capek harus selalu memenuhi ekspektasi yang gak ada ujungnya.”

“Oh… so, what if kamu gak dijodohin sama saya, kamu bakal tetep nerima?”

“Tergantung. Saya juga liat orangnya lah, emosinya seperti apa, cara dia menyampaikan pendapat seperti apa, cara dia berpikir seperti apa, cara dia melindungi dan cara dia memperlakukan orang-orang disekitarnya. Dan saya liat Nggar, cara kamu perlakuin Mami, cara kamu nge-handle diri kamu kalau lagi kesel, sebulan sebelum kita nikah, saya liat semuanya Nggar, gak semerta-merta saya terima gitu aja, seenggaknya saya liat kamu adalah zona aman, saya gak bisa bayangin kalau calon suami saya mirip sama Rasyad.” Rara melangkahkan kakinya menuju taman, mendudukkan dirinya dibangku panjang.

Pun Anggar ikut mendudukan tubuhnya disana. “Zona aman? kenapa gak zona nyaman aja?” Anggar tersenyum usil.

Rara mengerutkan dahinya. “Apasihhhhh. Kenapa jadi bahas zona nyaman deh! ngomong panjang lebar malah out of topic gitu.” Rara memalingkan wajahnya.

“Saya cuman nanya loh Ra, apa salahnya sama zona nyaman coba? kan zona nyaman gak melulu soal asmara, temen contohnya.”

Huft…

“Nggar. Sadar gak sih pertanyaan kamu tuh menjebak banget? ntar kalau saya salah ngomong kan berabe.” Alis Rara naik satu, seraya memiringkan kepalanya.

“Loh menjebak gimana? saya tuh cu-man na-nya. Emangnya salah ngomong gimana yang bikin berabe?” Semakin gencar Anggar ingin mengusili perempuan disampingnya itu.

Dahlah Ra ngomong sama pedang letoy gabakal menang…

“Nggar plis udah cukup saya pusing sama pertanyaan kamu pas kuliah dulu, kamu tau gak sih? kamu tuh ngeselin banget-bangetttt pengen saya makan rasanya.”

“Yakin?”

“Hah? yakin apa?”

“Yakin mau makan saya?.”

Rara menatap Anggar heran, lalu memutar bola matanya. ”you’re such a weirdo.”


Seketika Anggar tersadar dari lamunannya saat ia merasakan seseorang datang dan duduk disampingnya. Netranya melihat Wajah Rara yang sedikit basah, dengan beberapa helai anak rambut yang lepek.

“Cuci muka?” Tanya Anggar.

“Iya.” Singkat, padat, dan dingin.

Anggar hendak mengambil kipas elektronik milik Mami dihadapannya. “Panas? mau kipas? nih pake kipas Mam—“

“Gausah.” Sela Rara.

Rara mengambil ponselnya, diam seribu bahasa, hanyut tenggelam dalam dunia maya. Nyatanya ia hanya menscroll Instagram, Tiktok, dan Twitter, ia hanya tidak ingin Anggar mengajaknya berbicara.

Pun Anggar hanya diam saat perkataannya dipotong begitu saja. Rara kenapa sih? — Pikir Anggar.

“Kok kalian diem aja? ini loh dimakan.” Mami menaruh piring kosong kehadapan Anggar dan Rara, lantas dua sejoli itu menerima seraya tersenyum tipis.

Di sela-sela menyantap makanan, Tiba-tiba Mami membuka sebuah topik yang Rara hindari sedari awal. “Kalian gimana? udah dipikirin Honeymoon-nya mau kemana?”

Anggar yang tengah menunduk menatap makanan di depannya melirik Rara sejenak. Terlihat wanita itu mengulum bibirnya, ingin mengatakan sesuatu namun, seperti tertahan.

Manik Anggar beralih menatap Mami yang berada di serongnya. “Belom Mi, Anggar masih ada proyek yang belum selesai, takutnya keteteran, kalau sampe ga beres Anggar gaenak sama Bu Rieta.”

Mami hanya mangut-mangut. “Terus, rencananya mau kemana? oh apa belom kepikiran? kalian mau kemana? nanti Mami bantu siapin kalau kalian sama-sama sibuk. Mau kemana Ra? Santorini? Campervan di New zealand? atau mau ke swiss liat pegunungan Alpen?” Mami menatap Rara dengan antusias yang tinggi.

Rara terdiam menatap Mami yang tengah menopang dagu dengan binar mata yang menyala-nyala, ia terkejut dengan segala penuturan kata mertuanya itu. “Mi… kayaknya itu butuh waktu banyak deh…”

“Loh ya gapapa, mau sebulan? dua bulan? ya gapapa, setahun pun Mami mau kok bayarin, kalo bisa pulang-pulang bawa bayi.”

UHUK!!! Anggar reflek tersedak makanan yang tengah ia kunyah. Rara terperanjat melihat wajah Anggar yang merah padam.

“Eh Nggar…” Rara reflek meminumkan air mineral miliknya ke mulut Anggar, menepuk pelan punggung pria itu. Jujur, Rara mungkin akan sama tersedak jika ia tengah mengunyah sesuatu. “Pelan-pelan Nggar.”

Anggar masih terbatuk-batuk, Mami dan Papi menatapnya khawatir karena wajah pria itu berubah merah dengan mata yang berair, gatal di tenggorokan tak kunjung mereda.

Rara langsung mengambil seemplok nasi putih dengan tangannya, menyuapkannya ke mulut Anggar. “Makan.” Anggar hanya melirik sejenak lalu mengikuti suruhan Rara. Setelah nasi itu dimakan Rara langsung menyuruh Anggar untuk minum kembali. Itu adalah cara yang biasa eyangkung ajarkan sejak Rara kecil.

Gatal serta perih yang menjalar dalam tenggorokan Anggar mereda. “Makasih Ra.”

Mami menatap Rara dan Anggar gemas, masih dengan tangannya yang menopang dagu, ia semakin membulatkan maniknya. “Kalian kok gemes banget sih sayang. Papi aja gapernah gituin Mami.”

“Loh kok jadi Papi yang kena.” Balas Papi.

“Rara, you such a good wife, Mami emang gapernah salah pilih ya Pi.” Mami menyandarkan kepalanya ke pundak Papi.

Yup, she is.” Ucap Anggar reflek tanpa sadar.

“Kalian tuh udah ngelakuin itu kan?” Sebuah pertanyaan paling menyeramkan seketika terlontar dengan ringannya dari bibir Mami.

Bak mengetahui maksud arah perbincangan Mami, Rara dan Anggar seketika mematung, dengan sulit mereka meneguk salivanya.

Mami memicingkan Matanya. “Anggar? Rara?”

“U-uudah.. Mi.” Suara Rara sedikit bergetar, namun sebisa mungkin ia menutupi gugupnya.

“Ohh… kok 4 bulanan belum isi ya…” Manik Mami berputar seolah sedang berpikir.

“Masa sih Nggar kamu gak tokcer? Mami kamu tuh hamidun abis dua bulan nikah, Papi gencar tiap ada kesempatan, kalo perlu kelonan aja tiap malem, sama perhatiin tanggalnya juga jangan asal…” Papi menambahi.

“Iya loh, kalo bisa bikin yang banyak, bikin padepokan cucu Oma Retno kalo bisa hihi.” Mami tertawa meledek.

“Mi…”

“Ya Mami gak maksa sih… tapi Mami kangen gendong baby, yagak Pi.” Papi mengangguk setuju. “Kalau cowok nanti Papi ajak jajan saham, kalau cewek nanti Papi ajak borong seisi Mall.”

INI OBROLAN APA SIH YALLAH…. Ternyata keluarga Anggar sama anehnya sama keluarga gua?!

“Papi.. Mami.. Yuk kita abisin dulu makannya, obrolannya dilanjut nanti, takut ketinggalan flight gak sih?.” Ucap Anggar, sesekali ia melirik kearah Rara yang masih diam membeku, terlihat wanita itu menggigit-gigit kecil bagian dalam ranumnya.

Rara langsung mengangguk-angguk setuju. “Iya Mi… ntar telat loh…”

“Ohiya, lupa kalau lagi makan hehe. Yaudah cepetan deh makannya, harus buru-buru ke bandara ini, belom check-in tiket.” Ucap Mami. “Rara makan yang banyak ya.” Mami mengelus surai Rara pelan.