@mintsugarkyopta

Selamat membaca sayang!

Rara berjalan menuju mang-mang Cilok yang tengah digandrui oleh bocil-bocil kerudungan dengan lengan kaus yang pendek. Terlihat antreannya cukup panjang, Rara langsung berdiri tepat dibelakang antrean terakhir.

Tepat saat Rara ingin maju karena sudah gilirannya, tiba-tiba ada ibu-ibu dengan lipstik merah tua serta makeup yang cakey. “Permisi mba, saya duluan ya anak saya laper.”

Rara terperanjat saat ibu-ibu itu dengan mudahnya mendorong Rara kencang dari depan gerobak cilok. “Maaf ya mba, anak saya laper. Mang ciloknya sepuluh ribu diik—

ANJING.

Rara langsung menghadang ibu itu, berdiri menghalangi gerobak cilok. “GABISA DONG BU!, SAYA JUGA LAPER.” Sela Rara.

Rara paling tidak suka dengan kaum 'anak saya laper' seperti ini, kejadian yang sama pernah terjadi saat Rara kebelet pipis di bandara Halim Perdana Kusuma, kala itu ia sampai berdebat dengan ibu-ibu yang membawa anaknya yang berumur 8 tahun, harusnya anak umur segitu sudah mengerti untuk mengantre dan menahan pipis.

Rara berdecak kesal. “Saya dateng duluan bu, saya ngantri dari tadi, masa ibu dateng-dateng nyelak gitu aja!”

“Ya anak saya laperr!! kamu nih gak bisa hormat sama yang lebih tua apa gimana sih? ngomongnya bentak-bentak begitu!” Ucap ibu itu tak kalah ngotot.

Mang cilok yang melihat perseteruan antar dua betina beda umur ini seketika panik. “Eh... aduh... neng... udah neng ngalah aja....” Ucap mang cilok.

Rara melirik mang cilok sekilas. “Gabisa! ini udah soal manner ngantri! Harusnya ibu ajarin anak ibu buat bisa ngehargain orang lain!”

Ibu itu semakin melotot. “Mba yang gabisa ngehargain saya yang udah tua bawa anak! anak saya ini laper! dewasa dong mba! gak mencontoh anak bangsa banget.” Si ibu semakin nyinyir.

YEEEEE GUA PITES LU BIJI KETUMBAR!!. Deru napas Rara semakin menggebu-gebu, sebisa mungkin ia menjaga intonasinya untuk tidak lebih keras dari yang sudah ia keluarkan.

Reflek Rara berkacak pinggang. Sudah tak kuasa menahan emosinya, ia pun berbicara asal tanpa memikirkan kedepannya. “Lohh bu, emangnya anak ibu doang yang laper?! anak saya juga!!” Ucapnya dengan dada yang naik turun.

EH?! Anjing gua ngomong apa...

“Mana anaknya bu?! kamu loh masih muda mana ada anak!! mana!! gak ada!!”

BODO ANJIR BOONG-BOONG DAH GUA!!

Emosi Rara semakin menjadi-jadi, ia menatap wajah ibu-ibu itu penuh kesal. Ni ibu-ibu beneran bikin gua naik pitam banget ya!! pokoknya gua gak akan nyerah sampe gua duluan yang dapet cilok!!!

Rara memang suka membantu orang, cenderung mengalah demi kepentingan orang lain, tak lupa ia akan selalu bilang ‘gua gapapa’ padahal ia tidak suka. Namun, kalau sudah prihal manner Rara tidak punya alasan kuat untuk mengalah.

“POKOKNYA ADA!! —Rara menatap penuh amarah kearah ibu-ibu itu— saya bukan ibu yang jadiin anaknya sebagai alesan buat nyelak antrian orang—”

“Yallah... Gustii Allah... neng udah neng... bu... udah...neng atuh— Mang cilok mencoba menyela, namun, omongannya kembali terpotong.

“DIEM!” Ucap Rara dan ibu itu bersamaan.

Mang cilok meneguk salivanya, celingak-celinguk mencari orang-orang sekitar untuk membantu melerai kedua betina ganas ini.

“POKOKNYA SAYA DUL—

Grep. Napas Rara tercekat persis saat ia merasakan tangan seseorang merangkul pinggangnya. “Sayang, udah?”

Hah… sayang?

Rara menoleh kesamping, terlihat Anggar yang tengah tersenyum tipis menatap matanya. “Hah?”

AAAaaaaaaa! ANGGAR TANGANNYA BANDEL ISHH!

Netra Anggar beralih dari Rara kearah Ibu-ibu tukang nyelak itu. “Maaf ya bu... kebetulan istri saya lagi ngandung baru dua minggu…, dia ngidam banget... cilok pake kecap, udah pengen dari dua hari yang lalu... dan maunya cilok GBK, makanya sampe marah-marah kaya gini... mohon pengertiannya ya bu...” Anggar mencoba menjelaskan kepada ibu itu.

Ngomong apaan lo anjir gila!!

Jujur Rara hanya terdiam, membeku mendengar penuturan Anggar.

Terlihat anak si ibu yang sudah kepalang malu, terus-menerus menarik ujung kaus ibunya. “Bu... ih udah dedek malu, gajadi mau cilok... beli yang lain aja...”

Awalnya, si ibu masih tampak shock akan kedatangan Anggar yang tiba-tiba. Namun, kemudian sang ibu pun langsung meminta maaf kepada Rara, dan berlalu pergi.

“Ibunya udah pergi.” Rara mencoba memperingati Anggar.

“Ya bagus dong... tinggal beli ciloknya.”

Rara menunjuk tangan Anggar yang masih betah berdiam dipinggang Rara. “Nih... ini apa nih? ibunya pergi, kok tangannya gak pergi?”

Anggar reflek menarik tangannya. “Yakan tadi nolongin kamu doang Ra, maaf ya itu pure improvisasi...”

Rara hanya berdehem, lalu tersenyum manis kearah Mang Cilok. “Mang ciloknya 10 ribu yah!!”

“Sama-sama Azarra istriku.”

HHHhhhh! DIEM!

Tak kuasa menahan panas pada kedua pipinya, Rara langsung mendorong punggung Anggar kencang. “Udah! sana-sana! ganggu banget!”

Anggar hanya terkekeh geli sembari berlalu. Mang cilok yang melihat drama rumah tangga didepannya hanya mesem-mesem malu, pun Rara, ia tak kuasa menahan senyum mengingat akan pinggangnya tadi.

Rencananya gua pengen ngambek nih! gagal mulu anjirrr!.

Rara berjalan menuju mang-mang Cilok yang tengah digandrui oleh bocil-bocil kerudungan dengan lengan kaus yang pendek. Terlihat antreannya cukup panjang, Rara langsung berdiri tepat dibelakang antrean terakhir.

Tepat saat Rara ingin maju karena sudah gilirannya, tiba-tiba ada ibu-ibu dengan lipstik merah tua serta makeup yang cakey. “Permisi mba, saya duluan ya anak saya laper.”

Rara terperanjat saat ibu-ibu itu dengan mudahnya mendorong Rara kencang dari depan gerobak cilok. “Maaf ya mba, anak saya laper. Mang ciloknya sepuluh ribu diik—

ANJING.

Rara langsung menghadang ibu itu, berdiri menghalangi gerobak cilok. “GABISA DONG BU!, SAYA JUGA LAPER.” Sela Rara.

Rara paling tidak suka dengan kaum 'anak saya laper' seperti ini, kejadian yang sama pernah terjadi saat Rara kebelet pipis di bandara Halim Perdana Kusuma, kala itu ia sampai berdebat dengan ibu-ibu yang membawa anaknya yang berumur 8 tahun, harusnya anak umur segitu sudah mengerti untuk mengantre dan menahan pipis.

Rara berdecak kesal. “Saya dateng duluan bu, saya ngantri dari tadi, masa ibu dateng-dateng nyelak gitu aja!”

“Ya anak saya laperr!! kamu nih gak bisa hormat sama yang lebih tua apa gimana sih? ngomongnya bentak-bentak begitu!” Ucap ibu itu tak kalah ngotot.

Mang cilok yang melihat perseteruan antar dua betina beda umur ini seketika panik. “Eh... aduh... neng... udah neng ngalah aja....” Ucap mang cilok.

Rara melirik mang cilok sekilas. “Gabisa! ini udah soal manner ngantri! Harusnya ibu ajarin anak ibu buat bisa ngehargain orang lain!”

Ibu itu semakin melotot. “Mba yang gabisa ngehargain saya yang udah tua bawa anak! anak saya ini laper! dewasa dong mba! gak mencontoh anak bangsa banget.” Si ibu semakin nyinyir.

YEEEEE GUA PITES LU BIJI KETUMBAR!!. Deru napas Rara semakin menggebu-gebu, sebisa mungkin ia menjaga intonasinya untuk tidak lebih keras dari yang sudah ia keluarkan.

Reflek Rara berkacak pinggang. Sudah tak kuasa menahan emosinya, ia pun berbicara asal tanpa memikirkan kedepannya. “Lohh bu, emangnya anak ibu doang yang laper?! anak saya juga!!” Ucapnya dengan dada yang naik turun.

EH?! Anjing gua ngomong apa...

“Mana anaknya bu?! kamu loh masih muda mana ada anak!! mana!! gak ada!!”

BODO ANJIR BOONG-BOONG DAH GUA!!

Emosi Rara semakin menjadi-jadi, ia menatap wajah ibu-ibu itu penuh kesal. Ni ibu-ibu beneran bikin gua naik pitam banget ya!! pokoknya gua gak akan nyerah sampe gua duluan yang dapet cilok!!!

“POKOKNYA ADA!! —Rara menatap penuh amarah kearah ibu-ibu itu— saya bukan ibu yang jadiin anaknya sebagai alesan buat nyelak antrian orang—”

“Yallah... Gustii Allah... neng udah neng... bu... udah...neng atuh— Mang cilok mencoba menyela, namun, omongannya kembali terpotong.

“DIEM!” Ucap Rara dan ibu itu bersamaan.

Mang cilok meneguk salivanya, celingak-celinguk mencari orang-orang sekitar untuk membantu melerai kedua betina ganas ini.

“POKOKNYA SAYA DUL—

Grep. Napas Rara tercekat persis saat ia merasakan tangan seseorang merangkul pinggangnya. “Sayang, udah?”

Hah… sayang?

Rara menoleh kesamping, terlihat Anggar yang tengah tersenyum tipis menatap matanya. “Hah?”

AAAaaaaaaa! ANGGAR TANGANNYA BANDEL ISHH!

Netra Anggar beralih dari Rara kearah Ibu-ibu tukang nyelak itu. “Maaf ya bu... kebetulan istri saya lagi ngandung baru dua minggu…, dia ngidam banget... cilok pake kecap, udah pengen dari dua hari yang lalu... dan maunya cilok GBK, makanya sampe marah-marah kaya gini... mohon pengertiannya ya bu...” Anggar mencoba menjelaskan kepada ibu itu.

Ngomong apaan lo anjir gila!!

Jujur Rara hanya terdiam, membeku mendengar penuturan Anggar.

Terlihat anak si ibu yang sudah kepalang malu, terus-menerus menarik ujung kaus ibunya. “Bu... ih udah dedek malu, gajadi mau cilok... beli yang lain aja...”

Awalnya, si ibu masih tampak shock akan kedatangan Anggar yang tiba-tiba. Namun, kemudian sang ibu pun langsung meminta maaf kepada Rara, dan berlalu pergi.

“Ibunya udah pergi.” Rara mencoba memperingati Anggar.

“Ya bagus dong... tinggal beli ciloknya.”

Rara menunjuk tangan Anggar yang masih betah berdiam dipinggang Rara. “Nih... ini apa nih? ibunya pergi, kok tangannya gak pergi?”

Anggar reflek menarik tangannya. “Yakan tadi nolongin kamu doang Ra, maaf ya itu pure improvisasi...”

Rara hanya berdehem, lalu tersenyum manis kearah Mang Cilok. “Mang ciloknya 10 ribu yah!!”

“Sama-sama Azarra istriku.”

HHHhhhh! DIEM!

Tak kuasa menahan panas pada kedua pipinya, Rara langsung mendorong punggung Anggar kencang. “Udah! sana-sana! ganggu banget!”

Anggar hanya terkekeh geli sembari berlalu. Mang cilok yang melihat drama rumah tangga didepannya hanya mesem-mesem malu, pun Rara, ia tak kuasa menahan senyum mengingat akan pinggangnya tadi.

Rencananya gua pengen ngambek nih! gagal mulu anjirrr!.

Mereka jalan beriringan dengan Anggar yang masih menggenggam jemari Rara erat, pria itu tak mengucapkan sepatah kata pun, Rara yang bingung hanya diam sembari mengikuti laju kaki Anggar.

Demi Allah Rasulloh… ini gua udah clueless banget asli. Dari pagi emang ni kutu kupret udah gajelas sih… mukanya manyun terus pen gua tabok lama-lama bibirnya.

Hingga akhirnya mereka tiba di depan stand bubur ayam. Tertulis dengan jelas 'BUBUR AYAM MAS ARIS'. Terlihat juga deretan street food lainnya, kalau dipikir-pikir lebih banyak orang yang berkuliner daripada berolahraga.

Yaiyalah… gausah ditanya lagi.

Stand Bubur Ayam ini terletak didepan mall FX Sudirman, disebelah gerbang utama Gelora Bung Karno yang bertuliskan Citius, Altius, dan Fortius.

Anggar sudah biasa kesini, bubur ayam ini sudah seperti ritual wajib jika ia lari disekitar kawasan CFD.

“Permisi mas Aris.” Ucap Anggar ramah.

Pedagang bubur ayam yang bernama Aris itu menoleh, tangannya sibuk melayani para pelanggan yang tengah mengerubunginya. “Eh mas Anggar, udah lama gak keliatan... loh... cewenya beda mas?” Aris tersenyum usil.

Hah? cewe beda? maksudnya gua? lah kan emang baru kesini...

Anggar terkekeh geli. “Hahaha bisa aja mas... buburnya dua porsi ya mas.” Ujar Anggar. “Ra duduk aja situ—Ia menunjuk salah satu bangku bakso berwarna merah—, ini saya aja yang nungguin, kamu gapake kacang kan?”

Rara yang masih bingung hanya mengangguk kecil dan berjalan menuju bangku yang tadi ditunjuk Anggar. Maksudnya si mas bubur apa sih?

Rara duduk dengan pikirannya yang masih menjelajah mencari arti makna yang dimaksud oleh mas Aris. Seketika maniknya membulat. Oh… ni NAJMA BUKAN SEHH?!, ampe bener awas lo ye Nggar! bisa-bisanya lo ngajak gua ketempat lo ngedate ama si Najma!

Sesekali Anggar melirik kearah Rara yang tengah melamun sembari menatap ujung sepatunya. Jujur, ia sedikit kesal karena chat terakhir yang ia kirimkan ke Rara tidak dibalas, apalagi perempuan itu bertingkah biasa saja. Tidak ada reaksi khusus. Gua typing lama, perang batin, buat ngirim tu chat, malah gak dibales, dibaca juga nggak — Pikir Anggar.

Tak lama Anggar membawa dua wadah styrofoam. “Nih.” Ia menaruh diatas jemari Rara yang sudah siap memegang.

Otomatis netra Rara berbinar saat ia melihat bubur ayam dengan asap panas yang mengebul didepan wajahnya. Bukan seperti bubur ayam yang umum ditemui dikawasan Jakarta, bubur ayam ini tidak memiliki kuah.

Wahh!!

Rara semakin semangat saat ia melihat taburan ayam suwir yang melimpah, tak lupa potongan cakwe, pangsit goreng serta soun kering. Apalagi drizzle kecap manis diatasnya memperindah visual bubur ayam itu.

Seakan lupa dengan perkataan Mas Aris yang tadi sempat menganggunya, Rara menyendokkan bubur itu kedalam mulutnya.

Edannn!

Seketika manik Rara membulat, dengan cepat ia menoleh kearah Anggar yang duduk pada trotoar tepat di depannya yang duduk di bangku bakso. “Nggar... kok enak banget sih?! 25 tahun saya idup baru tau ada bubur ini didunia?!” Ucap Rara antusias.

Anggar tersenyum tipis, sejenak ia menelan bubur yang tadi dikunyahnya. “Kamu suka?”

“Iya!! ini gurih bangettt, mana buburnya lembut beginii!!” Ucap Rara, masih dengan binar mata yang menyala.

“Bagus deh kalo suka, kapan-kapan kesini lagi aja.” Anggar mendongak, menatap Rara yang tengah menggigit kerupuk.

Yes!! kesini sering-sering ya Nggar!! saya udah lama bangett gak CFD-an, terakhir kayaknya SMA deh...”

Anggar tersenyum tipis, melihat ekspresi semangat Rara. “Oh... lumayan lama ya—Sejenak ia melirik kearah bubur Rara yang tidak diaduk sama sekali—Kamu… tim bubur gak diaduk?” Kemudian maniknya beralih ke buburnya yang sudah saling berkolaborasi antara warga cakwe dan warga ayam suwir.

Seketika Rara berhenti mengunyah, ia melirik ke arah bubur Anggar dengan tatapan ‘Idih, sekte mana lo?’. “Yalah! bubur tuh harus dimakan satu-satu topping-nya diambil satu-satu. Kata saya sih kamu aneh.”

Anggar terdiam, lalu tersenyum jahil. “Ya, aneh-aneh gini, kan suami kamu.”

APA-APAAN INI?!. Rara terdiam, enggan membalas sautan Anggar barusan.

Masih fokus dengan buburnya, Anggar kembali bersuara. “Ra… semalem tuh… kamu baca chat terakhir saya kan?”

Rara menepok pahanya pelan. “Nah itu Nggar!! duh, tadi malem tuh kamu typing-nya lama, jadi saya skincare-an dulu, terus pas banget notif kamu masuk, eh tiba-tiba hp saya mati, makanya gasempet bales, tau kan Iphone kalo udah penyakitan nyebelin banget!— Rara mendengus sebal.

“Nah! pas udah gak nge-hang, ternyata IOS-nya update, eh pas banget, semalem wifinya rada ngadet kan, emang Indihome bala. Data saya ilang semua Nggar… termasuk chat-chat penting… makanya tadi pagi saya sibuk download aplikasi di mobil.” Jelas Rara dengan menggebu-gebu.

Terjawab sudah prahara yang membuat Anggar gelisah sekaligus kesal sejak tadi pagi. Wajar jika perempuan itu bertingkah biasa saja sejak ajakannya semalam, orang gak dibaca.

Anggar mengangguk pelan. “Oh… jadi kamu baca sampe mana?”

“Kamu ngajak CFD kan? emang kamu kirim sesuatu lagi?”

Anggar menghela napas pelan. “Iya.”

“Apa?” Rara menatap Anggar penasaran.

“Gapenting sih, cuman bilang abis subuh siap-siap, biar dapet udara pagi.”

“Oh… —Rara terkekeh geli— Kirain apaa..” Seketika Rara teringat akan obrolan mas Aris dengan Anggar tadi. “Nggar… kamu… Mmm… pernah kesini sama siapa aja?”

Anggar menatap Rara datar, lalu mengangguk kecil. “Dulu saya suka makan bubur disini sama Najma. Dia juga yang ngasih tau tempat ini.”

Hah…..? MAKSUDNYE?!? WAH! UDAH LAH ANYING KAGA ADA HAREPAN EMANG LO NGGAR!

“Oh… jadi tempat ngedate sama mantan… oh…” Sindir Rara.

Anggar menatap Rara heran. “Emangnya kenapa? buburnya enak ini kan, ada masalah?” Anggar masih menatap Rara dengan watadosnya.

Udahlah ngambek aja apa ye?

“Gapapa. Saya beli cilok dulu ya.” Rara langsung melenggang pergi, meninggalkan Anggar yang menatap punggung istrinya yang kian menjauh. Lah? salah gua apa? kok tiba-tiba ngambek?— Pikir Anggar.

Rara berlari mengitari GBK, dengan sweatpants abu, tanktop abu, dan jaket navy. Tak lupa sepatu Nike Airmax ungu favoritenya.

Sesekali Rara mengecek I-watch yang melingkar pada pergelangan tangannya untuk men-tracking langkah, aktivitas, serta pembakaran kalori.

Rara menatap langit biru diatas sana, telapaknya sedikit menutupi penglihatannya kala matahari tanpa malu-malu bersinar terang membuat pandangannya silau.

Cuaca pagi ini cukup cerah, dengan udara yang terbilang cukup dingin. Namun, namanya juga olahraga, rasa gerah tetap menjalar.

Duh, aus deh, tapi… ah udahlah lari dulu aja.

Disela-sela larinya, Rara menguap, merasa ngantuk sekaligus lapar, bagaimana tidak? subuh-subuh Anggar mengetuk kamarnya dan memintanya untuk bersiap-siap. Hal itu sukses membuat Rara sedikit tidak fokus.

GUBRAK! “Aduh...” Rara terjatuh usai ia terselengkat oleh kakinya sendiri. Anggar yang berada tepat dibelakangnya langsung menghampiri Rara yang sudah tergeletak diatas aspal.

“Kan.” Anggar menghela napas, menatap Rara khawatir sekaligus frustasi. Terlihat beberapa kali ia memijat pelipisnya. “Kan tadi udah dibilangin, kalau lari biasa aja gausah cosplay jadi Lalu Muhammad Zohri... situ atlet lari?” Ia berusaha untuk menahan emosinya.

ANJING DIOMELINNN!!

Rara tengah mengusap lututnya, berusaha untuk membersihkan kerikil-kerikil kecil yang menempel disana, sesekali ia meringis kesakitan. “Ya... kan gatau kalau bakal jatoh...” Rara merengek seraya menunduk takut, tak sanggup melihat tatapan Anggar yang sudah seperti leser.

Anggar mendengus kesal, lalu ia mengulurkan tangannya kearah Rara. “Sakit gak? sini saya bantuin bangun.”

Masih dalam posisi menunduk Rara mengernyit kesal. LO NANYA SAKIT APA GAK?!?!! MENURUT LO?!?

Seketika Rara menengadah, menatap Anggar sembari mendengus kesal. “Gimane jawabnya? Gimana saya bisa jawabnya dengan pertanyaan yang gak jelas?! pertanyaan yang bikin saya EMOSI!! YA SAKIT ATUHLAH SI AA TEH!”

Tanpa sadar, beberapa pengunjung sekitar melihat kearah mereka, hal itu sontak membuat Anggar menepok jidat. Hadeuh, pake ngomel kan — Pikir Anggar.

Anggar berdecak pelan. “Mau bangun apa saya tinggal? saya masih pengen lari soalnya, kalau kamu betah ngedeprok disini yaudah, tapi anggep kita gakenal ya.”

Rara menatap Anggar tak percaya. SIALAN! LU LAKIKNYA SIAPE SIH! Sumpah demi holohhh! Anggar abis minta maaf kenapa makin ngeselin gini sih?!

Sejenak Rara menatap jemari Anggar tanpa minat. Namun, detik selanjutnya ia menggenggam jemari itu erat. Gua masih waras! gamau dianggep gelandangan! makanya gua terima ni tangan lo!

Grep. Rara sudah berdiri tepat didepan Anggar. “Lain kali jangan lari pake mode roadrunner, untung gak luka, kalo luka berabe tau.” Ucap Anggar kesal.

“Dih! dipikir looney tunes apa! Ya kalo luka juga gapapa kaya jagoan biar kembaran sama Sherina.”

“Hadah, Sherina luka jadi jagoan keren, kalo kamu luka ntar malah jadi borok.”

Emang dasar elite politik bodor lo! bisa gak sih sekali aja! sekali aje lo kaga usah ngejawabbb HHHHHh!!!

Anggar menatap dengkul Rara yang sedikit memerah, untung gak luka — pikirnya. Maniknya beralih kearah wajah Rara. “Kenapa bisa jatoh sih? laper?”

Rara yang tadinya kesal otomatis langsung mengangguk cepat. “Kayaknya iya deh... tadi rada pening gitu, subuh tadi cuman minum energen.” Ia Senang bukan kepalang saat Anggar peka terhadap kebutuhan lambung gembelnya.

“Oh gitu, yaudah saya lari lagi ya.”

Bakekok.

Anggar langsung meninggalkan Rara yang terperangah heran menatap tingkah ajaib dosen yang merangkap menjadi suaminya itu.

Hah… wah… sakit ni orang. NGAPAIN LO NANYAIN KEMASLAHATAN PERUT GUA, KALO LO KAGA NGAJAK GUA MAKAN?!

Rara menatap bengis punggung Anggar yang kian menjauh. Lo pikir dengan permintaan maaf lo semalem dan tiba-tiba ngajak CFD pagi-pagi gua bakal luluh lantah gitu?! oh sorry not sorry ye Nggar!

HIKS “Mba maaf... mukanya boleh dikondisikan nggak?... serem soalnya kaya disinetron-sinetron, ini anak saya takut, sampe nangis...”

Rara tersentak kala ada seorang bapak-bapak berkumis tebal datang menghampirinya, pria itu tengah menggandeng putri kecilnya yang tengah menangis, bersembunyi dibalik kaki pria itu.

Bentar deh… ni perasaan kawasan luas banget kan ye, kenapa pas banget gua lagi nahan emosi malah diliat anak kecil… pake takut lagi bocahnya, kenapa sih? gua jelek?. Nahkan bahkan hal se-simple ini bisa membuat Rara insecure.

“Eh?” Rara langsung mengubah ekspresi dendam kesumatnya menjadi senyum canggung. “Eh maaf pak… maaf… saya lagi kesel… maaf ya pak sekali lagi… dedek jangan nangis ya…” Rara menunduk, mencoba menunjukkan senyum termanisnya kepada si dedek kecil yang masih tampak takut menatap Rara.

“Kenapa mba? kesel sama pacarnya tadi itu ya?”

Rara reflek mendongak menatap si bapak. “Hah? bukan pacar pak hehe...”

“loh terus siapa?”

Rara terkekeh, dengan semangat ia berucap. “Titisan Da'jal pak, saya kurang banyak baca surat al-kahfi tiap jumat soalnya... jadi ketemu deh hehe —Tak mau lama-lama akhirnya Rara memilih untuk berpamitan— Ohiya, saya duluan ya pak udah ketinggalan soalnya...”

Bapak itu terkekeh pelan. “Ohiya mba… silahkan.”

Rara mengangguk sembari tersenyum tipis, lantas ia berlalu, berlari mengejar Anggar yang sudah terlihat sangat kecil didepan sana.

Aneh-aneh aja sih stranger…

Suasana sekitar Gelora Bung Karno kian meramai. Rara masih berjalan dibelakang Anggar yang berjalan santai didepannya. Ia masih kesal perihal perutnya yang sudah keroncongan, maniknya terus menatap ujung sepatunya yang bergerak maju.

Rara terus melaju...

Hingga...

JEDUG! “Aduhh...” Rara mengangkat wajahnya, terlihat Anggar yang tengah berdiri tegak menatapnya datar. Otomatis Rara melotot. “KOK BERENTI MENDADAK SIH?! ih... sakit tau jidat saya!!” Rara terus mengelus dahinya.

“Sengaja. Lagian kamu jalan gak liat depan, untung nabraknya saya, kalo nabrak cowo lain gimana? terus mereka naksir gimana?”

Lah… ni orang kenapa sih… jujurly i don’t understand ya Nggar ama you, sumpah deh pen gua pites, all of sudden banget njir ngeselinnya… anjing heran.

Rara mengernyit heran. “Apa hubungannya?! yang nabrak saya ini! ya kalo naksir juga ya hak mereka ini, kenapa sih Nggar? Mens?”

Asli ya kalo lu bukan suami gua udah gua jadiin rempeyek udang lu!

Anggar mendengus sebal. “Mana ada cowo dapet. Udah ayok.” Anggar mencoba menarik jemari Rara, namun, perempuan itu langsung menepisnga. Ia pun berdecak pelan, menatap Rara datar. “Katanya laper.”

Rara memicingkan matanya seraya bersedekap. “Udah ga.” Sungguh, dendam itu masih nyaman merambat pada relung hatinya.

“Ayok.” Tanpa perizinan sang empu, Anggar langsung menarik tangan Rara.

Anggar kenapa sih? sumpah kelakuannya kaga ketebak banget, malah kaya orang ngambek anjir… anjing heran.

Rara pun hanya pasrah mengikuti arah gerak langkah Anggar. Ditengah langkahnya ia berdoa, Yallah tolong berilah hidayah kepada suami saya agar saya makan sebelum badan saya bergetar…

“Pak Anggar hanya demam tinggi, sepertinya kelelahan dan banyak pikiran, dan ini obatnya, tadi saya sengaja siapin obat-obat yang memang khusus untuk penurun demam. Rutin di kompres ya bu, biar cepat reda.”

Rara menyimak dengan seksama semua penuturan Dokter Ghozi, seraya mengangguk singkat. “Kalau panasnya gaturun-turun gimana Dok?”

Ghozi tersenyum tipis. “Bisa hubungin saya kembali, nanti saya segera datang kesini, kalau tiga hari tidak turun juga, dibawa ke rumah sakit langsung.”

Rara mengangguk pelan. “Baik, terimakasih Dok.”

Sepulangnya Dokter Ghozi tadi sore, Rara masih setia duduk di sofa kamar Anggar, menatap geram kearah pria yang tengah tertidur pulas diatas kasurnya.

Ni gua masih kesel banget ni ama ni orang, tapi kenapa Allah tuh tau aje kalo seorang istri mau durhaka ama suaminya langsung disentil.

Yang membuat Rara semakin kesal adalah tingkah laku Anggar yang tiba-tiba berubah menjadi bayi kawak. Makan minta disuapin, minum obat minta ditarohin obatnya dimulut. Sungguh, kalau pria itu sudah sembuh, rasa-rasanya Rara ingin menaboknya sekuat tenaga.

“Nggg…”

Rara terperanjat kala Anggar tiba-tiba menggeliat, ia bangkit dari duduknya, menghampiri Anggar yang terlihat tidak nyaman dalam tidurnya.

Perempuan itu duduk menyamping tepat disebelah bahu Anggar, menaruh telapaknya pada dahi pria itu. Anjir kok makin panas?!

Rara mengambil handuk yang jatuh disebelah kepala Anggar, mencelupkannya kembali pada baskom berisi air hangat, memerasnya pelan, lalu menaruhnya kembali pada dahi Anggar, tak lupa memberikan sedikit puk-puk, agar pria itu kembali tertidur pulas.

Terlihat Anggar yang kembali diam saat serangan puk-puk mengenai dahinya. Ia kembali tenang dan hanyut dalam tidurnya.

Dih, kaya bayi…

Rara merasa Anggar sudah cukup pulas, lantas ia mencoba bangkit, namun, dalam sepersekian detik sesuatu menahannya. Ia mengalihkan maniknya kearah pergelangan tangannya yang kini sudah digenggam oleh Anggar.

Anggar menarik tubuh Rara, membuat perempuan itu kembali terduduk, pria itu mengubah posisi tidurnya menyamping.

Napas Rara tercekat saat ia merasakan tangan Anggar yang melingkar pada pinggangnya. Masih dalam posisi memejamkan mata, Anggar mengubur wajahnya diantara kasur dan paha Rara.

“Sebentar ya, sebentar aja kaya gini, saya cenderung suka mimpi buruk kalau lagi sakit.” Ucap Anggar, masih dengan mata yang terpejam.

Rara hanya pasrah, melihat dirinya dipeluk oleh Anggar. Sayangnya, dibalik pasrah serta diamnya wanita itu, degup jantung yang tengah berdetak kencang berirama sukses membuatnya takut.

Repot ini mah.

“Pak Anggar hanya demam tinggi, sepertinya kelelahan dan banyak pikiran, dan ini obatnya, tadi saya sengaja siapin obat-obat yang memang khusus untuk penurun demam. Rutin di kompres ya bu, biar cepat reda.”

Rara menyimak dengan seksama semua penuturan Dokter Ghozi, seraya mengangguk singkat. “Kalau panasnya gaturun-turun gimana Dok?”

Ghozi tersenyum tipis. “Bisa hubungin saya kembali, nanti saya segera datang kesini, kalau tiga hari tidak turun juga, dibawa ke rumah sakit langsung.”

Rara mengangguk pelan. “Baik, terimakasih Dok.”

Sepulangnya Dokter Ghozi tadi sore, Rara masih setia duduk di sofa kamar Anggar, menatap geram kearah pria yang tengah tertidur pulas diatas kasurnya.

Ni gua masih kesel banget ni ama ni orang, tapi kenapa Allah tuh tau aje kalo seorang istri mau durhaka ama suaminya langsung disentil.

Yang membuat Rara semakin kesal adalah tingkah laku Anggar yang tiba-tiba berubah menjadi bayi kawak. Makan minta disuapin, minum obat minta ditarohin obatnya dimulut. Sungguh, kalau pria itu sudah sembuh, rasa-rasanya Rara ingin menaboknya sekuat tenaga.

“Nggg…”

Rara terperanjat kala Anggar tiba-tiba menggeliat, ia bangkit dari duduknya, menghampiri Anggar yang terlihat tidak nyaman dalam tidurnya.

Perempuan itu duduk menyamping tepat disebelah bahu Anggar, menaruh telapaknya pada dahi pria itu. Anjir kok makin panas?!

Rara mengambil handuk yang jatuh disebelah kepala Anggar, mencelupkannya kembali pada baskom berisi air hangat, memerasnya pelan, lalu menaruhnya kembali pada dahi Anggar, tak lupa memberikan sedikit puk-puk, agar pria itu kembali tertidur pulas.

Terlihat Anggar yang kembali diam saat serangan puk-puk mengenai dahinya. Ia kembali tenang dan hanyut dalam tidurnya.

Dih, kaya bayi…

Rara merasa Anggar sudah cukup pulas, lantas ia mencoba bangkit, namun, dalam sepersekian detik sesuatu menahannya. Ia mengalihkan maniknya kearah pergelangan tangannya yang kini sudah digenggam oleh Anggar.

Anggar menarik tubuh Rara, membuat perempuan itu kembali terduduk, pria itu mengubah posisi tidurnya menyamping.

Napas Rara tercekat saat ia merasakan tangan Anggar yang melingkar pada pinggangnya. Masih dalam posisi memejamkan mata, Anggar mengubur wajahnya diantara kasur dan paha Rara.

“Sebentar ya, sebentar aja kaya gini, saya cenderung suka mimpi buruk kalau lagi sakit.” Ucap Anggar, masih dengan mata yang terpejam.

Rara hanya pasrah, melihat dirinya dipeluk oleh Anggar. Sayangnya, dibalik pasrah serta diamnya wanita ini, degup jantung yang tengah berdetak kencang berirama sukses membuatnya takut.

Repot ini mah.

Rara menatap geram kearah Ramzy yang kini tengah menyetir disebelahnya. “Lo ya bisa-bisanya mau disuruh Anggar jemput gua, padahal lo semalem kobam!”

Ramzy melirik Rara sekilas. “Kenapa sih lo? tiba-tiba ngamuk gini? biasanya juga biasa aja, lagi dapet lo?”

Rara langsung menoyor kepala Ramzy kencang. “Alahhh si goblokkk!!, kalo lu frustasi karna gadapet-dapet hatinya Aras yang sekarang lagi dikeceng juga sama Banar, terus lo mau mengakhiri hidup lo dengan nyetir pas masih spaneng ya jangan ngajak-ngajak gua!!!”

“Dih, bocah! lo kenapa dah, ini bukan yang pertama kalinya gua nabrak trotoar pas lagi sama lo loh.. keknya udah yang ke lima kali.” Ramzy membuat mimik mukanya seakan ia tengah berpikir keras.

Rara dengan cepat langsung mencubit pinggang Ramzy. “MAKA DARI ITU ANJING UDAH LIMA KALI, NTAR YANG KESEMBILAN KALINYA KITA KOID BENERAN, BIKIN EMOSI AJA LU MAH!!”

“AW!! Lu kata rubah ekor sembilan apa.” Ramzy mengelus pinggangnya yang terasa panas.

CKCKCKCCKCKKCKK!!!! “Emang udah paling bener Aras sama Banar aja, aman damai sentosa, naik vespa keliling kota….” Nahkan Rara malah nyanyi.

“Rapunzel lebih nyaman ya!”

Rara langsung menoleh heran dengan tatapan ‘jijay’ “Lah? mobil lu kapan tumpengannya kok udah ganti nama? bukannya namanya ‘Neng Crysti’ ya?!”

“Aras suka Tangled jadi gua ganti nama hehe.”

Cih bucin.

“Ramzy…” Seketika Rara memelas.

Ramzy hanya berdehem, netranya masih fokus pada jalanan didepan.

“Lo tau cewe yang namanya Najma?”

CITTTT!! Ramzy reflek menginjak rem.

JEDUG! Rara yang tidak memakai seatbelt mengakibatkan jidatnya terantuk dashboard. “ANJING LO KALO GABISA NYETIR MENDING RESIGN JADI SEPUPU GUA DEH! IDUP GUA KAYAKNYA BECANDAAN BUAT LO YA?!” Ucap Rara seraya mengelus-elus dahinya pelan. “Aduh…”

“Eh… sorry ra…” Ramzy langsung menepikan mobil ke pinggir trotoar, untungnya jalanan komplek sore itu sedang sepi. “Sumpah Ra gasengaja, gua kaget banget.”

“Anjing lah lu sama Anggar kalo kaget kaga tau tempat banget jir.”

“Ya elu bahas topic juga suka gatau tempat anjir!” Ramzy ikut mengelus dahi Rara yang memerah. “Lagian salah lo gapake sabuk.”

“GUA LAGI GUA TERUS UDAHLAH EMANG PALING BENER BANAR SAMA AR—

“Najma mantannya Anggar Ra.” Sela Ramzy.

Rara langsung menegakkan tubuhnya, bersedekap seraya memandang lurus jalanan didepan. “Ya kalo itu gua tau.”

Ramzy terbelalak. “Hah? tau dari mana??”

Rara menatap Ramzy sinis, masih dendam akan jidatnya yang perih.

Rara mendengus kesal. “Kemaren pas di Bali, gua gasengaja liat notif di hpnya Anggar, gua kira siapa gitu kan gapenting, terus dia malah bawa hpnya, izin ke toilet, curiga gak sih? ya curiga lah ya anjing namanya juga gua. Terus ya Zy gua kebelet juga tuh, yaampun gua masih menyesali kenapa ga gua tahan aja tu pipis kan—Rara mengambil napas panjang, lalu menghembuskannya pelan.

“EHHHHHH!!!!—Rara menepok pahanya pelan— Gua malah denger Anggar ngobrol sama temennya gitu keknya temen lama, si temennya ini ngeledekin gitu kalo Anggar masih sering ketemuan sama si Najma ini, terus temennya pake cerita lagi, emang anjing, jadi si Najma ini curhat kalo dia baper sama Anggar dan belom move on, MENURUT LO NIH YAA!!! CEWE TUH GALON KALO COWONYA JUGA GATEL GAK SIH!!!” Rara semakin ngotot bercerita akan gundah gulananya belakangan ini.

“Anjing santai bisa?? gausah bar-bar.” Ucap Ramzy, ia langsung bersedekap memandang kembaran beda rahim beda primbonnya itu.

“Kok lo gitu sih…” Rara memelas.

“Napas dulu ayok… Tarik napas buang… fyuhhhhh.”

“Anjing lo kata gua lagi ngelahirin.”

“Ya abis ngegas banget gua kira lagi ngeden.”

“RAMZY SERIUS DONG ANJIR!”

“Lo tuh aneh ya Ra, ini lo sadar gak sih lo lagi cemburu? lo suka kan sama dia? lo baper? apa cinta?”

Otomatis Rara mengernyit mendengar Ramzy membahas ‘cinta’. “Gatau.”

“Lo baper?”

“Iya.”

“Suka?”

“Dikit.”

“Sayang?”

“Belom sampai situ.” Rara mengerutkan dahinya.

“Atau… lo cuman suka perhatian dia? dan lo gasuka kalo ada orang lain ngambil perhatian itu?”

Rara termenung. Apa gua cuman suka attention yang dikasih Anggar ya?

“Ah gatau. Lo mah malah bikin overthinking.”

“Ra, kalo gatau ya dicari tau, dicoba, dirasakan, diresapi.” Ramzy berdecak kesal saat melihat sepupunya itu hanya diam. “Ra jangan muter-muter, pertanyaan yang gua kasih barusan itu udah saklek banget loh, jangan malah dijadiin bahan overthinking tengah malem.”

“Ya abisnya gua mesti gimana dong?”

“Coba lo omongin baik-baik sama dia, ungkapin perasaan lo, jangan malah bikin asumsi sendiri yang cuman ada di otak lo yang bodoh ini.” Ramzy menoyor pelan pelipis Rara dengan telunjuknya.

“Masa cewek duluan?! terus kalo dia gak ngerasain yang sama kek gua gimana? malu dong.”

Ramzy mendengus sebal. “Gausah alay. Malu ibu kita kartini ngeliat kaumnya gaberani maju duluan.”

“INI KENAPA SIH JADI NGEROASTING GUA?! KAN GUA LAGI BAHAS SI NAJMAAA!!”

“Sengaja ngalihin.”

“Dih, nahkoda lo jago ngalihin arus?!”

“Gua cuman gamau lo tau terlalu banyak soal Najma, nanti lo malah mikir yang nggak-nggak, percaya aja sama Anggar. Dia tuh megang omongan banget Ra. Coba apa hal paling membekas yang lo denger dari dia?”

“Anggar pernah flexing dia setia, pas tau dia boong tadi gua langsung yang yaelah borrr! dah gajaman kali say lakik setia jaman sekarang, omongannya doang manis, janjinya nyantol di tugu monas.” Rara memutar bola matanya malas.

“Ra, dia saklek loh, percaya aja. Gua aja percaya sama dia. Boong apa sih?”

“IH! IH! IH!, tadi tuh dia ada dipolsek Zy, pas lo sama ka Hannan lagi ngurus kebodohan lo itu, dia sama cewe gua yakin si Najma, tadi gua coba ngechat, gua tanya kan ntu dia lagi dimana, terus dia jawab di kantor, boong gak ziii!!”

Ramzy mengacungkan telunjuknya. “Nah, mungkin aja dia cuman mau bantuin? cuman gaenak aja ngomong sama lo nya? maksud gua, dia boong demi kebaikan? takut lo marah ama dia contohnya.”

Rara menatap Ramzy horror. “Lo kesambet apa deh? kenapa positive vibes gini otak lo?”

“Positif lah biar tetep waras, gua aja yang liat Aras jajan ke ragusa sama Banar aja tetep optimis, masa lo yang udah sah memegang raganya malah pesimis meraih jiwanya.”

“DIHHH!! ka Tsana lo puitis banget…” Rara langsung cengengesan.

“Soalnya ya Ra, jujur gua juga gatau wujudnya Najma, gua sering banget gibahin si Najma ama anak-anak NTU yang lain, Anggar ke Najma sama Anggar ke lo itu jauh beda banget Ra…” Ramzy mengangguk kecil sejenak ia berpikir.

“Lo nih ya, di publish, di share di twitter, itu aja udah terpukau gua, dulu tuh si Najma, kesannya kaya private banget, tapi iya sih pas putus si Anggar rada ngilang gitu, mungkin sakit hati kali ya, tapi jujur gak ada yang tau mereka putus kenapa. Bahkan mereka kan gagal ni— Eh.. Anjir….” Ramzy langsung menutup mulutnya.

Sedari tadi ia berusaha untuk tidak membahas Najma karena ia takut keceplosan soal Anggar yang gagal menikah, namun, namanya juga manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.

“Gagal apa?” Rara menatap Ramzy penasaran.

“Emmm.. gagal… gagal apa ya tadi anjir gua lupa.”

“Ah lo mah kebiasaan, jelek ingetan lo.”

“Ya pokoknya, gua sama anak-anak gatau wujudnya sumpah, kalo diajak main juga gapernah dibawa itu mantannya dulu, mana si Najma ni apa-apa socmed-nya di lock semua, makanya minim info. Yang gua tau pasti tu, si Najma ini rada materialistik sih, i mean, cewe wajar dong matre demi menunjang hidupnya, apalagi…, misal ya misal, dia dibahagiain sama keluarganya masa pas nikah gak dikasih kenyamanan yang pantes kan.”

“—Tapiii, Anggar pernah cerita dikit-dikit nih, kaya pas masih pacaran aja si Najma ini minta Anggar buat bayarin asuransi bonyoknya gitu, Anggar malah iya-iya aja lagi padahal baru pacar, terus pernah juga si Anggar disuruh bantu ngeluarin sepupunya Najma yang masuk penjara gara-gara dituntut ngehamilin anak orang, beuh drama banget dah pas itu, gua tuh ampe yang ngumpul ama anak-anak cuman buat bikin sesi tanya jawab apakah ada yang tau wujud asli si Najma ini. Eh sama aja pada gatau… gua ni ampe mikir, Anggar kaya sapi perah pacaran sama si Najma.”

“Kok problematic banget sih?!” Rara menatap Ramzy heran. “Anjing heran. Sumpah gua… gatau lah gua speechless…

“Maka dari itu, tapi mungkin karena hidupnya si Najma ini juga rada menyedihkan jadi ya… Anggar bantuin karena kasian? who knows kan…”

Rara mengangguk kecil. “Jadi gua mesti ngapain?”

“GUA CERITA PANJANG LEBAR DAN LO GABISA AMBIL KESIMPULAN LO HARUS APA?! WAH SAKIT INI MAH. DADA GUA PEDHIIHH BATT, CAPEK ATI GUA PUNYA SEPUPU KAYA LO.”

“Ih…. lo kok gitu sih, gua jadi ngerasa bodoh banget.”

“Lah emang tolol, emang lo bodoh, baru sadar anjir.”

“Yauda. Gua coba buat melunak.”

“Hah? emangnya lu mengeras ngapain? es batu?”

“Ih!” Rara menabok kencang paha sepupunya yang susah untuk serius itu. “Gua tuh kemaren ngomong panjang lebar ke dia kalo gua ganyaman di perlakukan manis dan spesial, karna gua pikir dia masih ngejaga Najma dihatinya, ya gada yang tau lah ya yang pasti diotak gua begitu.”

“Ih tolol.”

Rara terperangah. “Ni serius respon lo gitu doang?”

“Ada kata yang lebih buruk dari itu? kalo ada kapan-kapan gua pake.” Ramzy menatap Rara geram. “Lagian kenapa lo bisa sampe yakin banget Anggar masih ngejaga hati Najma deh?”

Rara merengut. “Dulu tuh, sebelum nikah gua pernah deeptalk gitu sama Anggar, ngomongin nasib kita bedua, gua sebagai pribadi yang pernah ngerasain first love yang sangat bajingan, nanya ke dia, dia percaya gak sama ‘cinta kedua’, terus dia bilang dia gapercaya. Ya otomatis gua mikir dong, kalo dia penganut cinta pertama hingga akhir hayat, gamungkin juga orang seganteng dan semapan dia gapunya mantan— Rara menghela napas.

“Yaudah gua tanyain tuh, dia masih ada rasa sama first love-nya apa nggak. Terus dia jawab masih dan akan selalu begitu, ya lo pikir aja Zy, mantan dia cuman satu, terus sekarang sering ketemu. Kalau kata Raisa mah gua udah dalam tahap apalah arti menunggu.”

“Nggak sih lebih ke… Judika-Bukan Dia tapi Aku.”

Rara langsung menatap Ramzy kesal. “Gatau lah Zy, salah gua curhat ke lo.”

“Hm… gua bingung sih diposisi lu jujur aja, pengen dadah-dadah kekamera. Tapi…yaudah sih trobos aja? ngejablay dikit kek, gausah jaim-jaim, suami lo ini, apa coba yang lo tunggu. Kalo kata Raisa mah lo sama Anggar tuh could it be love. Jhaaaaa.”

“AH UDAH AYOK PULANG, DAH SORE, UDAH AYOK!!” Rara langsung memalingkan wajahnya kearah kaca mobil.

Ramzy tersenyum tipis kala ia melihat pantulan seulas senyum tipis yang mengembang malu-malu pada wajah Rara.

Sudah larut malam.

Anggar tak kunjung melihat batang hidung istrinya. Setelah membereskan pakaian serta menata oleh-oleh kedalam laci pantry, kemudian ia menyusun beberapa kotak pie susu kedalam paperbag untuk ia dan Rara bawa besok sebagai buah tangan kepada teman-temannya.

Maniknya menyusuri setiap sudut rumah, ia naik-turun tangga, membuka setiap ruangan, tapi tak juga ia menemukan Rara. Hingga lelah ia akhirnya makan sendiri dimeja makan, walau hati khawatir karena pasti wanita itu belum makan. Masa sih keluar? kayaknya gak ada yang buka pintu? — Pikir Anggar.

Hingga akhirnya Anggar selesai makan, tak lupa ia menyisakan sepiring cumi goreng tepung yang tadi ia buat. Menulis sebuah pesan pada post it dan menempelkannya di tudung saji. ‘Ini ada cumi goreng tepung, maaf gak sempet buat tumis kangkung kesukaan kamu, jangan lupa makan, kalau sakit saya yang repot.’

Anggar menatap jam dinding yang terpatri pada ruang makan. Pukul 9 malam. Ah udahlah biarin, kalau laper juga dia pasti makan — Pikir Anggar. Lantas ia pun melangkah menaiki tangga, berjalan hingga ia sampai pada pintu kamarnya.

Maniknya menatap pintu kamar yang berwarna coklat tua, pikirannya kembali teringat akan Rara. Sebenarnya daritadi Anggar ingin menyampaikan sesuatu kepada Rara, sesuatu yang menyita waktunya belakangan ini, ia ingin melepaskan batu yang terus mengganjal dalam hatinya.

Baru ia ingin meraih tombol access pintu kamar, rungunya mendengar langkah seseorang menaiki tangga, netranya menoleh kesamping, terlihat Rara dengan langkah gontai muncul diujung tangga.

“Ra… kemana aja?”

Tak ada jawaban.

“Ra udah makan?”

Sama. Tak ada jawaban.

Rara melangkah tak mengacuhkan presensi pria didepannya. Ia melangkah menuju pintu kamarnya yang berada disebrang pintu kamar Anggar.

Anggar menghela napas, lalu membalik tubuhnya. Mereka sama-sama menekan tombol access, sebenarnya mau Anggar pun Rara sama-sama ingin mengatakan sesuatu. Namun, perdebatan batin yang terjadi diantara mereka sungguh sengit, si Jin bilang ‘jangan’ sedangkan si Jun bilang ‘iya’.

NIT! NIT! Pintu keduanya terbuka, namun, sungguh rasanya sudah tak tertahan lagi, keduanya membalik tubuh, menghadap satu sama lain.

“Ra.” “Nggar.”

“Eh?” Keduanya kembali bersuara.

Anggar menatap Rara lekat, netranya menangkap arus air mata yang tercetak jelas dikedua pipi istrinya, lantas ia langsung berjalan mendekat, digenggamnya tangan Rara. “Ra, kamu nangis? kenapa? siapa yang bikin nangis? ngomong sama aku, atau kamu butuh tempat cerita? aku bisa Ra.”

Manik Anggar meniti setiap titik wajah Rara yang sembab dan sedikit memerah. Namun, Rara langsung melepas genggaman Anggar, dan tersenyum tipis. “Saya gapapa Nggar, tadi abis nonton miracle in cell number 7, itu sedih banget soalnya sampe nangis gini, kamu gak perlu sekhawatir itu…”

Anggar mendengus sebal. “Haduh kirain kenapa, bikin panik aja… pantes dicariin gak ketemu, kamu di theater ya ternyata.”

“Iya, tadi lagi badmood aja soalnya tadi Aras cerita ada problem di studio, makanya kesel banget sampe pengen sekalian nangis.” Wajah Rara berubah heran. “Nyariin saya ngapain? kalau buat beresin baju, saya emang rencananya mau besok, capek soalnya, terus kalau soal oleh-oleh say—“

“Soal kamu belom makan dari sore Rara. Kamu bisa sakit.” Sela Anggar, sengaja memotong perkataan Rara.

Nggar tolong, kalau masih ada hati yang kamu jaga gausah kaya gini, saya bingung harus gimana…

“Oh ya… tadi Anggar mau ngomong apa?”

Anggar menatap Rara datar. “Kamu dulu, gapapa. Tadi kamu juga pengen ngomong kan?”

“Beneran?” Ucap Rara, yang langsung mendapat anggukan setuju dari Anggar.

“Nggar… boleh nggak…— Rara sedikit menggigit kecil bagian dalam ranumnya, mencoba untuk tak terlihat gugup. “Boleh nggak kamu gak kaya gini?”

Anggar mengerutkan dahinya heran. “Gini? gimana?”

Rara tersenyum tipis. “Jangan terlalu musingin atau meduliin hidup saya ya? saya bisa sendiri, kita jalanin aja se-normalnya kehidupan masing-masing… kamu sama duniamu pun saya sama dunia saya, gaperlu terlalu berlebihan bereaksi soal suatu hal… saya tau, saya ini kewajiban kamu, tapi tolong jangan berlebihan sama semua hal. Saya bisa lindungin diri saya sendiri, saya bisa makan sendiri gausah kamu siapin kaya dibawah itu… saya suka nyiapin kamu sarapan karena itu kewajiban saya… kamu cukup jalanin kewajiban kamu sebagai suami yang baik, selayaknya orang yang dijodohin kaya gimana harusnya. Maaf kalau penuturan saya ada yang buat kamu tersinggung, serius saya gak maksud buat gimana-gimana… tapi saya serius soal kamu gausah berlebihan. Terlebih perlakuan kamu di Bali kemaren… buat saya ganyaman Nggar. Maaf ya.”

Pupus sudah seluruh kata yang terangkai didalam pikiran Anggar, entah kalimat apa yang cocok untuk menjawab penuturan istrinya barusan.

Anggar pun menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis. “Iya Ra, gapapa kok, selama ini juga saya cuman gamau kamu kenapa-kenapa, saya gamau orang-orang mikir saya gabisa jagain istri sendiri terlebih kejadian kamu masuk RS buat saya takut bakalan ada orang-orang kaya gitu lagi disekitar kamu. Maaf ya kalau saya terlalu berlebihan bersikap, dan malah bikin kamu ganyaman… saya serius cuman reflek kok.”

Tuhkan cuman reflek…

Rara tersenyum tipis. “Makasih ya Nggar, udah ngertiin saya. Saya masuk dulu ya, saya belum mandi soalnya…” Anggar langsung mengangguk pelan.

Keduanya masuk kedalam kamar, seketika pintu kamar tertutup bersamaan. Terlihat kedua insan itu menyenderkan tubuhnya pada pintu.

Rara menatap kosong kamarnya, ia hanya tidak ingin terus-menerus merasa spesial, terlebih seseorang bernama Najma masih sering bertemu serta mengontak Anggar. Jujur Rara tidak menyangka ia bisa mengatakan kalimat sepanjang itu tanpa sedikitpun getar pada bibirnya.

Pun Anggar, senyum tipis yang tadi terpatri pada wajahnya lenyap dalam sepersekian detik, wajahnya tampak frustasi, ia memejamkan matanya sejenak, menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan. Lantas ia melangkah menuju kasur, merebahkan dirinya disana.

Setelah merasa tenang, Rara masuk kedalam kamar mandi dikamarnya, meyalakan kran dan mengisi bathtub hingga penuh dengan air hangat. Ia menuangkan stress relief shower gel kedalam bathtub, lalu melepaskan helai demi helai pakaian yang melakat pada tubuhnya, tak lupa dengan hati-hati ia melepas arm sling yang menopang tangannya.

Rara mematikan kran, lalu ia masuk kedalam air hangat yang sudah penuh dengan busa, merendam tubuhnya, kembali dengan hati-hati ia menaruh tangan yang terbalut gips pada bibir bathub.

Pikirannya melayang mencari momen-momen lucu dengan para sahabat, berusaha mengusir segala penat serta segala pemikiran buruk yang ada dalam benaknya.

Pun Anggar yang masih sibuk menatap langit-langit tanpa suara. Keduanya pun memejamkan mata, menikmati perih serta pedih akan kalbu yang redup, ntah sampai kapan mereka harus menahan, mereka pun tidak tau.

Sudah larut malam.

Anggar tak kunjung melihat batang hidung istrinya. Setelah membereskan pakaian serta menata oleh-oleh kedalam laci pantry, kemudian ia menyusun beberapa kotak pie susu kedalam paperbag untuk ia dan Rara bawa besok sebagai buah tangan kepada teman-temannya.

Maniknya menyusuri setiap sudut rumah, ia naik-turun tangga, membuka setiap ruangan, tapi tak juga ia menemukan Rara. Hingga lelah ia akhirnya makan sendiri dimeja makan, walau hati khawatir karena pasti wanita itu belum makan. Masa sih keluar? kayaknya gak ada yang buka pintu? — Pikir Anggar.

Hingga akhirnya Anggar selesai makan, tak lupa ia menyisakan sepiring cumi goreng tepung yang tadi ia buat. Menulis sebuah pesan pada post it dan menempelkannya di tudung saji. ‘Ini ada cumi goreng tepung, maaf gak sempet buat tumis kangkung kesukaan kamu, jangan lupa makan, kalau sakit saya yang repot.’

Anggar menatap jam dinding yang terpatri pada ruang makan. Pukul 9 malam. Ah udahlah biarin, kalau laper juga dia pasti makan — Pikir Anggar. Lantas ia pun melangkah menaiki tangga, berjalan hingga ia sampai pada pintu kamarnya.

Maniknya menatap pintu kamar yang berwarna coklat tua, pikirannya kembali teringat akan Rara. Sebenarnya daritadi Anggar ingin menyampaikan sesuatu kepada Rara, sesuatu yang menyita waktunya belakangan ini, ia ingin melepaskan batu yang terus mengganjal dalam hatinya.

Baru ia ingin meraih tombol access pintu kamar, rungunya mendengar langkah seseorang menaiki tangga, netranya menoleh kesamping, terlihat Rara dengan langkah gontai muncul diujung tangga.

“Ra… kemana aja?”

Tak ada jawaban.

“Ra udah makan?”

Sama. Tak ada jawaban.

Rara melangkah tak mengacuhkan presensi pria didepannya. Ia melangkah menuju pintu kamarnya yang berada disebrang pintu kamar Anggar.

Anggar menghela napas, lalu membalik tubuhnya. Mereka sama-sama menekan tombol access, sebenarnya mau Anggar pun Rara sama-sama ingin mengatakan sesuatu. Namun, perdebatan batin yang terjadi diantara mereka sungguh sengit, si Jin bilang ‘jangan’ sedangkan si Jun bilang ‘iya’.

NIT! NIT! Pintu keduanya terbuka, namun, sungguh rasanya sudah tak tertahan lagi, keduanya membalik tubuh, menghadap satu sama lain.

“Ra.” “Nggar.”

“Eh?” Keduanya kembali bersuara.

Anggar menatap Rara lekat, netranya menangkap arus air mata yang tercetak jelas dikedua pipi istrinya, lantas ia langsung berjalan mendekat, digenggamnya tangan Rara. “Ra, kamu nangis? kenapa? siapa yang bikin nangis? ngomong sama aku, atau kamu butuh tempat cerita? aku bisa Ra.”

Manik Anggar meniti setiap titik wajah Rara yang sembab dan sedikit memerah. Namun, Rara langsung melepas genggaman Anggar, dan tersenyum tipis. “Saya gapapa Nggar, tadi abis nonton miracle in cell number 7, itu sedih banget soalnya sampe nangis gini, kamu gak perlu sekhawatir itu…”

Anggar mendengus sebal. “Haduh kirain kenapa, bikin panik aja… pantes dicariin gak ketemu, kamu di theater ya ternyata.”

“Iya, tadi lagi badmood aja soalnya tadi Aras cerita ada problem di studio, makanya kesel banget sampe pengen sekalian nangis.” Wajah Rara berubah heran. “Nyariin saya ngapain? kalau buat beresin baju, saya emang rencananya mau besok, capek soalnya, terus kalau soal oleh-oleh say—“

“Soal kamu belom makan dari sore Rara. Kamu bisa sakit.” Sela Anggar, sengaja memotong perkataan Rara.

Nggar tolong, kalau masih ada hati yang kamu jaga gausah kaya gini, saya bingung harus gimana…

“Oh ya… tadi Anggar mau ngomong apa?”

Anggar menatap Rara datar. “Kamu dulu, gapapa. Tadi kamu juga pengen ngomong kan?”

“Beneran?” Ucap Rara, yang langsung mendapat anggukan setuju dari Anggar.

“Nggar… boleh nggak…— Rara sedikit menggigit kecil bagian dalam ranumnya, mencoba untuk tak terlihat gugup. “Boleh nggak kamu gak kaya gini?”

Anggar mengerutkan dahinya heran. “Gini? gimana?” <!—more—!>

Rara tersenyum tipis. “Jangan terlalu musingin atau meduliin hidup saya ya? saya bisa sendiri, kita jalanin aja se-normalnya kehidupan masing-masing… kamu sama duniamu pun saya sama dunia saya, gaperlu terlalu berlebihan bereaksi soal suatu hal… saya tau, saya ini kewajiban kamu, tapi tolong jangan berlebihan sama semua hal. Saya bisa lindungin diri saya sendiri, saya bisa makan sendiri gausah kamu siapin kaya dibawah itu… saya suka nyiapin kamu sarapan karena itu kewajiban saya… kamu cukup jalanin kewajiban kamu sebagai suami yang baik, selayaknya orang yang dijodohin kaya gimana harusnya. Maaf kalau penuturan saya ada yang buat kamu tersinggung, serius saya gak maksud buat gimana-gimana… tapi saya serius soal kamu gausah berlebihan.”

Pupus sudah seluruh kata yang terangkai didalam pikiran Anggar, entah kalimat apa yang cocok untuk menjawab penuturan istrinya barusan.

Anggar pun menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis. “Iya Ra, gapapa kok, selama ini juga saya cuman gamau kamu kenapa-kenapa, saya gamau orang-orang mikir saya gabisa jagain istri sendiri terlebih kejadian kamu masuk RS buat saya takut bakalan ada orang-orang kaya gitu lagi disekitar kamu. Maaf ya kalau saya terlalu berlebihan bersikap, dan malah bikin kamu ganyaman… saya serius cuman reflek kok.”

Tuhkan cuman reflek…

Rara tersenyum tipis. “Makasih ya Nggar, udah ngertiin saya. Saya masuk dulu ya, saya belum mandi soalnya…” Anggar langsung mengangguk pelan.

Keduanya masuk kedalam kamar, seketika pintu kamar tertutup bersamaan. Terlihat kedua insan itu menyenderkan tubuhnya pada pintu.

Rara menatap kosong kamarnya, ia hanya tidak ingin terus-menerus merasa spesial, terlebih seseorang bernama Najma masih sering bertemu serta mengontak Anggar. Jujur Rara tidak menyangka ia bisa mengatakan kalimat sepanjang itu tanpa sedikitpun getar pada bibirnya.

Pun Anggar, senyum tipis yang tadi terpatri pada wajahnya lenyap dalam sepersekian detik, wajahnya tampak frustasi, ia memejamkan matanya sejenak, menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan. Lantas ia melangkah menuju kasur, merebahkan dirinya disana.

Setelah merasa tenang, Rara masuk kedalam kamar mandi dikamarnya, meyalakan kran dan mengisi bathtub hingga penuh dengan air hangat. Ia menuangkan stress relief shower gel kedalam bathtub, lalu melepaskan helai demi helai pakaian yang melakat pada tubuhnya, tak lupa dengan hati-hati ia melepas arm sling yang menopang tangannya.

Rara mematikan kran, lalu ia masuk kedalam air hangat yang sudah penuh dengan busa, merendam tubuhnya, kembali dengan hati-hati ia menaruh tangan yang terbalut gips pada bibir bathub.

Pikirannya melayang mencari momen-momen lucu dengan para sahabat, berusaha mengusir segala penat serta segala pemikiran buruk yang ada dalam benaknya.

Pun Anggar yang masih sibuk menatap langit-langit tanpa suara. Keduanya pun memejamkan mata, menikmati perih serta pedih akan kalbu yang redup, ntah sampai kapan mereka harus menahan, mereka pun tidak tau.

Sudah larut malam.

Anggar tak kunjung melihat batang hidung istrinya. Setelah membereskan pakaian serta menata oleh-oleh kedalam laci pantry, kemudian ia menyusun beberapa kotak pie susu kedalam paperbag untuk ia dan Rara bawa besok sebagai buah tangan kepada teman-temannya.

Maniknya menyusuri setiap sudut rumah, ia naik-turun tangga, membuka setiap ruangan, tapi tak juga ia menemukan Rara. Hingga lelah ia akhirnya makan sendiri dimeja makan, walau hati khawatir karena pasti wanita itu belum makan. Masa sih keluar? kayaknya gak ada yang buka pintu? — Pikir Anggar.

Hingga akhirnya Anggar selesai makan, tak lupa ia menyisakan sepiring cumi goreng tepung yang tadi ia buat. Menulis sebuah pesan pada post it dan menempelkannya di tudung saji. ‘Ini ada cumi goreng tepung, maaf gak sempet buat tumis kangkung kesukaan kamu, jangan lupa makan, kalau sakit saya yang repot.’

Anggar menatap jam dinding yang terpatri pada ruang makan. Pukul 9 malam. Ah udahlah biarin, kalau laper juga dia pasti makan — Pikir Anggar. Lantas ia pun melangkah menaiki tangga, berjalan hingga ia sampai pada pintu kamarnya.

Maniknya menatap pintu kamar yang berwarna coklat tua, pikirannya kembali teringat akan Rara. Sebenarnya daritadi Anggar ingin menyampaikan sesuatu kepada Rara, sesuatu yang menyita waktunya belakangan ini, ia ingin melepaskan batu yang terus mengganjal dalam hatinya.

Baru ia ingin meraih tombol access pintu kamar, rungunya mendengar langkah seseorang menaiki tangga, netranya menoleh kesamping, terlihat Rara dengan langkah gontai muncul diujung tangga.

“Ra… kemana aja?”

Tak ada jawaban.

“Ra udah makan?”

Sama. Tak ada jawaban.

Rara melangkah tak mengacuhkan presensi pria didepannya. Ia melangkah menuju pintu kamarnya yang berada disebrang pintu kamar Anggar.

Anggar menghela napas, lalu membalik tubuhnya. Mereka sama-sama menekan tombol access, sebenarnya mau Anggar pun Rara sama-sama ingin mengatakan sesuatu. Namun, perdebatan batin yang terjadi diantara mereka sungguh sengit, si Jin bilang ‘jangan’ sedangkan si Jun bilang ‘iya’.

NIT! NIT! Pintu keduanya terbuka, namun, sungguh rasanya sudah tak tertahan lagi, keduanya membalik tubuh, menghadap satu sama lain.

“Ra.” “Nggar.”

“Eh?” Keduanya kembali bersuara.

Anggar menatap Rara lekat, netranya menangkap arus air mata yang tercetak jelas dikedua pipi istrinya, lantas ia langsung berjalan mendekat, digenggamnya tangan Rara. “Ra, kamu nangis? kenapa? siapa yang bikin nangis? ngomong sama aku, atau kamu butuh tempat cerita? aku bisa Ra.”

Manik Anggar meniti setiap titik wajah Rara yang sembab dan sedikit memerah. Namun, Rara langsung melepas genggaman Anggar, dan tersenyum tipis. “Saya gapapa Nggar, tadi abis nonton miracle in cell number 7, itu sedih banget soalnya sampe nangis gini, kamu gak perlu sekhawatir itu…”

Anggar mendengus sebal. “Haduh kirain kenapa, bikin panik aja… pantes dicariin gak ketemu, kamu di theater ya ternyata.”

“Iya, tadi lagi badmood aja soalnya tadi Aras cerita ada problem di studio, makanya kesel banget sampe pengen sekalian nangis.” Wajah Rara berubah heran. “Nyariin saya ngapain? kalau buat beresin baju, saya emang rencananya mau besok, capek soalnya, terus kalau soal oleh-oleh say—“

“Soal kamu belom makan dari sore Rara. Kamu bisa sakit.” Sela Anggar, sengaja memotong perkataan Rara.

Nggar tolong, kalau masih ada hati yang kamu jaga gausah kaya gini, saya bingung harus gimana…

“Oh ya… tadi Anggar mau ngomong apa?”

Anggar menatap Rara datar. “Kamu dulu, gapapa. Tadi kamu juga pengen ngomong kan?”

“Beneran?” Ucap Rara, yang langsung mendapat anggukan setuju dari Anggar.

“Nggar… boleh nggak…— Rara sedikit menggigit kecil bagian dalam ranumnya, mencoba untuk tak terlihat gugup. “Boleh nggak kamu gak kaya gini?”

Anggar mengerutkan dahinya heran. “Gini? gimana?” <!—more—!>

Rara tersenyum tipis. “Jangan terlalu musingin atau meduliin hidup saya ya? saya bisa sendiri, kita jalanin aja se-normalnya kehidupan masing-masing… kamu sama duniamu pun saya sama dunia saya, gaperlu terlalu berlebihan bereaksi soal suatu hal… saya tau, saya ini kewajiban kamu, tapi tolong jangan berlebihan sama semua hal. Saya bisa lindungin diri saya sendiri, saya bisa makan sendiri gausah kamu siapin kaya dibawah itu… saya suka nyiapin kamu sarapan karena itu kewajiban saya… kamu cukup jalanin kewajiban kamu sebagai suami yang baik, selayaknya orang yang dijodohin kaya gimana harusnya. Maaf kalau penuturan saya ada yang buat kamu tersinggung, serius saya gak maksud buat gimana-gimana… tapi saya serius soal kamu gausah berlebihan.”

Pupus sudah seluruh kata yang terangkai didalam pikiran Anggar, entah kalimat apa yang cocok untuk menjawab penuturan istrinya barusan.

Anggar pun menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis. “Iya Ra, gapapa kok, selama ini juga saya cuman gamau kamu kenapa-kenapa, saya gamau orang-orang mikir saya gabisa jagain istri sendiri terlebih kejadian kamu masuk RS buat saya takut bakalan ada orang-orang kaya gitu lagi disekitar kamu. Maaf ya kalau saya terlalu berlebihan bersikap, dan malah bikin kamu ganyaman… saya serius cuman reflek kok.”

Tuhkan cuman reflek…

Rara tersenyum tipis. “Makasih ya Nggar, udah ngertiin saya. Saya masuk dulu ya, saya belum mandi soalnya…” Anggar langsung mengangguk pelan.

Keduanya masuk kedalam kamar, seketika pintu kamar tertutup bersamaan. Terlihat kedua insan itu menyenderkan tubuhnya pada pintu.

Rara menatap kosong kamarnya, ia hanya tidak ingin terus-menerus merasa spesial, terlebih seseorang bernama Najma masih sering bertemu serta mengontak Anggar. Jujur Rara tidak menyangka ia bisa mengatakan kalimat sepanjang itu tanpa sedikitpun getar pada bibirnya.

Pun Anggar, senyum tipis yang tadi terpatri pada wajahnya lenyap dalam sepersekian detik, wajahnya tampak frustasi, ia memejamkan matanya sejenak, menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan. Lantas ia melangkah menuju kasur, merebahkan dirinya disana.

Setelah merasa tenang, Rara masuk kedalam kamar mandi dikamarnya, meyalakan kran dan mengisi bathtub hingga penuh dengan air hangat. Ia menuangkan stress relief shower gel kedalam bathtub, lalu melepaskan helai demi helai pakaian yang melakat pada tubuhnya, tak lupa dengan hati-hati ia melepas arm sling yang menopang tangannya.

Rara mematikan kran, lalu ia masuk kedalam air hangat yang sudah penuh dengan busa, merendam tubuhnya, kembali dengan hati-hati ia menaruh tangan yang terbalut gips pada bibir bathub.

Pikirannya melayang mencari momen-momen lucu dengan para sahabat, berusaha mengusir segala penat serta segala pemikiran buruk yang ada dalam benaknya.

Pun Anggar yang masih sibuk menatap langit-langit tanpa suara. Keduanya pun memejamkan mata, menikmati perih serta pedih akan kalbu yang redup, ntah sampai kapan mereka harus menahan, mereka pun tidak tau.