@mintsugarkyopta

Selamat membaca sayang!

Kalau saja Rara sedikit kepo akan isi buku catatan itu saat Anggar menyuruhnya mengoreksi makalah teman-temannya di Cafe, mungkin sedari awal ia sudah tau sisi Anggar yang ini.

Sisi yang rapuh, lucu, dan menyebalkan.

Rara sampai terpingkal-pingkal saat ia membaca sambatan-sambatan khas anak SMP, kemudian masalah-masalah anak SMA, dll. Benar-benar remaja puber.

Tak hanya tertawa, Rara ikut sedih dan menangis, ia terisak kecil kala membaca paragraf tentang Mami dan Papi, bahkan Rara sudah tak sanggup menghitung seberapa banyak kata maaf yang Anggar tulis di buku itu.

Anggar juga bercerita perihal dirinya yang ditembak oleh 3 anak perempuan sekaligus waktu SMA, benar-benar pria idaman sejak dulu. Penggemarnya banyak.

Semua cerita perjalanan hidup Anggar tertera dengan gamblang disana. Dari kuliah di Singapura, lalu kabur dari rumah karena Mami mau jodohin dia dengan anak tetangga, hingga ia apply essay ke beberapa Univ.

Ternyata.

Pria itu diterima di banyak universitas. Dari MIT, Harvard, NUS, Lancaster Univ, LSE, hingga Oxford. Rara sampai bingung mengapa pria ini malah memilih Universitas di kota kecil?

Rara kembali membaca rentetan paragraf demi paragraf.

Lancaster tuh bener-bener kota healing banget, that's why gua pilih kesini, dibanding ke kota-kota besar. Quiet shock juga sih ternyata gua nyaman dengan cepet, apalagi nemunin orang-orang yang senasib sepenanggungan. Btw, I want to bring my loved one deh kapan-kapan kesini.

Rara langsung terenyuh saat membacanya, ia tak menyangka Pria yang dulu pernah mengusirnya dari ruang musik adalah Anggar, suaminya. Wajar saja Rara tidak ngeh, dulu pria itu mengenakan topi dan masker. Dasar sok low profile!

Rara pun terkekeh pelan. “Tuh kan kamu lebih saltingan dari pada saya!” Ucap Rara sendirian. Pede betul wanita ini.

Rara kembali membalik lembaran itu, banyak cerita yang Rara baru tau, soal siapa Maudy, apa yang terjadi, dan soal surat perpisahan Maudy, semuanya ada disana.

“Berat pasti jadi Maudy, pantes Anggar lebih milih dia, mereka punya janji bareng ternyata...” Seketika Rara memelas, baru saja tadi ia senang karena Anggar sudah suka dengannya sejak SMP, tapi mungkin itu hanyalah sebuah cinta monyet biasa.

lembar demi lembar Rara baca, disana juga Anggar menceritakan soal Najma. Semuanya tampak jelas untuk Rara, hingga diakhir kalimat Anggar bilang ia tidak punya perasaan sama sekali kepada Najma, hanya pemenuh ekspektasi.

“Ihh!! jahat banget sih.” Merengut Rara dibuatnya. “Eh tapi Najma juga main belakang sih.”

Sungguh kontradiktif.

Tawa, tangis, senyum, isak, dan berbagai ekspresi lainnya terus bermunculan pada wajah Rara hingga ia sampai pada lembar dengan namanya sebagai judul paling atas.

Untuk Rara, my reason for living.

This is not so me, but, can I confess something? I know you're not gonna listen to me when we face each other, but I think you will read all these paragraphs that I hardly write. I'm trying my best to understand from your point of view. So here, my feelings when I lived with you for almost 10 months.

Seketika Rara gugup bukan main, ia menahan napasnya sejenak, memejamkan maniknya erat. “Bisa Ra, bisa.” kemudian ia membuka maniknya dan mulai membaca paragraf pertama.

Hai. Satu kata yang mungkin gak patut saya ucapin sama sekali. Kamu marah? Pasti. Dan saya gak mau nyoba buat ngelak soal berkas itu, ini bukan klarifikasi apalagi pengaisan validasi supaya kamu mau maafin saya. Saya tau kamu pasti sakit hati banget pas find out semuanya, saya gak pernah berencana buat ngerahasiain ini sejak awal, saya merasa buruk banget waktu baca surat yang kamu tinggalin di bandara. Ra, seriusan, saya ngerasa hancur saat itu juga.

I was born and raised up as an only child. No brother, no sister, just me, but, I'm not spoiled. Saya ngerjain segalanya sendiri since saya anak tunggal, jadi mandiri sejak saya kecil, ngerasa superior since gak ada yang bantu saya buat berkembang di tengah sibuknya Mami sama Papi, dan saya gak biasa sharing apapun karena memang saya gak punya tempat sharing dari kecil. Karena itu, i've never shared any of my thoughts with anyone. Dan nikah sama kamu, bikin saya tau apa artinya berbagi.

After you, saya jadi paham kenapa orang-orang nyuruh saya buat segera nikah, gak cuman Papi dan Mami, tapi semua keluarga saya, semua orang dewasa yang ada disekitar saya, bahkan saya sempet ngilang beberapa waktu, pas saya gagal nikah sama Najma, saya jadi gak percaya cinta, sama kaya kamu. Betrayal never been fun, even with someone i’m not truly love, bukan saya bermaksud jahat ke Najma, tapi sedikit bersyukur saya gak jadi sama dia, karena ternyata setelah saya nikah sama kamu, saya jadi tau rasanya cinta beneran sama cinta karena di desak orang untuk menikah.

And also, nikah sama kamu gak segalanya tentang cinta atau mempunyai keturunan, tapi punya someone to talk to atas segala ekspektasi dunia yang gak ada habisnya, pertama ngobrol serius sama kamu pas di rooftop, saya langsung kagum sama kamu, sama semua bentuk buah pikir kamu, sampai saya berpikir, you are the only reason kenapa saya terus skeptis ke perempuan lain, ternyata hati saya emang udah dipegang sama satu nama dari saya SMP.

Saya selalu pengen bilang sama kamu jangan melulu do much effort buat orang lain disaat kamu masih struggle sama diri kamu sendiri, saya pengen kamu menyayangi diri kamu sebesar usaha kamu menyebar tawa dan kebahagiaan buat orang lain, you worth than that Ra, your happiness is mine too, jadi kalau kamu merasa worthless, jujur, saya ikut hancur.

Andai kamu tau, you are the only person that I want to talk about my daily life, my bad days, my achievements, my dreams, dan banyak lagi. Saya sering bayangin hari-hari tua bareng kamu. That's sweet, at least for me.

Sesuai apa yang kamu baca di diary saya awal-awal, iya Ra, keluarga saya gak seharmonis sekarang, wajar, emang gak ada yang sempurna di dunia ini, pasangan yang terlihat baik-baik aja di luar, selalu punya masa lalu yang gak enak, itu lah Mami sama Papi.

Mami yang kamu liat sekarang, bukan Mami yang saya rasain beberapa tahun kemarin. Mami wanita karir Ra, sukses dan pintar di bidangnya, tapi punya saya mungkin jadi salah satu penghambatnya buat maju, iya Mami pensiun dini, waktu saya SMP, tahun terakhir, tahun saya UN, saya sempet hilang arah waktu itu.

Dari saya kecil, sampai sebelum Mami pensiun, saya bener-bener ngelakuin segala urusan sendiri, cuman ada mbok sri yang ngurusin saya dari kecil, atau keluarga Afan yang selalu ngehibur saya, It was miserable back then, Mami pensiun dan Mami depresi karena keluar dari dunianya, itu gak seindah apa yang kamu liat sekarang.

Nggak, saya gak nyalahin Mami atas karakter yang nempel sama saya sampai sekarang, tapi begini adanya. Mami dulu suka marah-marah without any reason ke saya, dan ngebuat saya gak mau bercerita banyak soal hidup saya ke orang-orang banyak. Iya, bad, it was. I'm basicly bad for communication, dan saya sadar itu jelek.

HIKS. Rara mengusap bulir-bulir yang sudah menutupi pelupuk matanya, tak kuat mendengar curahan hati Anggar sewaktu kecil, rasanya Rara ingin memeluknya erat.

Ra, saya tulus bantu kamu waktu itu, saya ngerasa sakit banget waktu rasyad dateng ke hidup kamu lagi, saya nyaris hilang arah lagi saat saya sadar, saya lah yang bikin dia nemuin kamu, sampai-sampai trauma kamu akan abusive relationship keulang lagi, dan saya makin ngerasa buruk waktu sadar, saya lah yang bikin kamu ngerasain itu lagi. Saya minta maaf.

Tau Ra? Bali, Nusa Penida, bukan ide Mami, tapi itu saya. Saya selalu pengen liat senyum kamu lagi, senyum yang ngembang setiap pagi kalau kita sarapan bareng. Dan saya ngerasa kamu bisa terbuka sama saya disana, sepulangnya saya pengen nyampein kalau saya udah suka sama kamu dari SMP, kamunya malah gitu, kaya ngerasa risih, kembali lah seperti biasa.

Before you, Mami udah sering jodohin saya sama yang ini sama yang itu, saya sampe capek ngadepinnya, dia pikir saya gak punya perasaan saking gapernah mention soal perempuan. Hingga akhirnya saya ketemu Najma, she was my schoolmate in high school ketemu pas pernikahan teman saya, I was desperated pas Mami bilang mau jodohin saya, karena saya gak suka diatur, saya minta tolong Najma buat jadi calon saya, didepan Mami.

Tapi lama-lama saya ngerasa dari pada pura-pura terus mending sekalian aja saya seriusin, saya gak sadar kalau saya gak cinta, tapi ternyata sesuatu yang dipaksakan itu gak pernah baik, akhirnya apa yang dilakuin dia dibelakang saya kebongkar, dia main sama banyak cowok dibelakang saya, yaudah dibatalin gitu aja. Saya punya alasan kenapa saya gak ceritain masalah itu sejak awal sama kamu.

Rara kembali menarik napas, ia sampai termenung beberap saat kala ia ingin melanjutkan catatan Anggar.

Najma adalah sesuatu yang gak ingin saya ingat, gak cuman dari sisi dia nya aja, tapi dari sisi saya juga, saya benci diri saya di masa itu, saya terlalu meremehkan segalanya, menganggap enteng sebuah hubungan hingga hubungan itu bener-bener hancur. Saya gak sempurna Ra, saya bukan malaikat atau titisan surga yang selalu baik dan benar. Saya Anggar, manusia biasa, yang selalu dianggap mampu melakukan segalanya. Capek Ra.

Dari Najma terus ke Maudy, they have never been my first love, tolong jangan paham. Cause it's you. You are the one, that I will never trade for anything in this world.

Rara terdiam untuk beberapa detik. A tint of warm peach coating her cheeks.

Tes. Air mata Rara lolos begitu saja dari pelupuk matanya, ia sampai tak bisa berkata-kata. Dari cerita Anggar diawal sewaktu ia kuliah di Inggris, Rara jadi paham.

The one who fell in love is not him, it's her, Maudy.

Maudy, nama lengkapnya Maudy Hara Yamamoto, saya akuin saya brengsek, mungkin saya ngasih harapan berlebih ke dia, ini memang salah saya, saya merasa buruk banget kala itu, tapi semua itu terjadi karena dia mirip kamu Ra, she likes a lot of similar things with you, punya alergi kacang juga, rambutnya selalu pendek juga, hidungnya mancung juga. Saya pikir sesuatu yang mirip bisa bikin hati saya sama juga, tapi ternyata perasaan ga bisa di duplikasi. I was wrong.

It takes time for me, buat make sure hati saya bahwa saya itu beneran ada rasa sama Maudy apa nggak, karena saya sendiri gak tau jati diri saya gimana, perasaan saya gimana, saya rasanya hilang arah waktu itu, merasa hidup saya sedari awal cuman privilege orang kaya yang yaudah gak usah usaha gede-gede banget juga saya bakal dapet semua yang saya mau, tapi in the end of the story, saya tetep gak merasa bahagia.

Rara menangis sesegukan akan Anggar yang berusaha untuk bahagia ditengah dirinya yang bahkan tidak dapat menemukan jati dirinya.

Sampai pada akhirnya kemarin waktu saya mau susul kamu ke Bandung, saya ketemu sama dia, keadaannya memprihatinkan, kurus banget, she got leukemia. Dia keliatan happy banget waktu ketemu saya di bandara, terus dia minta contact saya, yaudah pas saya ke Lombok lagi dia minta saya buat nemenin dia, dia gak mau berobat di Jakarta, katanya dia mau disaat dia pergi, dia ada di kota kelahirannya. Saya minta maaf ya gak ngasih tau kamu. Ya, I know my communication is really bad. Sometimes, it's hard for me to show my feelings, I just can't describe it properly. Sorry, my bad.

Maaf kalau saya complicated, and hard to love, saya gak bermaksud kaya gitu, saya pengen kamu mencintai saya dengan mudah, leluasa, dan bebas. Bukan maksud menjawab pernyataan cinta kamu cuman sekedar “Makasih” waktu di Paris itu. Nggak Ra, itu gak cuman sekedar rasa terima kasih doang, i really mean it Ra. Bagi saya ngucapin cinta itu suatu hal yang crucial, gak semudah itu.

Saya liat banyak banget orang yang ngucapin cinta padahal hatinya gak ada rasa, saya gakmau kaya gitu. saya gak mau memperlakukan kamu sama kaya Maudy, saya pernah bilang cinta ke dia, karena kasian. Jahat? tapi apa saya punya pilihan?

Maaf ya kalau kita terlalu bentrok. Saya suka nunjukin semuanya pake tindakan, saya suka ngelus kamu, saya suka nyium kamu, saya suka ngeliatin kamu, saya suka nyiapin kamu sarapan, saya suka liat kamu bangun tidur (walaupun jarang banget kita sekamar.), saya suka semua hal yang kamu lakukan, dan saya suka repot buat kamu.

You are the most beautiful creature I ever beheld, beneran.

Rara langsung mengubur dirinya dalam bantal, benar-benar Anggar ini!

Our trip was a magical even though it ended up very bad, I’m so sorry u found those files that I forgot to delete, it was my mistake. Please forgive me.

Our Marriage was never a business thing, it's purely about love, trust me, cause I trust you. Berkas-berkas itu ada atas usul Mama kamu Ra, awalnya dia gak mau melepas kamu karena gak mau kamu nikah sama orang yang gak kamu suka. Tapi, akhirnya Mama kamu buat keputusan kalau saya sampai nyakitin kamu dan ninggalin kamu, saya dan keluarga saya harus bersedia memberikan saham terbesar yang perusahaan saya punya. Itu cara Mama kamu menyanyangi kamu, Ra.

Mama kamu gak pernah tega buat jodohin kamu sama siapapun, saya denger ceritanya dari mba Widya, kalau kamu marah-marah sama Mama kamu di meja makan, saya merasa bersalah kala itu. Maaf ya. Dan Mama kamu sengaja gunain sakitnya buat meyakinkan kamu atas pernikahan itu, she was hopeless.

Okay, kembali ke topik utama dokter Darwin. In this not so kind world, masih banyak orang yang punya dendam gak berujung Ra. Itu yang dialamin sama keluarga kamu. Ingat malpraktek yang dilakukan dokter Darwin ke Mama kamu? selepas itu Mama kamu selalu dapet ancaman pembunuhan, semacam surat kaleng gitu. Tepatnya setelah dokter Darwin mutusin buat loncat karena gak sanggup dapet gunjingan dari banyak orang.

The media really sucks, sengaja nulis yang parah di headline dan nyeret-nyeret keluarga dokter Darwin dan akhirnya di bully masa, rumah mereka sampai di jadiin tempat sampah, dunia berita memang se-kotor itu. Turns out mereka kayaknya punya dendam gak berujung ke keluarga kamu.

Semuanya runyam, sampai saya tau kalau anak dari Papa kamu itu kamu, Rara. Maaf ya, saya ngajuin diri buat nolong keluarga kamu biar gak ada yang berani sama kalian, beside masalah itu, saya emang suka sama kamu, makanya itu bukan bisnis. Awal saya tau segalanya juga karena Papa kamu cerita ke Papi saya, mereka rekan dalam bidang property, konstruksi dan perusahaan kayu itu bersangkutan, yakan?

Reflek Rara mengangguk kecil, sembari mengusap air matanya.

Setelah, nikahin kamu, surat-surat itu lenyap, seakan-akan gak ada yang berani nyentuh kamu dan keluarga kamu. Saya turut lega dengernya.

I tried my best to give you my best shot, tapi ya itu, mungkin kita emang beda, apa yang menurut saya baik, mungkin nggak buat kamu, mungkin kita emang gak sejalan, ga sehati sama kamu, gak serumah? padahal saya mau nya serumah sama kamu. Ra, tau ga? mata kamu, those eyes will always be my home even though you leave me. Serius, saya gak gimmick.

I hoped we can be an eternal partner Ra, karena awalnya saya yakin nothing last forever tapi liat apa yang terjadi sama kita belakangan ini, we doesn’t work ya Ra? I ruined everything, sorry that I hurt you so much. Saya cuman gak pengen kamu tau dan nambahin beban kamu, karna kamu udah cukup struggle sama hidup kamu.

Soal Orient8, saya yakin kamu marah. Mungkin, sekarang yang ada dibenak kamu, nikah sama saya itu a climate disaster yang merusak musim di hidup kamu, saya minta maaf udah nyakitin kamu, saya jadi paham, saya gak layak buat bahagiain kamu, saya terima kamu marah sama saya, karena saya tau, nahan kamu terus disisi saya cuman bakal bikin kamu makin sakit.

Iya, saya emang lebih milih Maudy saat itu, dengan kamu yang marah soal berkas itu bikin saya mikir dua kali buat izin nyamperin perempuan lain. Dia sekarat saat itu, Mamanya terus nelfon saya buat nemenin hari-hari dia, dan unfortunately waktunya gak pas, dia malah minta ketemu disaat saya mau ketemu kamu. Semesta kadang suka bercanda ya Ra.

Sepulangnya, saya langsung nyamperin kamu di bandara, jangan marah sama Alam, dia yang ngasih tau kamu saya disana. Disitu saya rasanya mau nangis Ra, kamu ngasih berkas perceraian terus Maudy tiba-tiba meninggal, dan kamu bilang saya cuman bisa ingkar janji dan hanya mikirin harta, harga diri saya sakit waktu kamu bilang gitu dibandara. The way you said that you just pretending kalau kamu cinta sama saya, terdengar tulus banget, dan saya jadi yakin bahwa kamu memang gak mau sama saya.

Kalau kamu tanya apa mau saya, saya maunya kamu, hidup sama kamu, menua sama kamu, punya keluarga kecil yang bahagia sama kamu, bener deh Ra, saya cuman mau punya anak sama kamu, saya gak mau yang lain, kalau kamu sampai ninggalin saya, mungkin saya bakalan single sampe saya gak ada, saya bener-bener se-cinta itu sama kamu Ra. Banget. Tapi, karena saya tau bareng sama saya sakit dan pisah sama saya adalah kebahagian kamu, yaudah pisah. Nyakitin kamu bukan kemauan saya, that’s why I chose to leave.

Maafin saya dan keluarga saya yang gak sempurna ya Ra, kamu yang terlahir dikeluarga yang hangat malah ditemuin sama saya yang dari keluarga yang kurang baik dalam berkomunikasi.

Rara termenung beberapa saat, ia sampai tak mampu berkata-kata. Speechless.

Maaf ya saya bukan casanova dengan segala kesempurnaannya yang bisa buat kamu seneng, saya cuman manusia biasa Ra, kadang bisa kesel, bisa sedih, bisa cemburu. Saya sering berandai-andai what if kita gak pisah? we probably would’ve argued every day, since sifat kita yang berbeda, kamu yang spontan dan saya yang gak bisa terlalu terlihat nunjukin rasa sayang saya. Rebutan kamar mandi mungkin? pasti seru.

You know Ra? I give a fuck about u everyday, you’re the joy bringer Ra, my life was flat until u came and becoming the golden sky to my dark storm life. Yes, indeed, you were the light, the star, the spark, and the love of my life.

In a nutshell, saya mau ucapin banyak terimakasih karena udah ngasih perubahan besar dalam hidup saya, bantu saya berkembang dan jadi orang yang lebih baik lagi. Saya cinta sama kamu. Saya terima, perceraiannya.

Rara terdiam. Ia membalik lembar itu dan ya, lembar itu berhenti disana. Lembar terakhir dari lembar-lembar yang ia buka dari halaman belakang. Selanjutnya hanya ada catatan-catatan materi yang Anggar gunakan dalam kelas manajemennya waktu itu.

Tanpa menunggu lagi, Rara langsung merogoh ponselnya di dalam tas nya, menyalakan ponselnya hingga benda itu benar-benar menyala, tak mau menunggu lagi ia langsung menelfon Anggar.

Berkali-kali ia menelfon tapi pria itu tak kunjung mengangkat. Ih kemana?!

Kemudian Rara langsung bangkit dari duduknya diatas sofa, berlari kearah pintu utama dan membukanya paksa, netranya langsung menangkap Ramzy yang tengah merebah kan dirinya di atas rerumputan teras rumah Rara.

“Heh! badut ancol! Sini looo!!!” Rara berteriak sembari berkacak pinggang.

Ramzy langsung bangun dan beranjak menghampiri Rara. “Apa?” Masih dengan tatapan sayunya dan sikap dinginnya.

“Anggar mana?” Arus air mata yang sudah tercetak jelas pada kedua pipinya terlihat jelas oleh Ramzy.

Tak ada jawaban, Ramzy terdiam.

“Dimana Anggar ih! Gua telfon tadi gak diangkat.”

Ramzy meneguk salivanya, ia menunduk sembari menghela napas pelan. “Koma Ra. Operasinya gak berjalan lancar. Something wrong with his body. Ususnya kena.”

Rara menatap Ramzy tak percaya. “Maksud lo apa?”

“Anggar koma Ra, dan kemungkinan dia sadar cuman 20%. Operasinya gagal.”

Rara mengernyit heran. “Maksud lo 20%? dia bakal pergi ninggalin gua gitu? Meninggal gitu maksud lo??!!” Rara melotot kearah Ramzy.

Ramzy tak menjawab.

Rara berdecak kesal, “Jawab ih! candaan lo gak lucu Ramzy! lo jangan bercanda!”

“Gua gak bercanda!” Ramzy langsung membantah, menatap Rara penuh amarah. “Gua beneran.”

TAK! Anggar melayangkan stik hybrid-nya kencang, terlihat bola kecil berwarna putih itu melayang di udara lalu jatuh dan menggelinding kearah sasaran. Manik Anggar menyipit, netranya terus mengikuti arah bola golf yang meluncur kearah hole.

Masuk.

“Masalah lo sama Rara udah kelar?” Ramzy mengambil ancang-ancang untuk memukul bola golf nya, netranya menatap lurus hole golf yang berada diujung green.

Tak ada jawaban.

TAK! Bola yang Ramzy pukul melambung tinggi. Contour green yang meliuk-liuk serta penempatan water area yang tersebar dibeberapa bukit membuat permainan golf ini lumayan tricky untuk Ramzy.

Meleset. Bola Ramzy masuk ke water area.

“Ah!” Ramzy menggeram kesal. Ia menoleh kearah Anggar, terlihat jemari pria itu yang terbalut sarung tangan menopang pada ujung pegangan stik.

“Gua bakal cerai sama sepupu lo. Gua udah tanda tangan berkas-berkasnya.” Ucap Anggar santai, lalu ia berbalik memunggungi Ramzy, mengambil ancang-ancang untuk memukul bola selanjutnya.

Otomatis alis Ramzy menukik tajam. “Hah? anjing?” Ia tampak terkejut atas ucapan Anggar yang terdengar santai. “Terus? lo iyain gitu? aja?” Lemas sudah jemari Ramzy membuat genggamannya pada stik golf mengendur.

“Iya.” Anggar tersenyum tipis. “Gua gak mau maksa sesuatu yang emang gak bisa dipaksain, udah cukup.” Ia menegakkan tubuhnya, mengendurkan ancang-ancangnya.

“Cukup apa? cukup ancur maksud lo?” Seketika rahang Ramzy megeras, terdengar gemelutuk antara giginya yang bergesekan.

Anggar terkekeh pelan. “Dari dulu udah ancur gak sih?” Anggar malah balik bertanya.

“Sakit lo?” Ramzy masih menatap Anggar heran. “Kan lo sendiri yang waktu itu ngajuin diri buat nolongin keluarga gua? kalau lo sama Rara cerai, mau ngomong apa lo sama bokapnya? sama eyang?” Ramzy bersedekap, bahkan stik nya sudah jatuh dan tak ia pedulikan.

Anggar manggut-manggut kecil sembari mengulum bibirnya. Ia tersenyum tipis. “Buat apa gua jelasin, sesuatu yang gak harus gua jelasin?”

“Hah?” Ramzy menganga, tak mengerti maksud Anggar sama sekali. “Maksud lo apa?”

Anggar menghela napas pelan, perlahan wajahnya menoleh kearah Ramzy. “Dia yang minta, ya dia yang jelasin dong?”

“Bang? apasih lo?”

She said, she doesn't love me, she just pretending, so, what should I do?” Anggar mendengus pelan sembari memejamkan maniknya rapat-rapat, lalu ia mengambil napas. “Gua juga bisa capek.” Ucap Anggar disertai maniknya yang terbuka lebar.

To be very honest, omongan dia di bandara kemarin bikin gua ngerasa jahat banget Zy, seolah gua nyakitin dia banget. Padahal gua juga bisa sakit, gua juga bisa capek. Ga cuman dia.” Tambah Anggar, sembari mengusap ujung stiknya.

Ramzy meneguk salivanya pelan. Ia tampak frustasi menatap suami dari sepupunya itu. “You said you love her, and will protect her with all cost. Lo janji, sama nyokapnya.”

But, it doesn't work. Gak bisa dipaksa Zy, gua capek. Dia bahkan gak mau dengerin gua barang sedetik aja, dia gak mau denger penjelasan gua, dan milih pergi sama Alam, bahkan gak ijin sama gua. Sebagai suami gua rasanya gak di hargain.”

“Jadi lo... nyerah gitu aja?” Ramzy terkekeh pelan. “Gila lo.”

Anggar berdecak kesal. “Nyerah gitu aja? yakin kalimat lo gak salah? dengan segala yang gua lakukan selama ini? Gua nyoba segala celah, masuk ke hatinya, tapi tetep gak bisa, dengan effort yang udah gua kerahin, gua pikir semua bakal berjalan lancar, nyatanya apa coba? efeknya gak gede-gede banget. Dia tetep dihantui masa lalunya, dan gua gak dianggep.”

Anggar lelah. Sudah terlalu lama dirinya bertahan. Aslinya menyerah pun ia enggan, namun ia lebih lemah lagi kalau itu adalah permintaan Rara, tak bisa ia membantahnya. Andai saja Rara tidak melukai ego-nya kemarin mungkin Anggar masih bisa berpikir bahwa ia akan memperjuangkan Rara.

Bagi Anggar, Rara selalu memberikannya tanya bukan tanda. Anggar akhirnya lelah sendiri.

“Asal lo tau Zy, Najma pernah bilang sama gua, Rara itu cintanya sama Reza.”

“Dan lo percaya? Gila lo?” Ramzy melotot sembari mengacungkan telunjuknnya.

Bahkan caddy yang sedaritadi berada disekitar mereka sampai khawatir akan terjadinya baku hantam.

“Lah? Rara sendiri yang bilang dia gak ada rasa sama gua? Apa yang perlu dipertahanin?” Semprot Anggar tak mau kalah.

Ego-nya terlalu tinggi. Wajar saja, ia anak tunggal.

“Ego lu. Ego lu turunin.” Saut Ramzy tak kalah keras.

Menghela napas Anggar saat menyadari sausana yang menegang. Ia pun melunakkan suaranya. “Udah males, Zy.”

Anggar mengambil napas panjang. “Seakan-akan gua terus yang salah, padahal gua cuman nolongin Maudy, gak maksud sama sekali buat ninggalin Rara, pas itu emang urgent banget, nyokapnya terus nelfonin gua, bilang kalau Maudy sekarat, dengan keadaan Rara yang marah karena berkas itu, gua yakin dia gak bakal percaya sama semua omongan gua, dia pasti nganggep gua bohong. Dengan segala situasi yang sama-sama panas kaya gitu, mana bisa dia kepala dingin, Zy.” Anggar menghela napasnya berat.

“Lo tau sendiri tabiat sepupu lo itu, merasa bisa nge-handle segala sesuatu sendiri, sampe nyakitin dirinya sendiri.” Tambah Anggar.

Seketika Ramzy terdiam.

“Gua punya janji masa lalu, yang gak bisa gua tinggal, nyokapnya minta gua buat pura-pura cinta sama anaknya, dua tahun kebelakang Maudy udah gak punya semangat hidup, dan ketemu sama gua pas di bandara lombok bikin dia punya harapan. Gua punya rencana buat jelasin semuanya ke Rara, gua butuh kita sama-sama tenang.”

Remember that he is future oriented.

“Gua pikir jalan terakhir adalah jelasin semuanya di bandara kemarin. Tapi dia malah bilang dia gak cinta sama gua, jadi buat apa gua jelasin panjang lebar kaya orang bego?” Tutur Anggar lagi.

“Masa? lo effort loh buat Maudy. Padahal lo bisa aja bilang ke nyokapnya buat nolak, bilang kalau lo udah punya istri, dan ga bisa gimmick kaya gitu. Harusnya lo sadar, Nggar- Ramzy mengambil napas pelan.

Ada jeda panjang disana.

“Lo bukan Tuhan, yang bisa nolongin segala hal.”

Anggar mendengus sebal sekaligus tersenyum miring. “Gua balik pertanyaannya. Kalau lo dihadapkan dengan orang yang dulu pernah nolong lo waktu ngerantau, dan lo ngerasa bersalah karena pernah ngasih harapan tapi gak bisa ngebales. Apa lo tega buat nolak?” Anggar menatap Ramzy intens.

“Lo mau anggep gua brengsek, silahkan. Tapi gini kenyataannya, gua bakal lebih jahat lagi kalau nolak hal itu, disaat orang itu punya harapan yang penuh atas gua. Iya, salah gua gak cerita soal ini ke Rara dari awal. Tapi gua punya alasan Ramzy.” Anggar menghela napas pelan.

“Dari awal gua nikah, Rara udah bangun barrier yang tinggi banget. Gua cuman mau menghargai boundaries yang dia punya. Gak mungkin kan dia yang punya masalah banyak banget, gua bebankan lagi dengan masalah yang gua punya.” Anggar menatap Ramzy lekat-lekat.

“Itu, yang gua maksud dengan protect her with all cost.” Ucap Anggar mengakhiri penjelasannya.

Ramzy manggut-manggut mendengarnya, air wajahnya tampak murung. “Tapi gak usah sampe lo tanda-tangan kan? Lo bisa loh jelasin ke dia?” Ramzy masih berusaha meyakinkan Anggar untuk tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.

“Bang, yakin?” Tanya Ramzy sekali lagi.

Anggar sempat termenung beberapa saat, menatap Ramzy intens. Lalu ia mengangguk mantap. “Yakin. Yang terpenting kan gua udah ngabulin permintaan dia buat yang terakhir kalinya. Gua sekarang udah gak bisa nurutin semuanya lagi, gua nyerah Zy. Udah gua tanda tangan.”

“Bang...”

Anggar mengulum bibirnya lalu tersenyum miring sembari mendengus pelan. “Ohiya Zy, mungkin ini our last match ya, gua ngajak lo main, sekaligus cerita dan pamit. Sorry kalau gua pengecut menurut lo, tapi selepas gua pergi dari hidup Rara nanti, gua gak akan sanggup ketemu apapun itu yang bersangkutan sama dia, termasuk lo. Gua pamit ya.”

Belum sempat Ramzy menjawab, Anggar sudah berbalik, berjalan meninggalkan Ramzy dengan kedua caddy nya.

“Bang!” Panggil Ramzy.

Anggar menoleh kebelakang. Ia tak menjawab panggilan itu, ia mengangkat satu alisnya mengisyaratkan tanya.

“Lo pura-pura cinta sama Maudy karena kasian, atau lo emang cinta sama dia?”

Anggar menggigit bibirnya, tersenyum tipis kemudian. “Kenapa lo nanya pertanyaan yang jawabannya udah jelas?” Ucap Anggar sembari berbalik, ia berjalan pergi meninggalkan Ramzy.

Ramzy termenung menatap punggung Anggar yang kian menjauh. “Iya, dari awal lo cinta sama Rara.” Gumamnya sendiri.


Kalau saja sedari awal eyang atau Audrey atau siapapun itu memberitahukan perihal berkas itu kepada Rara mungkin perempuan itu tidak akan semurka sekarang.

Tapi kalau Rara mengetahui berkas itu di awal mungkin ia juga tidak akan mau menikahi Anggar yang notabene nya, melindungi Rara akan ancaman pembunuhan dari anak dokter yang dulu sempat melakukan malpraktek terhadap tante Audrey.

Ya, satu rahasia yang Rara tidak tahu, bahkan hal ini mebuat Anggar nyaris depresi mengetahui kabar bahwa Rara kecelakaan karena alergi kacangnya yang kambuh, ia terus berasumsi itu adalah ulah si anak dokter itu.

Anak tunggal dari dokter yang dulu menghabisi nyawanya sendiri dengan loncat dari gedung rumah sakit, setelah salah mendiagnosa dan memberikan Audrey obat yang malah merusak ginjalnya. Anehnya anak tunggal dokter itu malah menyalahkan keluarga Dewandaru atas nasib miris yang menimpa keluarga mereka.

Audrey sampai kalang kabut saat ia bolak-balik menerima surat kaleng berisikan ancaman pembunuhan terhadap anaknya. Pengirimnya terang-terangan menyebut nama Rara sebagai sasaran. Dan, perjodohan itu memiliki beberapa alasan kuat mengapa ia sampai tega menyerahkan anaknya sendiri.

Mendiang Audrey tidak sekejam itu, membiarkan anaknya menikah dengan orang yang tidak anaknya cintai.

Sempat dulu, berita tewasnya dokter rumah sakit itu naik sebagai headline berita utama, wartawan terus menerus menganggu keluarga dokter itu sehingga mereka dikucilkan dan selalu menerima sanksi sosial atas kesalahan yang bahkan tidak mereka lakukan.

Mungkin hal itulah yang membuat anak dokter itu dendam setengah mati terhadap keluarga Dewandaru, dan berharap sebuah nyawa harus dibalas dengan nyawa.

Namun, surat-surat kaleng itu sudah tak lagi datang setelah keluarga Dewandaru memiliki ikatan sah dengan keluarga Sadadi, salah satu pengusaha property yang memiliki banyak saham rumah sakit dan sangat disegani oleh banyak orang.

Memang waktu itu Anggar pribadi yang menawarkan bantuan kepada Papa, awalnya Audrey tidak setuju, mengingat ia tidak begitu mengenal Anggar, dan setelah ia berbincang dan mengetahui bahwa Anggar adalah anak dari sahabat karibnya sewaktu SMA ia setuju, dan tentu saja demi melindungi Rara, ia rela melepas anaknya.

Maka dari itu, sebagai jaminan, Audrey mengajukan sebuah syarat, apabila Anggar menyakiti Rara, dan tidak berhasil melindungi anak bungsunya itu, ia harus memberikan saham terbesar yang keluarga Sadadi punya.

Dengan kondisi Audrey yang sudah sakit-sakitan itu, alasan yang paling bisa diterima oleh Rara adalah Audrey sudah tidak punya banyak waktu untuk menunggu anak bungsunya itu memiliki sandaran.

Alias, Audrey takut tidak bisa melihat anaknya menikah. Sebuah alasan dibalik alasan sesungguhnya.

Lantas apakah alasan Anggar menawarkan diri? tak ada yang tau.

Ramzy mengacak surainya frustasi, ia sampai tak habis pikir mendengar seluruh kekacauan rumah tangga yang yang terjadi pada sepupu dan sahabatnya itu. Ia meneguk habis air mineral yang baru saja ia beli dari vending machine lalu meremukkan botolnya hingga hancur.

“Anjing, anjing.” Gumam Ramzy penuh amarah.

Setelah selesai berberes, Ramzy menyampirkan tas selempang pada pundaknya, berjalan pelan menuju parkiran tempat golf itu, sesekali ia tersenyum tipis saat berpapasan dengan para caddy yang baru saja selesai menemani pengunjung yang bermain golf.

“Selalu gini dah, kabur terus kalau abis sakit hati, Nggar... Nggar kapan lo berubah sih?” Ramzy bermonolog sembari merogoh kunci mobilnya didalam saku jeans nya.

Seketika manik Ramzy melebar saat melihat mobil Anggar yang masih terparkir tepat disebelah mobilnya. “Loh? lah belum balik dia? ah bodolah.” Ia berjalan kearah pintu mobilnya.

Sekilas Ramzy menoleh kearah mobil Anggar, namun pandangannya berubah heran saat melihat pintu mobil Anggar disebrangnya yang terbuka lebar.

Otomatis Ramzy langsung berjalan mengitari mobil Anggar, mencari-cari keberadaan sang empu. Dengan hati-hati ia melihat ke balik pintu mobil yang terbuka. Seketika ia terbelalak saat melihat Anggar yang terduduk diatas conblock dan bersandar pada sisi bawah mobil.

“Bang!” Ramzy tak bisa menyembunyikan rasa paniknya saat melihat keringat yang membanjiri pelipis Anggar, pria itu mengeram kesakitan sembari memegang perutnya. “Bang! Anjir lo kenapa?!”

Perlahan Anggar mendongak, menatap Ramzy samar-samar, tatapannya buram. Gemuruh serta rasa sakit yang terus menusuk perutnya tak kunjung berhenti, ia sampai tak mampu membalas panggilan Ramzy. “Zz—yy-y...” Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya, dan seketika gelap.

They can imitate you, but they can't duplicate you, cause you got somethin' special.

Mengenyam pendidikan di negri orang tidak selamanya mudah jika kita tidak memiliki seseorang untuk diandalkan. Bukan bermaksud oportunis, namun terkadang kita butuh seseorang untuk melakukan simbiosis mutualisme.

Jangan lupa, kita semua adalah makhluk sosial yang butuh untuk bersosialisasi. Butuh someone to talk to, butuh perhatian walau hanya sekedar teman.

Dan di Inggris, Rasyad bukan lah satu-satunya teman yang dekat dengan Anggar. Namun, ada sesosok wanita yang juga dekat dengannya.

Maudy Hara Yamamoto.

Akrab-nya Maudy, perempuan keturunan Indo-Jepang. Super halus namun bisa keras sesuai kondisi, kind hearted, careful to everything around her, really into humanism, feminist, smart and really good at public speaking, having a really strong intuition, loveable, and perfect life.

Tipikal perempuan berkepribadian sanguinis, yang akan disukai dan dicintai dengan mudah.

Whos not gonna love her?

Mustahil untuk tidak menyukainya pada pandangan pertama, nyaris 99,99% orang yang bertemu dengannya memiliki first impression yang baik.

Begitu pun dengan Anggar, hari pertama pertemuan mereka, persis saat Anggar duduk-duduk di taman kampus sembari membaca ulang beberapa catatannya. Sesuai prediksi, perempuan itu langsung menoleh saat tak sengaja Anggar berucap, aduh sakit! Kala itu tak sengaja tangan Anggar terbeset kertas catatannya sendiri, Maudy pun langsung tau bahwa Anggar adalah orang indonesia.

Hari pertama kenal, dengan segala ke humble-an yang dimiliki oleh Maudy, ia tanpa segan memberikan plester luka bermotif Disney princess kepada Anggar. Dan sejak itu mereka jadi dekat dan tambah akrab tiap harinya.

Seiring berjalannya waktu, Maudy lah tempat Anggar melepaskan homesick-nya. Menemani hari-hari pria itu hampir nyaris seperti sepasang kekasih yang saling mencintai. Namun, nyatanya mereka hanyalah sahabat, tak ada diantara keduanya yang mendeklarasikan apapun, nyaman akan hubungan yang seperti itu.

Tak jarang mereka hangout berdua hanya untuk melepas penat diakhir pekan, melakukan banyak hal-hal romantis seperti piknik di taman, nonton di bioskop, lari pagi bersama dan belajar bersama.

Lancaster benar-benar indah untuk mereka kala itu. Angin yang sejuk, bangunan-bangunan tua yang iconic, suasana desa yang begitu kental, benar-benar tempat healing sesungguhnya. Sangat sempurna untukdua sejoli yang tengah memadu kasih.

Bak cerita dongeng-dongeng. Maudy benar-benar diperlakukan seperti princess oleh Anggar, benar-benar se-perhatian itu Anggar dengannya, hingga Maudy merasa Anggar memang untuknya, Anggar miiknya, Anggar lah cintanya.

Rasanya Maudy benar-benar se-cinta-itu. Cinta sekali.

Namun, Maudy sendiri tidak tau perasaan Anggar sesungguhnya, tapi perempuan itu yakin Anggar memiliki rasa yang sama. Apalagi Maudy hapal diluar kepala tabiat pria itu, sikapnya yang terkadang sulit ditebak dan ekspresinya yang datar kala pria itu mengungkapkan perasaannya, ya Anggar memang seperti itu.

Hingga, Maudy sudah tak kuat menahan rasa cintanya yang sudah setinggi gunung Everest.

Kala itu musim dingin, Anggar dan Maudy datang ke farewell party salah satu temannya yang sudah wisuda minggu lalu. Drinking and dancing as a young age generations and having a great time in their life. Then, Maudy got high, cause she drank a lil bit.

She confess everything that she felt for Anggar. Literally, everything.

“Please, tell me what you feel about me, say something, Nggar. Jangan diem kaya gini.”

Kini keduanya tengah berdiri saling berhadapan. Suasana yang gelap dan sepi, terlihat beberapa mobil yang terparkir teratur di teras rumah teman mereka yang tengah mengadakan farewell party tersebut.

Anggar terdiam sejenak, confession Maudy yang sangat tiba-tiba itu sungguh membuatnya terkejut. Yup, Anggar didn't drink anything, even a drop of a beer. Anggar masih sadar, dan tidak mabuk sedikit pun.

Bagi Anggar sendiri, hubungannya dengan Maudy memang tidak bisa dianggap hubungan biasa, ia merasa Maudy spesial, but, not in that way. Maksudnya, memang benar, Maudy adalah prioritas Anggar pada saat itu, perdebatan batin yang terjadi didalam dirinya sungguhlah sengit. Ia tak bisa membedakan atau menaruh Maudy diposisi mana.

Atau lebih tepatnya, Anggar tidak tau bagaimana menyalurkan perasaannya kepada Maudy, ia bingung kata serta diksi apa yang cocok untuk mengutarakannya.

Alhasil Anggar malah mengalihkan topik.

“Dy. Lo mabok, pulang aja yuk?” Anggar menatap Maudy intens, mencoba meyakinkan perempuan itu.

Maudy menggeleng cepat, wajahnya tampak memerah dengan mata yang sayu. “Gak usah ngalihin topik deh, Nggar. Mau sampai kapan kita kaya gini? why you never ask me to be your lover? why you always do something special to me? I was confused everytime kamu selalu perlakuin aku kaya pacar kamu, bahkan kamu gak pernah memberi sebuah statement atau pertanyaan yang bisa bikin kita official. what are we?” Kini manik Maudy sudah berkaca-kaca, lelah dengan pertahanannya yang seperti tak menemukan titik cerah.

“Dy, listen. Lo lagi mabok, dan gak sadar. Mending lo pulang, ayo gua anter.” Anggar langsung menggeret Maudy yang kini sudah sedikit sempoyongan, perempuan itu terus meracau dalam rengkuhan Anggar.

“Kamu sayang kan sama aku?” “Nggar, please tell me that my feelings for you isn't something that impossible to happen.

Dan pengakuan-pengakuan lainnya. Anggar hanya bisa menghela napas, pasalnya ia tidak mau gegabah dalam menyatakan sebuah perasaan, baginya perasaan cinta adalah sesuatu yang sakral dan sangat crucial, tidak bisa segamblang itu.

Usai pengakuan itu, paginya Anggar bersikap seperti biasa, memperlakukan Maudy seperti tak ada yang terjadi malamnya, Maudy pun marah, ia merasa Anggar tak menganggapnya serius.

Maudy ingat dengan jelas perkataannya semalam.

Pertengkaran yang hebat pun terjadi, Anggar sampai kehabisan kata-kata saat Maudy terus mendebatinya soal perasaan Anggar yang terus menerus denial.

Selang seminggu, Maudy pergi, tanpa pamit, ia hanya menitipkan sebuah surat kepada Anggar melalui salah satu temannya. Bahkan ia mengundurkan dirinya dari universitas, ia tak menyelesaikan pendidikannya.

Dear, Anggar.

Hello! Maaf udah buat keadaan diantara kita jadi runyam kaya gitu, aku ngerasa bersalah banget udah bikin kamu sampe kaya kemaren. Makasih ya udah selalu ada buat aku, bantu aku melewati segalanya.

Kemaren, actually i'm not drunk at all, i'm just pretending, karena aku mau ungkapin semua perasaan aku, aku pikir kamu emang gitu, gabisa ngungkapin semuanya jadi harus aku duluan yang maju, gapapa kalau kamu emang gak bisa jawab sekarang, aku tetep nunggu karena, aku yakin kamu punya rasa yang sama kaya aku.

I'm so sorry. I tried my best to beat this teribble disease. Iya aku kena leukimia, maaf udah nyembunyiin ini dari awal. Nggar, please don't be mad if someday the surgery didn't go well as I wish, sometimes bad things happen in life and we should deal with it no matter what. Please, jangan cari aku, aku mau berjuang tanpa membebani orang lain, ini permintaan aku, Either i'm alive or not, you should remember that I love you with all my hearts.

Rencananya aku bakal pulang dulu ke Indonesia, terus ke Amerika, doain segalanya bakal lancar. I promise, kalau aku sehat nanti, aku bakal muncul di depan kamu. Please, promise me too, kamu bakal ada disaat itu. I love you.

Maudy.

Anggar meremas erat surat Maudy, memejamkan maniknya rapat-rapat. Perasaannya campur aduk, marah, kesal, merasa bersalah, lelah. Jika ia tau sedari awal akan hal ini ia akan lebih berhati-hati soal perkataannya tempo hari, ia akan dengan gamblang membalas perasaan wanita itu.

Hingga dalam hembusan napasnya yang sudah tak teratur, Anggar mengangguk kecil.

I promise you, Dy. Gua bakal ada dan terus nunggu lo, kalau kita bertemu lagi. Gua janji.

Bertahun-tahun Maudy menghilang, bahkan perempuan itu menutup seluruh akses social medianya, mungkin memang ia butuh rehat untuk kelangsungan hidupnya sendiri.

Kalau saja Anggar tidak bertemu dengan Maudy di Bandara Lombok kala itu, mungkin sampai sekarang ia akan berpikir bahwa Maudy sudah tak ada, Maudy sudah pergi bersama yang maha kuasa.

Kembali teringat akan hari kemarin, Anggar sampai mengusap surainya kasar. Tepat saat ia tengah menuju Orient8 untuk menjelaskan segalanya kepada Rara, telfon dan Pesan dari Maudy masuk, perempuan itu ingin bertemu.

Kalau sudah soal Maudy, Anggar tak bisa menolak. Ia punya janji.

Usai membalas pesan maudy kala itu, Anggar langsung memesan tiket menuju Lombok, tak menunggu lama, karena Anggar membeli tiket penerbangan tercepat. Hanya selang 3 jam ia sudah mendaratkan kakinya di Lombok.

Tepat saat perjalanannya menuju rumah Maudy, telfon dari Mama Maudy masuk. Segala percakapan yang terjadi kala itu sukses membuat Anggar terdiam.

Maudy penting.

Maudy sangat penting.

Maudy butuh Anggar.

Tepat saat Anggar masuk kedalam kamar Maudy, perempuan itu langsung tersenyum senang, merentangkan kedua tangannya dan langsung merengkuh Anggar. Kamu datang, katanya.

Anggar ikut tersenyum sembari mengacak-acak pucuk surai Maudy pelan. “Udah mendingan?”

“Udah!! kata dokter aku udah mendingan banget, bertahun-tahun stem cell, akhirnya ada hasil juga.”

“Yaudah, makan yuk? Butuh energi kan?”

Maudy hanya manggut-manggut sembari tersenyum lebar.

Bahkan saat makan, sempat-sempatnya Maudy mengusap pipi Anggar pelan. “Nggar, Kamu sayang kan sama aku?”

Anggar tersenyum lalu mengangguk kecil. “Iya.”

“Cinta kan?”

Anggar kembali mengangguk. “Iya, Dy.”

Tak pernah Anggar sangka sama sekali, permintaan Maudy akan dirinya untuk menemani hari itu menjadi hari terakhir bagi maudy untuk bernapas. Ya, Maudy menghembuskan napas terakhirnya tepat saat Anggar menarik selimut untuk menutupi tubuh wanita itu, memberikan usapan selamat tidur kala perempuan itu ingin beristirahat.

Beristirahat untuk yang terakhir kalinya.

Ulangi lagi.

Maudy penting.

Maudy sangat penting.

Maudy butuh Anggar.

Karena, Maudy sekarat.

Sesukses apapun pengobatan yang dibuat oleh manusia, keputusan akan nyawa seseorang tetaplah ditangan Yang maha kuasa.

Kematian Maudy terjadi begitu cepat, semuanya tampak begitu tiba-tiba, Anggar sampai tak bisa memproses otaknya.

Maudy yang ceria.

Maudy yang selalu perhatian terhadap Anggar.

Maudy yang suka bercerita dan mudah akrab dengan orang baru.

Maudy yang memiliki suara merdu.

Maudy yang sedikit slengekan.

Maudy yang ekspresif.

Maudy yang sedikit cuek, tapi perhatian.

Maudy yang tidak tegaan, dan sungkan untuk menolak permintaan orang.

Maudy yang penyayang.

Maudy yang picky akan beberapa hal karena dia orangnya perfectionist.

Maudy yang tidak suka difoto kecuali oleh Anggar.

Maudy yang terkadang memikirkan hal-hal yang tidak perlu dan suka insecure-an parah.

Maudy yang selalu menolak pria dengan berbagai alasan dan menolak untuk membangun sebuah hubungan.

Dan,

Maudy yang alergi kacang.

Awalnya Anggar berpikir hanya Maudy yang seperti itu. Hingga ia menikah dengan Rara dan tinggal bersama dengan sosok itu.

Rara has a lot of similar things with Maudy.

Dan mereka berdua mirip, Rara mirip dengan Maudy. Walau Anggar sadar segala sesuatu bisa diimitasi tapi tak ada yang bisa di duplikat.


Kini Anggar tengah duduk di sofa keluar, memasukkan beberapa benda kedalam sebuah paper bag, tak lupa ia juga memasukkan sebuah map coklat berisikan berkas perceraian yang sudah ia tanda tangani.

Sejenak Anggar terdiam, memandangi isi yang ada didalam paper bag itu.

Selepas ia bertengkar dengan Rara di bandara sewaktu perempuan itu akan pergi ke Inggris, Anggar tidak lagi skeptis atas perceraian itu, ia merasa mantap. Memang betul kedatangannya yang tiba-tiba itu mungkin membuat Rara terkejut, Alam lah yang menghubungi Anggar.

Alam mengatakan bahwa Rara terus-menerus murung sedari pagi, dan meminta Anggar datang. Pasalnya Anggar baru saja mendarat subuh-subuh di Jakarta seusai pemakaman Maudy malamnya. Ia masih menggunakan kemeja hitam dan celana hitam.

Pikirannya masih ruwet, segalanya datang bertubi-tubi hingga Anggar tak mampu berpikir jernih.

Anggar beranjak dari sofa, sembari menenteng paper bag itu, menaruhnya diatas meja makan. Kemudian ia merogoh ponselnya yang berada dikantung celananya. Ia menekan beberapa digit angka disana.

Tut... Tut... Tut...

”....”

“Halo, Zy. Masih bisa main golf gak? temenin gua yuk.”

They can imitate you, but they can't duplicate you, cause you got somethin' special.

Mengenyam pendidikan di negri orang tidak selamanya mudah jika kita tidak memiliki seseorang untuk diandalkan. Bukan bermaksud oportunis, namun terkadang kita butuh seseorang untuk melakukan simbiosis mutualisme.

Jangan lupa, kita semua adalah makhluk sosial yang butuh untuk bersosialisasi. Butuh someone to talk to, butuh perhatian walau hanya sekedar teman.

Dan di Inggris, Rasyad bukan lah satu-satunya teman yang dekat dengan Anggar. Namun, ada sesosok wanita yang juga dekat dengannya.

Maudy Hara Yamamoto.

Akrab-nya Maudy, perempuan keturunan Indo-Jepang. Super halus namun bisa keras sesuai kondisi, kind hearted, careful to everything around her, really into humanism, feminist, smart and really good at public speaking, having a really strong intuition, loveable, and perfect life.

Tipikal perempuan berkepribadian sanguinis, yang akan disukai dan dicintai dengan mudah.

Whos not gonna love her?

Mustahil untuk tidak menyukainya pada pandangan pertama, nyaris 99,99% orang yang bertemu dengannya memiliki first impression yang baik.

Begitu pun dengan Anggar, hari pertama pertemuan mereka, persis saat Anggar duduk-duduk di taman kampus sembari membaca ulang beberapa catatannya. Sesuai prediksi, perempuan itu langsung menoleh saat tak sengaja Anggar berucap, aduh sakit! Kala itu tak sengaja tangan Anggar terbeset kertas catatannya sendiri, Maudy pun langsung tau bahwa Anggar adalah orang indonesia.

Hari pertama kenal, dengan segala ke humble-an yang dimiliki oleh Maudy, ia tanpa segan memberikan plester luka bermotif Disney princess kepada Anggar. Dan sejak itu mereka jadi dekat dan tambah akrab tiap harinya.

Seiring berjalannya waktu, Maudy lah tempat Anggar melepaskan homesick-nya. Menemani hari-hari pria itu hampir nyaris seperti sepasang kekasih yang saling mencintai. Namun, nyatanya mereka hanyalah sahabat, tak ada diantara keduanya yang mendeklarasikan apapun, nyaman akan hubungan yang seperti itu.

Tak jarang mereka hangout berdua hanya untuk melepas penat diakhir pekan, melakukan banyak hal-hal romantis seperti piknik di taman, nonton di bioskop, lari pagi bersama dan belajar bersama.

Lancaster benar-benar indah untuk mereka kala itu. Angin yang sejuk, bangunan-bangunan tua yang iconic, suasana desa yang begitu kental, benar-benar tempat healing sesungguhnya. Sangat sempurna untukdua sejoli yang tengah memadu kasih.

Bak cerita dongeng-dongeng. Maudy benar-benar diperlakukan seperti princess oleh Anggar, benar-benar se-perhatian itu Anggar dengannya, hingga Maudy merasa Anggar memang untuknya, Anggar miiknya, Anggar lah cintanya.

Rasanya Maudy benar-benar se-cinta-itu. Cinta sekali.

Namun, Maudy sendiri tidak tau perasaan Anggar sesungguhnya, tapi perempuan itu yakin Anggar memiliki rasa yang sama. Apalagi Maudy hapal diluar kepala tabiat pria itu, sikapnya yang terkadang sulit ditebak dan ekspresinya yang datar kala pria itu mengungkapkan perasaannya, ya Anggar memang seperti itu.

Hingga, Maudy sudah tak kuat menahan rasa cintanya yang sudah setinggi gunung Everest.

Kala itu musim dingin, Anggar dan Maudy datang ke farewell party salah satu temannya yang sudah wisuda minggu lalu. Drinking and dancing as a young age generations and having a great time in their life. Then, Maudy got high, cause she drank a lil bit.

She confess everything that she felt for Anggar. Literally, everything.

“Please, tell me what you feel about me, say something, Nggar. Jangan diem kaya gini.”

Kini keduanya tengah berdiri saling berhadapan. Suasana yang gelap dan sepi, terlihat beberapa mobil yang terparkir teratur di teras rumah teman mereka yang tengah mengadakan farewell party tersebut.

Anggar terdiam sejenak, confession Maudy yang sangat tiba-tiba itu sungguh membuatnya terkejut. Yup, Anggar didn't drink anything, even a drop of a beer. Anggar masih sadar, dan tidak mabuk sedikit pun.

Bagi Anggar sendiri, hubungannya dengan Maudy memang tidak bisa dianggap hubungan biasa, ia merasa Maudy spesial, but, not in that way. Maksudnya, memang benar, Maudy adalah prioritas Anggar pada saat itu, perdebatan batin yang terjadi didalam dirinya sungguhlah sengit. Ia tak bisa membedakan atau menaruh Maudy diposisi mana.

Atau lebih tepatnya, Anggar tidak tau bagaimana menyalurkan perasaannya kepada Maudy, ia bingung kata serta diksi apa yang cocok untuk mengutarakannya.

Alhasil Anggar malah mengalihkan topik.

“Dy. Lo mabok, pulang aja yuk?” Anggar menatap Maudy intens, mencoba meyakinkan perempuan itu.

Maudy menggeleng cepat, wajahnya tampak memerah dengan mata yang sayu. “Gak usah ngalihin topik deh, Nggar. Mau sampai kapan kita kaya gini? why you never ask me to be your lover? why you always do something special to me? I was confused everytime kamu selalu perlakuin aku kaya pacar kamu, bahkan kamu gak pernah memberi sebuah statement atau pertanyaan yang bisa bikin kita official. what are we?” Kini manik Maudy sudah berkaca-kaca, lelah dengan pertahanannya yang seperti tak menemukan titik cerah.

“Dy, listen. Lo lagi mabok, dan gak sadar. Mending lo pulang, ayo gua anter.” Anggar langsung menggeret Maudy yang kini sudah sedikit sempoyongan, perempuan itu terus meracau dalam rengkuhan Anggar.

“Kamu sayang kan sama aku?” “Nggar, please tell me that my feelings for you isn't something that impossible to happen.

Dan pengakuan-pengakuan lainnya. Anggar hanya bisa menghela napas, pasalnya ia tidak mau gegabah dalam menyatakan sebuah perasaan, baginya perasaan cinta adalah sesuatu yang sakral dan sangat crucial, tidak bisa segamblang itu.

Usai pengakuan itu, paginya Anggar bersikap seperti biasa, memperlakukan Maudy seperti tak ada yang terjadi malamnya, Maudy pun marah, ia merasa Anggar tak menganggapnya serius.

Maudy ingat dengan jelas perkataannya semalam.

Pertengkaran yang hebat pun terjadi, Anggar sampai kehabisan kata-kata saat Maudy terus mendebatinya soal perasaan Anggar yang terus menerus denial.

Selang seminggu, Maudy pergi, tanpa pamit, ia hanya menitipkan sebuah surat kepada Anggar melalui salah satu temannya. Bahkan ia mengundurkan dirinya dari universitas, ia tak menyelesaikan pendidikannya.

Dear, Anggar.

Hello! Maaf udah buat keadaan diantara kita jadi runyam kaya gitu, aku ngerasa bersalah banget udah bikin kamu sampe kaya kemaren. Makasih ya udah selalu ada buat aku, bantu aku melewati segalanya.

Kemaren, actually i'm not drunk at all, i'm just pretending, karena aku mau ungkapin semua perasaan aku, aku pikir kamu emang gitu, gabisa ngungkapin semuanya jadi harus aku duluan yang maju, gapapa kalau kamu emang gak bisa jawab sekarang, aku tetep nunggu karena, aku yakin kamu punya rasa yang sama kaya aku.

I'm so sorry. I tried my best to beat this teribble disease. Iya aku kena leukimia, maaf udah nyembunyiin ini dari awal. Nggar, please don't be mad if someday the surgery didn't go well as I wish, sometimes bad things happen in life and we should deal with it no matter what. Please, jangan cari aku, aku mau berjuang tanpa membebani orang lain, ini permintaan aku, Either i'm alive or not, you should remember that I love you with all my hearts.

Rencananya aku bakal pulang dulu ke Indonesia, terus ke Amerika, doain segalanya bakal lancar. I promise, kalau aku sehat nanti, aku bakal muncul di depan kamu. Please, promise me too, kamu bakal ada disaat itu. I love you.

Maudy.

Anggar meremas erat surat Maudy, memejamkan maniknya rapat-rapat. Perasaannya campur aduk, marah, kesal, merasa bersalah, lelah. Jika ia tau sedari awal akan hal ini ia akan lebih berhati-hati soal perkataannya tempo hari, ia akan dengan gamblang membalas perasaan wanita itu.

Hingga dalam hembusan napasnya yang sudah tak teratur, Anggar mengangguk kecil.

I promise you, Dy. Gua bakal ada dan terus nunggu lo, kalau kita bertemu lagi. Gua janji.

Bertahun-tahun Maudy menghilang, bahkan perempuan itu menutup seluruh akses social medianya, mungkin memang ia butuh rehat untuk kelangsungan hidupnya sendiri.

Kalau saja Anggar tidak bertemu dengan Maudy di Bandara Lombok kala itu, mungkin sampai sekarang ia akan berpikir bahwa Maudy sudah tak ada, Maudy sudah pergi bersama yang maha kuasa.

Kembali teringat akan hari kemarin, Anggar sampai mengusap surainya kasar. Tepat saat ia tengah menuju Orient8 untuk menjelaskan segalanya kepada Rara, telfon dan Pesan dari Maudy masuk, perempuan itu ingin bertemu.

Kalau sudah soal Maudy, Anggar tak bisa menolak. Ia punya janji.

Usai membalas pesan maudy kala itu, Anggar langsung memesan tiket menuju Lombok, tak menunggu lama, karena Anggar membeli tiket penerbangan tercepat. Hanya selang 3 jam ia sudah mendaratkan kakinya di Lombok.

Tepat saat perjalanannya menuju rumah Maudy, telfon dari Mama Maudy masuk. Segala percakapan yang terjadi kala itu sukses membuat Anggar terdiam.

Maudy penting.

Maudy sangat penting.

Maudy butuh Anggar.

Tepat saat Anggar masuk kedalam kamar Maudy, perempuan itu langsung tersenyum senang, merentangkan kedua tangannya dan langsung merengkuh Anggar. Kamu datang, katanya.

Anggar ikut tersenyum sembari mengacak-acak pucuk surai Maudy pelan. “Udah mendingan?”

“Udah!! kata dokter aku udah mendingan banget, bertahun-tahun stem cell, akhirnya ada hasil juga.”

“Yaudah, makan yuk? Butuh energi kan?”

Maudy hanya manggut-manggut sembari tersenyum lebar.

Bahkan saat makan, sempat-sempatnya Maudy mengusap pipi Anggar pelan. “Nggar, Kamu sayang kan sama aku?”

Anggar tersenyum lalu mengangguk kecil. “Iya.”

“Cinta kan?”

Anggar kembali mengangguk. “Iya, Dy.”

Tak pernah Anggar sangka sama sekali, permintaan Maudy akan dirinya untuk menemani hari itu menjadi hari terakhir bagi maudy untuk bernapas. Ya, Maudy menghembuskan napas terakhirnya tepat saat Anggar menarik selimut untuk menutupi tubuh wanita itu, memberikan usapan selamat tidur kala perempuan itu ingin beristirahat.

Beristirahat untuk yang terakhir kalinya.

Ulangi lagi.

Maudy penting.

Maudy sangat penting.

Maudy butuh Anggar.

Karena, Maudy sekarat.

Sesukses apapun pengobatan yang dibuat oleh manusia, keputusan akan nyawa seseorang tetaplah ditangan Yang maha kuasa.

Kematian Maudy terjadi begitu cepat, semuanya tampak begitu tiba-tiba, Anggar sampai tak bisa memproses otaknya.

Maudy yang ceria.

Maudy yang selalu perhatian terhadap Anggar.

Maudy yang suka bercerita dan mudah akrab dengan orang baru.

Maudy yang memiliki suara merdu.

Maudy yang sedikit slengekan.

Maudy yang ekspresif.

Maudy yang sedikit cuek, tapi perhatian.

Maudy yang tidak tegaan, dan sungkan untuk menolak permintaan orang.

Maudy yang penyayang.

Maudy yang picky akan beberapa hal karena dia orangnya perfectionist.

Maudy yang tidak suka difoto kecuali oleh Anggar.

Maudy yang terkadang memikirkan hal-hal yang tidak perlu dan suka insecure-an parah.

Maudy yang selalu menolak pria dengan berbagai alasan dan menolak untuk membangun sebuah hubungan.

Dan,

Maudy yang alergi kacang.

Awalnya Anggar berpikir hanya Maudy yang seperti itu. Hingga ia menikah dengan Rara dan tinggal bersama dengan sosok itu.

Rara has a lot of similar things with Maudy.

Dan mereka berdua mirip, Rara mirip dengan Maudy. Walau Anggar sadar segala sesuatu bisa diimitasi tapi tak ada yang bisa di duplikat.


Kini Anggar tengah duduk di sofa keluar, memasukkan beberapa benda kedalam sebuah paper bag, tak lupa ia juga memasukkan sebuah map coklat berisikan berkas perceraian yang sudah ia tanda tangani.

Sejenak Anggar terdiam, memandangi isi yang ada didalam paper bag itu.

Selepas ia bertengkar dengan Rara di bandara sewaktu perempuan itu akan pergi ke Inggris, Anggar tidak lagi skeptis atas perceraian itu, ia merasa mantap. Memang betul kedatangannya yang tiba-tiba itu mungkin membuat Rara terkejut, Alam lah yang menghubungi Anggar.

Alam mengatakan bahwa Rara terus-menerus murung sedari pagi, dan meminta Anggar datang. Pasalnya Anggar baru saja mendarat subuh-subuh di Jakarta seusai pemakaman Maudy malamnya. Ia masih menggunakan kemeja hitam dan celana hitam.

Pikirannya masih ruwet, segalanya datang bertubi-tubi hingga Anggar tak mampu berpikir jernih.

Anggar beranjak dari sofa, sembari menenteng paper bag itu, menaruhnya diatas meja makan. Kemudian ia merogoh ponselnya yang berada dikantung celananya. Ia menekan beberapa digit angka disana.

Tut... Tut... Tut...

”....”

“Halo, Zy. Masih bisa main golf gak? temenin gua yuk.”

Kalau saja pesawat Rara dan Alam tidak delay lama, pasti subuh tadi mereka sudah tiba di Jakarta, namun karena keterlambatan itu, mereka baru menapakkan kakinya dibandara Soekarno Hatta pukul 9 pagi.

Terlihat dengan jelas, kantung mata yang bergantung dibawah kelopak mata yang sayu, berusaha untuk mengalahkan rasa kantuk serta lelah karena penerbangan yang panjang. Belum mandi, belum sarapan, apalagi memantaskan diri di depan ibu mertua, huh... Lelah.

Keduanya celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. Seketika manik Rara dan Alam langsung berseteru dengan manik Ramzy, pria itu tengah melambai-lambaikan tangannya di udara. Tanpa senyuman yang biasanya selalu tampak pada wajahnya

“Lo mau ikut gua gak Lam?” “Gak usah Ra, gua udah dijemput pak Sapri.”

Usai berpisah dengan Alam, Rara berjalan beiringan dengan Ramzy yang diam disebelahnya. Sempat tadi, Ramzy sedikit berbasa basi dengan Alam lalu mengajak Rara untuk pulang, tak lupa pria itu membantu membawa koper Rara.

Rara bertanya-tanya di dalam hati sejak tadi, suasana disekitar Ramzy terlihat suram, jarang sekali aura pria itu begitu menyeramkan seperti ini, bahkan Ramzy tidak mengajak Rara untuk sekedar ngobrol-ngobrol ringan sembari berjalan ke parkiran. Sangat bukan Ramzy.

Seketika Rara berhenti, mencoba untuk memundurkan langkahnya. Dan, ya. Ramzy tidak sadar bahwa Rara berhenti, alhasil perempuan itu melanjutkan jalannya, maniknya sedikit menyipit menatap punggung Ramzy yang terlihat lelah.

Setelah memasukan beberapa tas oleh-oleh dan koper, Rara dan Ramzy langsung masuk ke dalam mobil. Ntah mengapa Ramzy malah semakin diam, padahal biasanya pria itu sangat cerewet dan menyebalkan.

Bahkan dijalan pulang pun Ramzy tak kunjung bersua, ada beberapa kali Rara mencoba untuk mencairkan suasan, bahkan jokes cabe-cabean komplek yang Rara lontarkan tidak menggoyahkan diamnya Ramzy sama sekali.

“Lo marah sama gua?” Tiba-tiba Rara bersuara di tengah hening serta deru AC mobil.

Ramzy menggeleng kecil, maniknya masih fokus pada jalan tol di depan sana.

“Kalau marah tuh bilang, jangan diemin gua kaya gini, iya gua tau gua salah, gua kemaren marah-marah sama lo ditelpon soal perjanjian Sadadi sama Dewandaru, gua mana tau kalau lo gak ada sangkut pautnya sama sekali, gua pikir lo tau.” Rara langsung cemberut. “Ramzy ih! Lo dengerin gua gak sih?”

Tak ada jawaban. Pria itu masih fokus dan tak menggubris Rara sama sekali.

“Ramzy! ngomong kek! ngobrol gitu, dikasih suara sama Allah tuh dipake! ini lo simpen-simpen, dikata ada yang mo cipet apa!!”

Masih tak ada jawaban.

Rara berdecak kesal. “Ih! Anjrit! ngangguk-ngangguk sama geleng doang lu bisanya, patung hokben lo?” Rara langsung menegakkan tubuhnya sembari bersedekap dan menyandarkan kepalanya pada kaca mobil. dikacangin gua. Ceritanya ngambek.

Percuma, Ramzy tidak tampak prihatin sama sekali.

Bahkan sampai mobil mereka berhenti tepat didepan kediaman Rara dan Anggar, Ramzy masih saja diam. Sebisa mungkin Rara berusaha agar Ramzy membuka mulutnya, namun tetap saja pria itu diam tak bersua.

Sampai koper dan semua barang-barang Rara selesai diangkut kedalam. Disaat itulah Ramzy menarik pelan lengan Rara, dan mendudukkan wanita itu pada sofa ruang keluarga. “Duduk, tunggu sebentar.”

Rara hanya diam kebingungan, maniknya bergerak mengikuti arah gerak Ramzy ke meja makan, ia mengambil sebuah paper bag berwarna putih, yang ternyata sudah nangkring sedaritadi di atas sana.

Ramzy berbalik, berjalan ke arah Rara dengan paper bag berukuran sedang yang ia genggam pada jemarinya. Manik Rara terus mengikuti arah gerak Ramzy, hingga pria itu benar-benar berada tepat didepannya.

Ramzy menyodorkan paper bag berwarna putih itu kearah Rara. “Ini, titipan bang Anggar, Ra.”

Rara menatap paper bag itu heran. “Apa?”

Ramzy tak menjawab. Ia kembali menyodorkan tangannya, mengisyaratkan Rara untuk mengambilnya.

Tangan Rara terangkat, kemudian ia meraih paper bag itu dari tangan Ramzy, seketika Ramzy langsung beranjak meninggalkan Rara.

Sontak Rara langsung menoleh kearah Ramzy “Ih mau kemana?”

Langkah Ramzy terhenti, ia menoleh sedikit. “Keluar, ngerokok.”

Manik Rara langsung melebar, setaunya, Ramzy merokok kalau ia sedang stres atau depresi akan masalah-masalah hidupnya, seperti saat ia diminta jadi penerus Om Wisnu pada perusahaan Kayu keluarga Dewandaru, putus dari bule singapura yang toxic itu, atau saat-saat sakral lainnya. Namun, untuk saat ini, pria itu kenapa?

Tanpa bertanya lebih lanjut, Ramzy pergi bergitu saja.

Rara menatap paper bag itu heran, jemarinya meraba bibir paper bag itu, lantas ia membukanya. Hal pertama yang ia lihat adalah sebuah map coklat. Rara langsung mengeluarkannya, lalu menaruh paper bag itu sejenak ke atas nakas mini disebelah sofa.

Maniknya beralih pada map di jemarinya.

Sebuah. Berkas. Perceraian.

Tanpa menunggu lagi, Rara langsung membuka map itu, maniknya menatap datar beberapa berkas yang waktu itu ia berikan kepada Anggar.

“Just sign that god damn papers.”

Ingat betul Rara akan perkataannya tempo lalu, ia membaca berkas itu perlahan, hingga netranya jatuh ke bagian paling bawah pada lembaran itu. Rara menghela napas, sembari tersenyum pahit.

Anggar benar-benar menandatangani-nya.

Haha, ditanda tangan beneran.

“Gimanapun, ini yang gua mau, kan?” Gumam Rara sendirian.

Selesai dengan berkas cerai, Rara beralih ke paper bag putih, yang tadi sempat ia sisihkan. Kini diatas pahanya sudah terdapat kantung yang terbuka memperlihatkan isinya.

Rara melongok, melihat kedalam paper bag itu, seketika ia terperangah melihat isi yang ada di dalamnya.

Rara mengerutkan dahinya saat netranya menangkap benda-benda yang ada di dalam paper bag itu. Sebuah notebook, sepatu bayi berwarna kuning.

dan.

Plastik zip berisi karet gelang berwarna hitam.

Tertempel sebuah notes pada masing-masing benda itu.

Rara mengeluarkan satu-persatu barang tersebut, menaruh ketiganya diatas sofa, lantas ia memiringkan tubuhnya, bersila diatas sofa sembari menatap benda-benda aneh itu yang sekarang sudah berada diatas sofa.

“Loh ini kan yang ilang di meja...” Gumam Rara sembari membolak-balik plastik zip berisi karet gelang berwarna hitam.

Karet gelang berwarna hitam. Benda yang dulu pernah hilang saat Rara membantu Anggar mengoreksi makalah teman-temannya di Cafe depan kampus.

Rara langsung membaca notes yang tertera diatas plastik itu.

Maaf ya, kunciran ini yang sempet kamu cari-cari, saya sengaja nyuruh kamu beli aqua waktu itu, biar kamu gak nguncir rambut dan bisa saya ambil. Dibelakang kamu waktu itu ada 3 anak SMA yang ngeliatin kamu sambil moto-motoin kamu, saya khawatir kalau kamu kuncir nanti leher kamu keliatan, apalagi rambut kamu udah pendek juga. Waktu itu mau saya kembaliin tapi saya bingung alesannya apa, jadi saya balikin sekarang aja mumpung kita bakal pisah.

Selanjutnya.

Sepatu bayi berwarna kuning. Benda yang Anggar beli di Harrods waktu itu. Rara pikir pria itu tidak serius membelinya.

Kembali Rara membaca rentetan tulisan disana.

Saya serius soal apa yang saya bilang waktu kita beli ini, saya nanya pendapat kamu soal warna, saya pengen kamu punya konstribusi buat beli barang yang bersangkutan soal anak, seenggaknya kalau pun kamu ujungnya gak mau punya anak sama saya, saya tetep ngerasa kamu milihin barang buat anak kita.

Otomatis Rara mengatup bibirnya rapat-rapat, ia meneguk salivanya, mencoba untuk menahan maniknya yang sudah berkaca-kaca. Maksudnya gimana?

Rara sampai bingung mengekspresikan diri.

Lanjut, benda terakhir. Sebuah notebook yang...

“Loh? Ini buku catetan yang Anggar kasih pas benerin makalah anak-anak gak sih? pas di Cafe kan? yang isinya catetan materi semua? Kok disini?” Ucap Rara bermonolog.

Manik Rara kembali beralih pada notes yang tertempel diatasnya.

Kalau kamu buka buku ini dari depan, kamu cuman bakal nemuin catetan materi yang bikin kamu pusing, coba kamu buka dari belakang, mungkin kamu bakal nemu sesuatu yang berbeda. Pesan dari saya, tolong liat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda ya Ra.

Rara terdiam sejenak, entah mengapa ia langsung merasa bulu kuduknya meremang hebat, keringat dingin yang seketika membanjiri pelipis dan punggungnya kini membuat suasana disekitarnya dingin. Kenapa gua gugup gini sih?

Dengan perlahan Rara membuka lembar terakhir, ia mencoba membaca bait pertama, bait kedua, dan... seketika dahinya mengerut. “Ini... lah? kok diary anak SMP??!”

Kalau saja pesawat Rara dan Alam tidak delay lama, pasti subuh tadi mereka sudah tiba di Jakarta, namun karena keterlambatan itu, mereka baru menapakkan kakinya dibandara Soekarno Hatta pukul 9 pagi.

Terlihat dengan jelas, kantung mata yang bergantung dibawah kelopak mata yang sayu, berusaha untuk mengalahkan rasa kantuk serta lelah karena penerbangan yang panjang. Belum mandi, belum sarapan, apalagi memantaskan diri di depan ibu mertua, huh... Lelah.

Keduanya celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. Seketika manik Rara dan Alam langsung berseteru dengan manik Ramzy, pria itu tengah melambai-lambaikan tangannya di udara. Tanpa senyuman yang biasanya selalu tampak pada wajahnya

“Lo mau ikut gua gak Lam?” “Gak usah Ra, gua udah dijemput pak Sapri.”

Usai berpisah dengan Alam, Rara berjalan beiringan dengan Ramzy yang diam disebelahnya. Sempat tadi, Ramzy sedikit berbasa basi dengan Alam lalu mengajak Rara untuk pulang, tak lupa pria itu membantu membawa koper Rara.

Rara bertanya-tanya di dalam hati sejak tadi, suasana disekitar Ramzy terlihat suram, jarang sekali aura pria itu begitu menyeramkan seperti ini, bahkan Ramzy tidak mengajak Rara untuk sekedar ngobrol-ngobrol ringan sembari berjalan ke parkiran. Sangat bukan Ramzy.

Seketika Rara berhenti, mencoba untuk memundurkan langkahnya. Dan, ya. Ramzy tidak sadar bahwa Rara berhenti, alhasil perempuan itu melanjutkan jalannya, maniknya sedikit menyipit menatap punggung Ramzy yang terlihat lelah.

Setelah memasukan beberapa tas oleh-oleh dan koper, Rara dan Ramzy langsung masuk ke dalam mobil. Ntah mengapa Ramzy malah semakin diam, padahal biasanya pria itu sangat cerewet dan menyebalkan. Bahkan dijalan pulang pun Ramzy tak kunjung bersua, ada beberapa kali Rara mencoba untuk mencairkan suasan, bahkan jokes cabe-cabean komplek yang Rara lontarkan tidak menggoyahkan diamnya Ramzy sama sekali.

“Lo marah sama gua?” Tiba-tiba Rara bersuara di tengah hening serta deru AC mobil.

Ramzy menggeleng kecil, maniknya masih fokus pada jalan tol di depan sana.

“Kalau marah tuh bilang, jangan diemin gua kaya gini, iya gua tau gua salah, gua kemaren marah-marah sama lo ditelpon soal perjanjian Sadadi sama Dewandaru, gua mana tau kalau lo gak ada sangkut pautnya sama sekali, gua pikir lo tau.” Rara langsung cemberut. “Ramzy ih! Lo dengerin gua gak sih?”

Tak ada jawaban. Pria itu masih fokus dan tak menggubris Rara sama sekali.

“Ramzy! ngomong kek! ngobrol gitu, dikasih suara sama Allah tuh dipake! ini lo simpen-simpen, dikata ada yang mo cipet apa!!”

Masih tak ada jawaban.

Rara berdecak kesal. “Ih! Anjrit! ngangguk-ngangguk sama geleng doang lu bisanya, patung hokben lo?” Rara langsung menegakkan tubuhnya sembari bersedekap dan menyandarkan kepalanya pada kaca mobil. dikacangin gua. Ceritanya ngambek.

Percuma, Ramzy tidak tampak prihatin sama sekali.

Bahkan sampai mobil mereka berhenti tepat didepan kediaman Rara dan Anggar, Ramzy masih saja diam. Sebisa mungkin Rara berusaha agar Ramzy membuka mulutnya, namun tetap saja pria itu diam tak bersua.

Sampai koper dan semua barang-barang Rara selesai diangkut kedalam. Disaat itulah Ramzy menarik pelan lengan Rara, dan mendudukkan wanita itu pada sofa ruang keluarga. “Duduk, tunggu sebentar.”

Rara hanya diam kebingungan, maniknya bergerak mengikuti arah gerak Ramzy ke meja makan, ia mengambil sebuah paper bag berwarna putih, yang ternyata sudah nangkring sedaritadi di atas sana.

Ramzy berbalik, berjalan ke arah Rara dengan paper bag berukuran sedang yang ia genggam pada jemarinya. Manik Rara terus mengikuti arah gerak Ramzy, hingga pria itu benar-benar berada tepat didepannya.

Ramzy menyodorkan paper bag berwarna putih itu kearah Rara. “Ini, titipan bang Anggar, Ra.”

Rara menatap paper bag itu heran. “Apa?”

Ramzy tak menjawab. Ia kembali menyodorkan tangannya, mengisyaratkan Rara untuk mengambilnya.

Tangan Rara terangkat, kemudian ia meraih paper bag itu dari tangan Ramzy, seketika Ramzy langsung beranjak meninggalkan Rara.

Sontak Rara langsung menoleh kearah Ramzy “Ih mau kemana?”

Langkah Ramzy terhenti, ia menoleh sedikit. “Keluar, ngerokok.”

Manik Rara langsung melebar, setaunya, Ramzy merokok kalau ia sedang stres atau depresi akan masalah-masalah hidupnya, seperti saat ia diminta jadi penerus Om Wisnu pada perusahaan Kayu keluarga Dewandaru, putus dari bule singapura yang toxic itu, atau saat-saat sakral lainnya. Namun, untuk saat ini, pria itu kenapa?

Tanpa bertanya lebih lanjut, Ramzy pergi bergitu saja.

Rara menatap paper bag itu heran, jemarinya meraba bibir paper bag itu, lantas ia membukanya. Hal pertama yang ia lihat adalah sebuah map coklat. Rara langsung mengeluarkannya, lalu menaruh paper bag itu sejenak ke atas nakas mini disebelah sofa.

Maniknya beralih pada map di jemarinya.

Sebuah. Berkas. Perceraian.

Tanpa menunggu lagi, Rara langsung membuka map itu, maniknya menatap datar beberapa berkas yang waktu itu ia berikan kepada Anggar.

“Just sign that god damn papers.”

Ingat betul Rara akan perkataannya tempo lalu, ia membaca berkas itu perlahan, hingga netranya jatuh ke bagian paling bawah pada lembaran itu. Rara menghela napas, sembari tersenyum pahit.

Anggar benar-benar menandatangani-nya.

Haha, ditanda tangan beneran.

“Gimanapun, ini yang gua mau, kan?” Gumam Rara sendirian.

Selesai dengan berkas cerai, Rara beralih ke paper bag putih, yang tadi sempat ia sisihkan. Kini diatas pahanya sudah terdapat kantung yang terbuka memperlihatkan isinya.

Rara melongok, melihat kedalam paper bag itu, seketika ia terperangah melihat isi yang ada di dalamnya.

Rara mengerutkan dahinya saat netranya menangkap benda-benda yang ada di dalam paper bag itu. Sebuah notebook, sepatu bayi berwarna kuning.

dan.

Plastik zip berisi karet gelang berwarna hitam.

Tertempel sebuah notes pada masing-masing benda itu.

Rara mengeluarkan satu-persatu barang tersebut, menaruh ketiganya diatas sofa, lantas ia memiringkan tubuhnya, bersila diatas sofa sembari menatap benda-benda aneh itu yang sekarang sudah berada diatas sofa.

“Loh ini kan yang ilang di meja...” Gumam Rara sembari membolak-balik plastik zip berisi karet gelang berwarna hitam.

Karet gelang berwarna hitam. Benda yang dulu pernah hilang saat Rara membantu Anggar mengoreksi makalah teman-temannya di Cafe depan kampus.

Rara langsung membaca notes yang tertera diatas plastik itu.

Maaf ya, kunciran ini yang sempet kamu cari-cari, saya sengaja nyuruh kamu beli aqua waktu itu, biar kamu gak nguncir rambut dan bisa saya ambil. Dibelakang kamu waktu itu ada 3 anak SMA yang ngeliatin kamu sambil moto-motoin kamu, saya khawatir kalau kamu kuncir nanti leher kamu keliatan, apalagi rambut kamu udah pendek juga. Waktu itu mau saya kembaliin tapi saya bingung alesannya apa, jadi saya balikin sekarang aja mumpung kita bakal pisah.

Selanjutnya.

Sepatu bayi berwarna kuning. Benda yang Anggar beli di Harrods waktu itu. Rara pikir pria itu tidak serius membelinya.

Kembali Rara membaca rentetan tulisan disana.

Saya serius soal apa yang saya bilang waktu kita beli ini, saya nanya pendapat kamu soal warna, saya pengen kamu punya konstribusi buat beli barang yang bersangkutan soal anak, seenggaknya kalau pun kamu ujungnya gak mau punya anak sama saya, saya tetep ngerasa kamu milihin barang buat anak kita.

Otomatis Rara mengatup bibirnya rapat-rapat, ia meneguk salivanya, mencoba untuk menahan maniknya yang sudah berkaca-kaca. Maksudnya gimana?

Rara sampai bingung mengekspresikan diri.

Lanjut, benda terakhir. Sebuah notebook yang...

“Loh? Ini buku catetan yang Anggar kasih pas benerin makalah anak-anak gak sih? pas di Cafe kan? yang isinya catetan materi semua? Kok disini?” Ucap Rara bermonolog.

Manik Rara kembali beralih pada notes yang tertempel diatasnya.

Kalau kamu buka buku ini dari depan, kamu cuman bakal nemuin catetan materi yang bikin kamu pusing, coba kamu buka dari belakang, mungkin kamu bakal nemu sesuatu yang berbeda. Pesan dari saya, tolong liat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda ya Ra.

Rara terdiam sejenak, entah mengapa ia langsung merasa bulu kuduknya meremang hebat, keringat dingin yang seketika membanjiri pelipis dan punggungnya kini membuat suasana disekitarnya dingin. Kenapa gua gugup gini sih?

Dengan perlahan Rara membuka lembar terakhir, ia mencoba membaca bait pertama, bait kedua, dan... seketika dahinya mengerut. “Ini... lah? kok diary anak SMP??!”

“Kenapa?” “Kenapa lo se-gegabah itu? gak mau pikirin baik-baik dulu?”

Alam memandang sungai Thames yang terbentang didepannya, duduk disamping Rara pada kursi panjang dipinggir pedesterian. Perempuan itu meringkuk, memeluk lututnya seraya termenung menatap lurus kedepan.

Usai mendengar curhatan mantan gebetannya itu, Alam malah bingung harus berkata apa, pasalnya urusan rumah tangga serta beberapa rahasia yang baru saja dilontarkan oleh Rara sungguhlah rumit.

“Ya gak cinta kali guanya.” Jawab Rara gamblang.

Alam menghela napas pelan. “Lo se-yakin itu mau cerai?” Ia berusaha meyakinkan Rara akan keputusan wanita itu.

Rara menggedikkan bahu. “Jujur Gatau. Tapi, gua udah mikirin ini dari lama Lam, kebetulan temen SMA gua ada yang lawyer.” Terpancar tatapan kosong dari manik Rara. “Jujur, gua gak terlalu sakit hati soal Maudy, atau mungkin karena ada yang lebih bikin sakit kali ya jadi gagitu gua pikirin yang itu. Gua lebih sakit hati soal berkas perjanjian itu. Harga diri gua rasanya murah banget, Lam.”

“Kaya di jual sama keluarga sendiri.” Tambah Rara.

Kaya di jual sama keluarga sendiri.

Alam terdiam.

“Bahkan, sakitnya gak bisa gua deskripsiin.” Ucap Rara lagi.

Sakitnya gak bisa gua deskripsiin.

Ya, ini sudah soal harga diri. Siapa pun tidak akan mau menurunkan egonya kalau sudah menyangkut sebuah martabat.

Alam masih terdiam, bingung akan respon apa yang harus ia berikan, semua hal yang Rara ceritakan dengan gamblang barusan bukanlah sesuatu yang pernah ia alami.

Rara menoleh, menatap hampa pria yang kini tengah termenung tak merespon ceritanya. Ia tersenyum tipis.

Rara mengangguk-angguk kecil seraya mengalihkan netranya ke sungai didepan sana. “Gua cuman mau cerita aja Lam, jangan dijadiin beban pikiran ya? sorry kalau lo malah jadi mikir keras harus gimana...” Rara tersenyum kecut, lalu mengambil napas panjang. “I just... don't know how to act now. Semuanya kaya semu Lam buat gua, baru aja gua seneng, taunya palsu dan Anggar lebih milih nemuin... maybe his ex-sweetheart, I don't know haha.”

“Lo cemburu?” Alis Alam naik satu, pernyataan Rara yang kontradiktif barusan membuatnya heran, baru saja perempuan itu berkata ia sakit hati soal berkas perjanjian keluarganya, namun sekarang malah membahas soal perempuan lain. Dasar cewek.

“Kenapa gua harus cemburu?” Tanya Rara, alisnya menukik tajam.

“Kenapa lo gak harus cemburu?” Alam malah bertanya balik membuat Rara semakin heran.

Plok!

“Ih!!” Rara menepuk pelan pundak Alam, merasa kesal akan pemutaran kata yang Alam lontarkan. “Apaansih lo.”

“Tau gitu, dari awal harusnya sama gua aja ya.” Alam malah bercanda ditengah-tengah galaunya Rara, tertawa lah Rara dibuatnya.

Dasar, sebuah obrolan yang gak nyambung!

“Gak jelas! gak bisa gua sama lo Lam. Alergi.” Rara bersedekap, merasa mantap akan kata-katanya.

“Lo aja kali seleranya om-om, makanya milih bang Anggar.” Celetuk Alam.

“Lah dari pada milih brondong kaya lo, yeu! Lagian kita cuman beda 2 taun kali, mana ada om-om!” Rara mencibir pelan.

“Lah brondong yang minatin banyak anjir, janda perancis juga doyan ama gua.” Saut Alam seraya terkekeh pelan.

“Etdah.” Rara malah terbahak, merasa sautan Alam lucu. “Perapatan Ciamis kali ah.”

“Apa yang salah sama prapatan Ciamis? rasis lo!” Alam berseru pelan.

“Dih, gelo ngata-ngatain aing rasis tetibaan kitu.” Reflek Rara menoleh kearah Alam.

“Wedeh, bisa ngomong sunda dikit-dikit nih.” Alis Alam naik turun, mencoba meledek Rara.

“Biasa ajaran Aras, teteh-teteh yang gak teteh samsek karna bangor.” Jawab Rara santai.

Alam langsung terbahak kencang. “Apaan dah, teteh-teteh yang gak teteh.” Masih terkekeh pelan, Alam manggut-manggut kecil. “Iya ya, paling plengosan tu anak, demen banget kelapayan tengah malem. Pantes aja nyokapnya galak.”

“Ya gitu dah pokoknya teteh-teteh yang gak teteh, males jelasinnya.”

Okay, okay, back to topic. Jadi?” Alam menatap Rara intens.

“Ha?” Rara melirik Alam sekilas.

“Ho.” Alam berdecak sebal. “Ya itu, lo demennya yang tua-tua makanya gak demen brondong.”

“Dih, kan, malesin. Sok tau, suka sih, yang muda-muda sedep, apalagi dosen muda.” Rara masih mencoba untuk bercanda

Dosen muda nya udah kandas tapi, ya kan Nggar?

“Yee!” Alam memutar bola matanya malas seraya tersenyum miring. “Suka mah, suka aja Ra, susah amat ngak—

“Bercanda ih!” Sela Rara cepat. “Gua gak serius kali, lo mah gak paham inside jokes! malesin.” Rara menegakkan tubuhnya sembari bersedekap, ia memalingkan wajahnya, berpura-pura ngambek.

“Iya deh.” Alam hanya manggut-manggut sebagai tanggapan. “Terus rencana lo abis cerai ngapain?”

Tiba-tiba sekali pertanyaan Alam ini.

Rara berpikir sejenak. Lalu menggeleng pelan. “Hmm... gak tau ya, keliling dunia kali? pengen nyobain semua resort top dah di seantero dunia.” Rara menatap lurus keatas, menerawang langit-langit biru diatas sana.

“Gaya bet lo.” Alam meledek. “Kaya berani aja, bocil mana berani.”

“Heh! tuaan gua ye, ada adab lo ngomong gitu.” Rara langsung menoyor pelan bahu Alam. “Sopan banget gua liat ye.”

Hening.

“Emangnya…” Awalnya ragu, namun akhirnya Alam bersuara lagi. “Lo udah nyampein uneg-uneg lo ke bang Anggar Ra?” Tanya Alam tiba-tiba. “Selain surat yang lo tulis pas pulang honeymoon?” Tambahnya.

“Gua belom nyampein apa-apa lagi sih.” Rara menghela napas kasar. “Yang jelas, gua sakit hati. Dia biarin gua nunggu di Orient8 sampe malem, awalnya gua optimis mungkin macet, taunya sampe gua lumutan dia gak dateng juga.”

Sekilas Alam memutar maniknya kesana-kemari. “Hmm… Lo udah tau alesannya?”

“Tau.”

Seketika dahi Alam mengkerut heran. “Apa?”

Rara terdiam sejenak, ia menatap kosong kakinya yang terbalut sneakers putih. “Email Anggar tuh... pernah nyangkut di hp gua. Karena apanya gua lupa.” Rara tersenyum kecut. “Dia pesen penerbangan, ke Lombok, tepat setengah jam gua nunggu di Orient8, padahal dia janji mau dateng. Dan, lo tau? Lombok tempat... mungkin ya mungkin first lovenya? gua masih pengen banget mikir ini cuman asumsi gua, tapi setelah apa yang gua liat kemaren, kayaknya bener deh.”

“Apa?”

“Gua kan baca chatnya Lam. Cara Anggar typing aja sweet banget. Ngingetin makan, sampe nyuruh jaga kesehatan. Gua aja jarang dapet text begitu. Seakan-akan Maudy tuh rapuh banget dan Anggar sayang banget.” Rara menghela napas pelan. “Dan, profile picture Maudy…”

Alam terdiam, menunggu kelanjutan kalimat Rara.

“Foto sama Anggar, gua inget kemejanya. Kemeja yang Anggar pake waktu pulang dari Lombok waktu itu. Berarti kan Maudy nganterin Anggar balik.” Rara langsung menunduk murung, tak kuasa menahan bulir kristal yang sedaritadi ia tahan.

“Ra…”

“Chatnya panjang, sebenernya. Tapi gua gak scroll keatas-atas, soalnya—

“Gua gak berani baca.” Tambah Rara.

Jeda.

“Karena kalo gua lanjutin baca keatas. Gua yakin, gua bakal ngebenci Anggar lebih dari apapun.” Kembali Rara menambahkan.

“Ra...” Alam hanya bisa menenangkan Rara, mengelus pundak Rara yang mulai bergetar dan isakan kecil itu akhirnya lolos mengisi rungu Alam.

Memang, lebih baik berhenti, daripada kita tau lebih banyak lagi, karena something you don’t know, wouldn’t hurt you.

“Kenapa?” “Kenapa lo se-gegabah itu? gak mau pikirin baik-baik dulu?”

Alam memandang sungai Thames yang terbentang didepannya, duduk disamping Rara pada kursi panjang dipinggir pedesterian. Perempuan itu meringkuk, memeluk lututnya seraya termenung menatap lurus kedepan.

Usai mendengar curhatan mantan gebetannya itu, Alam malah bingung harus berkata apa, pasalnya urusan rumah tangga serta beberapa rahasia yang baru saja dilontarkan oleh Rara sungguhlah rumit.

“Ya gak cinta kali guanya.” Jawab Rara gamblang.

Alam menghela napas pelan. “Lo se-yakin itu mau cerai?” Ia berusaha meyakinkan Rara akan keputusan wanita itu.

Rara menggedikkan bahu. “Jujur Gatau. Tapi, gua udah mikirin ini dari lama Lam, kebetulan temen SMA gua ada yang lawyer.” Terpancar tatapan kosong dari manik Rara. “Jujur, gua gak terlalu sakit hati soal Maudy, atau mungkin karena ada yang lebih bikin sakit kali ya jadi gagitu gua pikirin yang itu. Gua lebih sakit hati soal berkas perjanjian itu. Harga diri gua rasanya murah banget, Lam.”

“Kaya di jual sama keluarga sendiri.” Tambah Rara.

Kaya di jual sama keluarga sendiri.

Alam terdiam.

“Bahkan, sakitnya gak bisa gua deskripsiin.” Ucap Rara lagi.

Sakitnya gak bisa gua deskripsiin.

Ya, ini sudah soal harga diri. Siapa pun tidak akan mau menurunkan egonya kalau sudah menyangkut sebuah martabat.

Alam masih terdiam, bingung akan respon apa yang harus ia berikan, semua hal yang Rara ceritakan dengan gamblang barusan bukanlah sesuatu yang pernah ia alami.

Rara menoleh, menatap hampa pria yang kini tengah termenung tak merespon ceritanya. Ia tersenyum tipis.

Rara mengangguk-angguk kecil seraya mengalihkan netranya ke sungai didepan sana. “Gua cuman mau cerita aja Lam, jangan dijadiin beban pikiran ya? sorry kalau lo malah jadi mikir keras harus gimana...” Rara tersenyum kecut, lalu mengambil napas panjang. “I just... don't know how to act now. Semuanya kaya semu Lam buat gua, baru aja gua seneng, taunya palsu dan Anggar lebih milih nemuin... maybe his ex-sweetheart, I don't know haha.”

“Lo cemburu?” Alis Alam naik satu, pernyataan Rara yang kontradiktif barusan membuatnya heran, baru saja perempuan itu berkata ia sakit hati soal berkas perjanjian keluarganya, namun sekarang malah membahas soal perempuan lain. Dasar cewek.

“Kenapa gua harus cemburu?” Tanya Rara, alisnya menukik tajam.

“Kenapa lo gak harus cemburu?” Alam malah bertanya balik membuat Rara semakin heran.

Plok!

“Ih!!” Rara menepuk pelan pundak Alam, merasa kesal akan pemutaran kata yang Alam lontarkan. “Apaansih lo.”

“Tau gitu, dari awal harusnya sama gua aja ya.” Alam malah bercanda ditengah-tengah galaunya Rara, tertawa lah Rara dibuatnya.

Dasar, sebuah obrolan yang gak nyambung!

“Gak jelas! gak bisa gua sama lo Lam. Alergi.” Rara bersedekap, merasa mantap akan kata-katanya.

“Lo aja kali seleranya om-om, makanya milih bang Anggar.” Celetuk Alam.

“Lah dari pada milih brondong kaya lo, yeu! Lagian kita cuman beda 2 taun kali, mana ada om-om!” Rara mencibir pelan.

“Lah brondong yang minatin banyak anjir, janda perancis juga doyan ama gua.” Saut Alam seraya terkekeh pelan.

“Etdah.” Rara malah terbahak, merasa sautan Alam lucu. “Perapatan Ciamis kali ah.”

“Apa yang salah sama prapatan Ciamis? rasis lo!” Alam berseru pelan.

“Dih, gelo ngata-ngatain aing rasis tetibaan kitu.” Reflek Rara menoleh kearah Alam.

“Wedeh, bisa ngomong sunda dikit-dikit nih.” Alis Alam naik turun, mencoba meledek Rara.

“Biasa ajaran Aras, teteh-teteh yang gak teteh samsek karna bangor.” Jawab Rara santai.

Alam langsung terbahak kencang. “Apaan dah, teteh-teteh yang gak teteh.” Masih terkekeh pelan, Alam manggut-manggut kecil. “Iya ya, paling plengosan tu anak, demen banget kelapayan tengah malem. Pantes aja nyokapnya galak.”

“Ya gitu dah pokoknya teteh-teteh yang gak teteh, males jelasinnya.”

Okay, okay, back to topic. Jadi?” Alam menatap Rara intens.

“Ha?” Rara melirik Alam sekilas.

“Ho.” Alam berdecak sebal. “Ya itu, lo demennya yang tua-tua makanya gak demen brondong.”

“Dih, kan, malesin. Sok tau, suka sih, yang muda-muda sedep, apalagi dosen muda.” Rara masih mencoba untuk bercanda

Dosen muda nya udah kandas tapi, ya kan Nggar?

“Yee!” Alam memutar bola matanya malas seraya tersenyum miring. “Suka mah, suka aja Ra, susah amat ngak—

“Bercanda ih!” Sela Rara cepat. “Gua gak serius kali, lo mah gak paham inside jokes! malesin.” Rara menegakkan tubuhnya sembari bersedekap, ia memalingkan wajahnya, berpura-pura ngambek.

“Iya deh.” Alam hanya manggut-manggut sebagai tanggapan. “Terus rencana lo abis cerai ngapain?”

Tiba-tiba sekali pertanyaan Alam ini.

Read more...

“Kenapa?” “Kenapa lo se-gegabah itu? gak mau pikirin baik-baik dulu?”

Alam memandang sungai Thames yang terbentang didepannya, duduk disamping Rara pada kursi panjang dipinggir pedesterian. Perempuan itu meringkuk, memeluk lututnya seraya termenung menatap lurus kedepan.

Usai mendengar curhatan mantan gebetannya itu, Alam malah bingung harus berkata apa, pasalnya urusan rumah tangga serta beberapa rahasia yang baru saja dilontarkan oleh Rara sungguhlah rumit.

“Ya gak cinta kali guanya.” Jawab Rara gamblang.

Alam menghela napas pelan. “Lo se-yakin itu mau cerai?” Ia berusaha meyakinkan Rara akan keputusan wanita itu.

Rara menggedikkan bahu. “Jujur Gatau. Tapi, gua udah mikirin ini dari lama Lam, kebetulan temen SMA gua ada yang lawyer.” Terpancar tatapan kosong dari manik Rara. “Jujur, gua gak terlalu sakit hati soal Maudy, atau mungkin karena ada yang lebih bikin sakit kali ya jadi gagitu gua pikirin yang itu. Gua lebih sakit hati soal berkas perjanjian itu. Harga diri gua rasanya murah banget, Lam.”

“Kaya di jual sama keluarga sendiri.” Tambah Rara.

Kaya di jual sama keluarga sendiri.

Alam terdiam.

“Bahkan, sakitnya gak bisa gua deskripsiin.” Ucap Rara lagi.

Sakitnya gak bisa gua deskripsiin.

Ya, ini sudah soal harga diri. Siapa pun tidak akan mau menurunkan egonya kalau sudah menyangkut sebuah martabat.

Alam masih terdiam, bingung akan respon apa yang harus ia berikan, semua hal yang Rara ceritakan dengan gamblang barusan bukanlah sesuatu yang pernah ia alami.

Rara menoleh, menatap hampa pria yang kini tengah termenung tak merespon ceritanya. Ia tersenyum tipis.

Rara mengangguk-angguk kecil seraya mengalihkan netranya ke sungai didepan sana. “Gua cuman mau cerita aja Lam, jangan dijadiin beban pikiran ya? sorry kalau lo malah jadi mikir keras harus gimana...” Rara tersenyum kecut, lalu mengambil napas panjang. “I just... don't know how to act now. Semuanya kaya semu Lam buat gua, baru aja gua seneng, taunya palsu dan Anggar lebih milih nemuin... maybe his ex-sweetheart, I don't know haha.”

“Lo cemburu?” Alis Alam naik satu, pernyataan Rara yang kontradiktif barusan membuatnya heran, baru saja perempuan itu berkata ia sakit hati soal berkas perjanjian keluarganya, namun sekarang malah membahas soal perempuan lain. Dasar cewek.

“Kenapa gua harus cemburu?” Tanya Rara, alisnya menukik tajam.

“Kenapa lo gak harus cemburu?” Alam malah bertanya balik membuat Rara semakin heran.

Plok!

“Ih!!” Rara menepuk pelan pundak Alam, merasa kesal akan pemutaran kata yang Alam lontarkan. “Apaansih lo.”

“Tau gitu, dari awal harusnya sama gua aja ya.” Alam malah bercanda ditengah-tengah galaunya Rara, tertawa lah Rara dibuatnya.

Dasar, sebuah obrolan yang gak nyambung!

“Gak jelas! gak bisa gua sama lo Lam. Alergi.” Rara bersedekap, merasa mantap akan kata-katanya.

“Lo aja kali seleranya om-om, makanya milih bang Anggar.” Celetuk Alam.

“Lah dari pada milih brondong kaya lo, yeu! Lagian kita cuman beda 2 taun kali, mana ada om-om!” Rara mencibir pelan.

“Lah brondong yang minatin banyak anjir, janda perancis juga doyan ama gua.” Saut Alam seraya terkekeh pelan.

“Etdah.” Rara malah terbahak, merasa sautan Alam lucu. “Perapatan Ciamis kali ah.”

“Apa yang salah sama prapatan Ciamis? rasis lo!” Alam berseru pelan.

“Dih, gelo ngata-ngatain aing rasis tetibaan kitu.” Reflek Rara menoleh kearah Alam.

“Wedeh, bisa ngomong sunda dikit-dikit nih.” Alis Alam naik turun, mencoba meledek Rara.

“Biasa ajaran Aras, teteh-teteh yang gak teteh samsek karna bangor.” Jawab Rara santai.

Alam langsung terbahak kencang. “Apaan dah, teteh-teteh yang gak teteh.” Masih terkekeh pelan, Alam manggut-manggut kecil. “Iya ya, paling plengosan tu anak, demen banget kelapayan tengah malem. Pantes aja nyokapnya galak.”

“Ya gitu dah pokoknya teteh-teteh yang gak teteh, males jelasinnya.”

Okay, okay, back to topic. Jadi?” Alam menatap Rara intens.

“Ha?” Rara melirik Alam sekilas.

“Ho.” Alam berdecak sebal. “Ya itu, lo demennya yang tua-tua makanya gak demen brondong.”

“Dih, kan, malesin. Sok tau, suka sih, yang muda-muda sedep, apalagi dosen muda.” Rara masih mencoba untuk bercanda

Dosen muda nya udah kandas tapi, ya kan Nggar?

“Yee!” Alam memutar bola matanya malas seraya tersenyum miring. “Suka mah, suka aja Ra, susah amat ngak—

“Bercanda ih!” Sela Rara cepat. “Gua gak serius kali, lo mah gak paham inside jokes! malesin.” Rara menegakkan tubuhnya sembari bersedekap, ia memalingkan wajahnya, berpura-pura ngambek.

“Iya deh.” Alam hanya manggut-manggut sebagai tanggapan. “Terus rencana lo abis cerai ngapain?”

Tiba-tiba sekali pertanyaan Alam ini.

Rara berpikir sejenak. Lalu menggeleng pelan. “Hmm... gak tau ya, keliling dunia kali? pengen nyobain semua resort top dah di seantero dunia.” Rara menatap lurus keatas, menerawang langit-langit biru diatas sana.

“Gaya bet lo.” Alam meledek. “Kaya berani aja, bocil mana berani.”

“Heh! tuaan gua ye, ada adab lo ngomong gitu.” Rara langsung menoyor pelan bahu Alam. “Sopan banget gua liat ye.”

Hening.

“Emangnya…” Awalnya ragu, namun akhirnya Alam bersuara lagi. “Lo udah nyampein uneg-uneg lo ke bang Anggar Ra?” Tanya Alam tiba-tiba.

“Selain surat yang lo tulis pas pulang honeymoon?

“Gua belom nyampein apa-apa lagi sih.” Rara menghela napas kasar. “Yang jelas, gua sakit hati. Dia biarin gua nunggu di Orient8 sampe malem, awalnya gua optimis mungkin macet, taunya sampe gua lumutan dia gak dateng juga.”

Sekilas Alam memutar maniknya kesana-kemari. “Hmm… Lo udah tau alesannya?”

“Tau.”

Seketika dahi Alam mengkerut heran. “Apa?”

Rara terdiam sejenak, ia menatap kosong kakinya yang terbalut sneakers putih. “Email Anggar tuh... pernah nyangkut di hp gua. Karena apanya gua lupa.” Rara tersenyum kecut. “Dia pesen penerbangan, ke Lombok, tepat setengah jam gua nunggu di Orient8, padahal dia janji mau dateng. Dan, lo tau? Lombok tempat... mungkin ya mungkin first lovenya? gua masih pengen banget mikir ini cuman asumsi gua, tapi setelah apa yang gua liat kemaren, kayaknya bener deh.”

“Apa?”

“Gua kan baca chatnya Lam. Cara Anggar typing aja sweet banget. Ngingetin makan, sampe nyuruh jaga kesehatan. Gua aja jarang dapet text begitu. Seakan-akan Maudy tuh rapuh banget dan Anggar sayang banget.” Rara menghela napas pelan. “Dan, profile picture Maudy…”

Alam terdiam, menunggu kelanjutan kalimat Rara.

“Foto sama Anggar, gua inget kemejanya. Kemeja yang Anggar pake waktu pulang dari Lombok waktu itu. Berarti kan Maudy nganterin Anggar balik.” Rara langsung menunduk murung, tak kuasa menahan bulir kristal yang sedaritadi ia tahan.

“Ra…”

“Chatnya panjang, sebenernya. Tapi gua gak scroll keatas-atas, soalnya—

“Gua gak berani baca.” Tambah Rara.

Jeda.

“Karena kalo gua lanjutin baca keatas. Gua yakin, gua bakal ngebenci Anggar lebih dari apapun.” Kembali Rara menambahkan.

“Ra...” Alam hanya bisa menenangkan Rara, mengelus pundak Rara yang mulai bergetar dan isakan kecil itu akhirnya lolos mengisi rungu Alam.

Memang, lebih baik berhenti, daripada kita tau lebih banyak lagi, karena something you don’t know, wouldn’t hurt you.

Unbeliveable. Senangnya bukan main.

Akhirnya Rara menapakkan kakinya di Paris, setelah semalam sampai pada pukul 21.20 waktu setempat, dan kebetulan mata Rara dan Anggar sudah sepet dan lecek mereka pun langsung pergi ke hotel, dan tertidur pulas setelahnya. Bahkan mereka tak sempat membereskan perlengkapan yang mereka bawa.

Paginya mereka berencana untuk city tour. Senyum sumringah tak pernah luntur dari wajah Anggar, Rara sampai keheranan melihatnya. Ya tapi Rara pun turut senang sih, apalagi melihat bangunan-bangunan yang biasanya cuma bisa dilihat di film-film.

Pagi ini udaranya super duper dingin, Rara beberapa kali menggosok lengannya pelan. Bodoamat lah anjir yang penting jalan-jalan.

Rara yang tengah menggosok-gosok jemarinya seketika terkejut saat Anggar tanpa aba-aba meraih tangannya lalu meniupnya pelan. “Masih dingin?”

Rara meneguk ludah pelan. Anjirrrrr.

“Yeh ditanya, masih dingin gak?”

YA KALAU DITANYA DINGIN APA NGGAK YA MASIH NGGAR KAN 7°C, MASALAHNYA SEKARANG TANGAN GUA LO PEGANG!!!

“Kok diem aja?” Anggar memiringkan kepalanya, menunggu Rara menjawab.

“Y-ya... bibir saya rada beku, jadi susah ngomong.” Buru-buru Rara menarik tangannya. Aduh aduh aduh, masih pagi...

Rencananya pagi ini mereka mau pergi ke Arch de Triomphe, bangunan besar yang ada ditengah kota. Sejenak mereka habiskan waktu dengan berfoto- foto disana, apalagi Mami yang kerap meminta untuk video call membuat Rara menghela napas berkali-kali.

Anggar lah yang kerap mendapat panggilan itu, alhasil sekarang ia tengah memegang ponselnya mengarahkan benda itu ke wajahnya dengan Rara yang berada disampingnya.

“Hallo!! gimana sayang disanaa?” Terlihat Mami yang tengah dadah-dadah dibenua bagian sebrang sana. Tak hanya Mami, ternyata perempuan paruh baya itu tengah berkumpul dirumah Eyang Her.

“Assalamualaikum mas Anggar... Rara..aduh putu eyang...kangen nihhh. Gimana kabar kalian...” Kini Eyang yang dadah-dadah dari sebrang sana.

“Waalaikumsalam.. Kita baik-baik aja kok... Hehe..” Rara dan Anggar hanya bisa terkekeh mendengar pertanyaan yang bertubi-tubi dari Mami dan Eyang.

“Rara ngerepotin gak bang.” Eh Ramzy nimbrung dibelakang Eyang.

Rara reflek memutar bola matanya malas. “Nimbrung aja lo Zy!”

“Hahahaaa...” Baik Eyang, Mami dan Ramzy hanya terkekeh pelan menanggapi. “Mas Anggar gimana? Rara atau kamu gak sakit kan selama disana.” Tanya Papa tiba-tiba, ternyata pria itu juga ada disebelah Eyang.

Anggar dengan segala 'Tanpa aba-abanya' langsung menaruh jemarinya pada pucuk surai Rara, mengelusnya pelan. “We're having fun here! no need to worry Pa.” Ucap Anggar sembari menyandarkan kepala rara pada dadanya.

Anggar lo ngapain anjir.

“Aduhh...aduhh... yaampun Mami gakuat... Ma liat deh cucu Mama ini yaampunn....” Mami langsung terenyuh melihatnya. Rara yang sekarang tengah membeku masih bisa terheran melihat Mami yang tersentuh hanya karena adegan cheesy ini.

Usai mematikan video call, Rara langsung mengenyahkan dirinya dari dada Anggar. “Kamu ngapain tadi?” Tanya Rara, masih dengan wajahnya yang sedikit memerah.

“Nunjukin ke mereka lah, kalau kita seneng-seneng disini.” Jawab anggar enteng.

Really? kasian dong yang mereka liat palsu.” Ucap Rara tanpa sadar, ia fokus memotret pahatan-pahatan cantik dilangit-langit gapura kemenangan yang dibangun atas perintah Napoleon Bonaparte.

“Palsu? siapa bilang?”

Rara menoleh kearah Anggar. “Ya emangnya asli?”

“Masa palsu?” Anggar malah balik bertanya.

Rara terdiam sebentar. “Masa... asli?”

Yeh.

“Gak tau ah.” Anggar pun berbalik berjalan menuju terowongan bawah tanah yang tadi mereka gunakan untuk masuk ketengah gapura.

“Ehh!! kok ditinggalll, Anggar ihhh!!”

Kok malah ngambek sih tiba-tiba! gajelasss.


“IHHHH!!! MOANA!!!”

Teriak Rara menggelegar, saat maniknya menangkap patung Moana yang tengah memegang kayuh. Sesudah dari Arch de Triomphe mereka langsung menuju stasiun MRT dan memilih untuk pergi ke Champs-Élysées. Jalanan yang penuh akan toko-toko branded. Tapi Anggar keheranan saat manik Rara berbinar-binar saat melihat Disney store.

“Fotoin! fotoin!” Rara berseru senang. Ia pun langsung berpose-pose gemas bersama Moana, Anggar sesekali tersenyum tipis melihat layar ponselnya.

Usai selesai membeli beberapa barang disney yang menurut Anggar itu hanya untuk pajangan, mau bagaimanapun juga Rara tetap perempuan biasa yang menyukai hal-hal receh. Setelah itu mereka berjalan ke Museum Louvre, bangunan kaca segitiga yang menjadi kediaman tetap lukisan Monalisa.

“D-ddu-uh huuuhh...” Rara menghela napas berat, ia menopang tubuhnya dengan kedua jemari yang berpegangan pada lututnya.

“Mo minum?” Anggar menyodorkan tumblrnya, lalu tanpa bicara Rara langsung merampasnya, meneguknya tanpa ampun.

Ternyata berjalan sejauh 3.5 KM itu bikin kaki pengkor dan napas tersengal-sengal. Rara sampai memegang bahu Anggar berkali-kali saat ia kelelahan. “Makanya rajin olahraga biar gak gampang capek.” Anggar malah meledek.

“Ih!! capek tau, jauh banget ternyata.”

Musée du Louvre. Senyum Rara merekah ruah saat maniknya menatap bangunan segitiga itu. Maniknya sampai berkaca-kaca karena ia terharu. “Duh mbak Monalisa, I'm cominggg!!

Usai membeli tiket seharga €20, atau bila dirupiahkan setara dengan tiga ratus ribu rupiah.

Kini keduanya tengah memandangi lukisan Monalisa yang ramai, saking ramainya, beberapa kali Rara terhuyung karena tersenggol orang, alhasil selama didalam museum Rara dirangkul oleh Anggar, jangan tanya perasaan Rara, campur aduk perut Rara dibuatnya.

“Tau gak Nggar, apa yang terpenting dari lukisan Monalisa?' ucap Rara sembari bersedekap.

“Apatuh?” Anggar ikut bersedekap, maniknya fokus menatap Lukisan.

“Jadi tuh tahun 1911 si pencuri ngambil lukisannya dari dinding museum kan, terus pokoknya mereka berhasil tuh nyuri, eh dua tahun kemudian salah satu pelaku nyoba buat ngejual, eh apesnya ada salah satu pembeli yang curiga terus lapor polisi, yaudah deh abis itu diliput sama media, jadinya tuh lukisan jadi lukisan paling terkenal sedunia.” Jelas Rara panjang lebar.

Anggar hanya manggut-manggut, lalu ia tersenyum tipis. “Tapi... tau gak Ra, apa yang lebih penting dari dicurinya lukisan Monalisa.”

Rara menoleh kearah Anggar yang masih fokus pada lukisan didepan sana. “Lukisan apalagi yang dicuri?”

“Bukan lukisan sih,” Anggar terdiam sejenak, Rara masih memandang Anggar, menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya. “Tapi... hati saya.”

H-hhat-tti?!

“Gimana? gimana?” Rara menatap Anggar serius. “Organ kamu pernah dicuri? kamu... pernah jadi korban human trafficking???”

Anggar malah terbahak mendengarnya. “Nggak dong cantik,” Ia menoel hidung Rara gemas. “Maksudnya hati saya ya... perasaan saya dong.”

EALAHH.

“Duh kalau nyuri harusnya dihukum gak sih kaya pencuri lukisan itu.” Rara mencoba menimpalinya asal.

“Ya udah saya hukum sih.”

“Gimana tuh.” Rara menegakkan tubuhnya, merasa penasaran dengan jawaban Anggar.

“Saya nikahin.” Manik Anggar beralih dari lukisan ke arah Rara, ditatapnya bola mata perempuan itu. “Kamu tuh culprit-nya.”

ANJIRRRR!!

ZZzz! Seketika bulu kuduk Rara meremang hanya dengan tatapan Anggar yang dalam kepadanya, Rara mencoba mencari ketulusan didalam manik coklat itu, because eyes never lie.

“Eh udah yuk yuk, kita keluar aja makin rame soalnya.” Tak kuasa menatap manik Anggar Rara langsung menarik tangan Anggar keluar dari kerumunan yan mengerubungi Lukisan siang itu.

Baru saja beberapa langkah Rara berbalik, Anggar menarik tangan Rara.

CUP~

Anggar mengecup pipi Rara cepat. “Kamu gemes ya kalau salah tingkah gini.” ditatapnya Rara yang tengah kesulitan menelan ludahnya.

Kenapa pake nyium sihhh?!

Rara bukannya menjawab malah menyelinap kabur ditengah keramaian museum.

Gua malu anjirrrr, malu bangettt!! gua mau punah sekarang juga plisss!! Anggar manis banget masalahnyaaaa.

Rara sampai diluar museum Louvre, menunggu pria itu keluar sembari menunduk malu. Rona merah masih terasa panas dikedua pipinya.

Grep.

Seketika tangannya dipegang dari belakang. “Jangan misah Rara, nanti ilang.” Anggar sedikit meninggikan suaranya.

Rara masih terdiam.

“Rara, saya cheesy banget ya?” Tanya Anggar tiba-tiba.

Tidak ada jawaban.

KRUYUK! Jadilah perut Rara yang menjawab.

Rara tersenyum canggung saat suara perutnya berbunyi keras, Anggar pun hanya tersenyum tipis seraya menarik perempuan itu untuk mencari restoran terdekat.

Setelah merundingkannya sejenak, akhirnya mereka makan siang di Restoran Le Wilson , salah satu restoran yang berada persis disebrang Trocadéro, pelataran lebar yang biasa buat orang-orang foto pre-wedding itu.

“Bonjour!”, sapa pelayan restoran. Rara dan Anggar sibuk memilih berbagai macam menu, Rara memesan berbagai patisserie dan steak serta segelas white chocolate, sedangkan Anggar dengan segala rasa penasarannya memesan es cargot, kalau kata Rara, Ih makan umang-umang. Soalnya es cargot itu terbuat dari bekicot.

Usai makan siang Rara dan Anggar berjalan-jalan disekitar pekarangan Eiffle Tower.

Banyak sekali pasangan yang berciuman disana, membuat Rara sesekali memalingkan wajahnya malu. Ya sebenarnya budaya disini ya memang seperti itu, namun melihat hal itu dengan Anggar kan jadi canggung.

Cuaca sore ini sedikit foggy, bau-bau akan turun hujan semakin terasa. Namun hal itu tidak menghentikan Rara dan Anggar untuk berfoto-foto dipekarangan menara Eiffle.

Entah mengapa melihat banyak sekali pasangan yang berpacaran mesra membuat suasana terasa panas, ditatapnya tangan Rara yang digenggam oleh Anggar. Sudah sedaritadi sebenarnya jantung Rara terus-terusan memompa tanpa irama, bahkan kupu-kupu yang berkeliaran bebas pada perutnya tak kunjung berhenti mengepakkan sayapnya.

Repot banget sih suka sama orang. Sudah lama Rara tidak merasakan ini, gemuruh hebat yang terus menerjang hatinya, desiran pasir yang terus memenuhi kepalanya, serta sengatan listrik yang melingkupi ujung jemarinya. Sungguh, Rara sudah baper maksimal.

“Ra sini deh saya fotoin.” Anggar mundur beberapa langkah.

“Ngapain deh?”

Anggar menyingkirkan ponselnya dari wajahnya. “Fotoin kamu lah, saya mau punya foto kamu disini.”

Mulutmu, Harimaumu.

Rara tak kuat.

Alhasil ia hanya berpose-pose canggung, karena tak sanggup menahan semburat merah yang ada dipipinya.

“Ra, quick question for you.” Tiba-tiba Anggar merekam dirinya dan Rara pada kamera ponselnya.

Rara yang keheranan menatap layar ponsel Anggar hanya bisa menjawab singkat. “What?”

“What my privilege if I am your lover?” Ucap Anggar seraya melihat layar ponselnya.

Rara merengut, terkekeh pelan kemudian. “Hmm... you'll be the first one i send memes to, maybe...” Lalu Rara menoleh kearah Anggar. “How about you?”

Sejenak Anggar terdiam. “Hmm... maybe... you'll be my priority with 24/7 attention and affection from me.

TIK!

TIK!

TIK!

BRESS!

“Ehhh ujann Ra!!” Anggar langsung memasukkan ponselnya kekantung celananya lalu melepas jaketnya, menyampirkannya keatas kepala Rara dan merangkul perempuan itu erat. “Neduh dulu ayok.”

Tapi Rara malah menepis rangkulan Anggar. “Ujan-ujanan aja yuk, saya udah lama banget gak ujan-ujanan.”

Anggar menatap Rara heran, namun tersenyum lebar kemudian, entah mengapa tanpa malu mereka menari dibawah hujan lebat, didepan menara eiffle yang mungkin cemburu akan pasangan yang tengah berbahagia itu.

Seketika Rara tersenyum lebar, rintikan hujan masih terus menghujani wajah serta tubuh mereka, kini mereka sudah basah kuyup. “NGGAR!!!”

“IYA RA KENAPA?!” Anggar menatap Rara tepat dibola mata wanita itu.

EIFFLE FOR YOU!!!” Ucap Rara lantang.

Mereka tampak tak tau malu dilihati oleh para turis lainnya yang berteduh ditepi sana.

“HAH APA?? GAK DENGER RA!!!”

EIFFLE FOR YOU!!!

“HAH GIMANA BAWA MENARA EIFFLE KE JAKARTA??? GANTUNGAN KUNCI MAKSUD KAMU?”

Rara kembali terbahak pelan, diusapnya wajah yang kian penuh dengan rintikkan air hujan. “MAKSUD SAYA I FELL FOR YOU NGGAR, SAYA JATUH CINTA SAMA KAMU!!”

Anggar terdiam sejenak, masih dengan Rara yang tersenyum sumringah. Namun senyuman Rara pudar begitu saja saat tiba-tiba Anggar melumat ranumnya,

Pria itu melumat lembut bibir Rara dibawah rintikan hujan, serta menara Eiffle yang menjadi saksi bisu pernyataan cinta Rara terhadap Anggar.

Anggar menangkup wajah Rara, memagut wanitanya lembut, mengigit kecil ranum Rara pelan, terasa gairah dari keduanya yang kian memuncak, entah mengapa urat malu sudah tak ada harganya. Ini romantis untuk Rara!

Anggar melepas pagutannya, sejenak ia menatap wajah Rara yang basah, seketika ia tersenyum lebar. “Makasih, Ra.” Anggar kembali melumat bibir Rara, tak sempat perempuan itu membalas kata, hanya rasa yang bisa membalas, betapa bahagianya Rara sekarang.

Anggar mendekatkan bibirnya kearah telinga Rara. “I want you.”

Seketika bulu kuduk Rara kembali meremang. Anggar merengkuh tubuh kurus Rara, lalu menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Rara. “I want you in my bed.”

Seketika Rara menyunggingkan senyumnya. She flushed when she realized they're just kissed in the middle of the rain.

Paris, the city of love. Indeed.