@mintsugarkyopta

Selamat membaca sayang!

Sempat tadi Rara dan Anggar pergi ke Emirates stadion, sekedar berfoto-foto karena keduanya sama-sama penyuka Arsenal, ternyata. Namun, menjelajahi landmark serta beberapa tempat yang wajib di London, kurang rasanya bagi mereka berdua jika tidak BELANJA.

Keduanya memang maniak soal hal itu, yang satu gemar mencari diskon, yang satu lagi gemar menghamburkan uang tanpa henti.

“Mau ke toko mainan dulu, bentar.” “Oke.” Anggar hanya manggut-manggut .

Berjalan di tengah hiruk pikuk kota London, berbelanja di jajaran store mewah, menjelajahi Harrods serta berkuliner singkat, sebagai penutup perjalanan mereka disana.

Saking asyiknya, Rara sampai lupa mau membeli mainan bayi untuk anak Hannan dan Gege yang mungkin beberapa bulan lagi akan lahir, jadilah wanita itu memasuki Harrods Toys Kingdom yang menyajikan banyak mainan anak.

Sibuk memilih-milih boneka yang lucu, Anggar tiba-tiba hilang dari pandangan Rara, perempuan itu melirik kesana-kemari, Ah bodolah dia lagi kemana kali ya.

Hingga Rara selesai membayar boneka teddy berukuran sedang, dengan beberapa baby care yang ia beli di toko sebelah Rara berjalan ke luar toko.

“Mana deh Anggar.” Rara celingak-celinguk sendirian, rungunya hanya mendengar bule yang tengah berhaha-hihi dengan keluarga, terdengar dengan jelas aksen british yang kental disekitarnya, namun tak juga Anggar terlihat. Mana sihhh? ditelfon juga gak nyaut-nyaut lagi.

Hingga 5 menit Rara bosan menunggu, ia kembali masuk ke store mainan plus babycare itu, tokonya sangat luas, kembali perempuan itu masuk. Selagi asyik melihat-lihat, tiba-tiba maniknya menangkap Anggar yang tengah memegang dua buah baby shoes seperti menimang-nimang diujung lorong. Nah tu dia!

“Nggar!”

Reflek Anggar menoleh kesana-kemari mencari sumber suara. “Eh? udah?” Maniknya melihat kantung belanja yang tersampir pada pergelangan Rara. Rara hanya mengangguk singkat.

“Menurut kamu bagus yang putih apa yang kuning?” Tanya Anggar sembari menyodorkan dua buah sepatu bayi.

Dahi Rara mengkerut tipis. “Buat siapa?”

“Eum... gak buat siapa-siapa sih, oleh-oleh aja... siapa tau...” Ada jeda panjang disana, Rara hanya diam menungggu kelanjutan kalimat Anggar.

“Ya siapa tau nanti kita punya anak, seenggaknya mereka punya barang yang kita beli pas kita honeymoon.” Ucap Anggar santai.

Family oriented, he is.

Wajah Rara mundur beberapa inchi. “Gimana-gimana?” Masih belum menangkap maksud Anggar.

“Ya... gak ada salahnya kan nurutin permintaan Mami... Papi... dan Papa kamu?” Anggar menatap Rara intens, tepat dibola mata Rara.

Rara meneguk ludahnya pelan. “You-

“Iya.” Seperti tahu kelanjutan kalimat Rara, Anggar mengangguk mantap.

“Kenapa tiba-tiba mikirin itu? bukannya kamu gak peduli sama permintaan mereka?”

Anggar tersenyum tipis sembari memiringkan kepalanya. “Gak ada yang bilang saya gamau. I want it too.

Hah? Rara termenung didepan Anggar.

“Bercanda, hehe. Ini pilih yang mana?” Masih fokus menatap dua buah sepatu bayi ditangannya.

“Itu yang kuning lucu.” Jawab Rara asal.

“Oke.”

Rara sebenarnya heran, mengapa pria ini tiba-tiba mengalihkan topik?


Usai berbelanja, Rara dan Anggar kembali ke hotel, semalam mereka telah mengemas barang-barang untuk bisa langsung mengangkutnya saat check-out.

Setibanya di St Pancras Station tadi sore mereka langsung check-in, dan kini mereka telah duduk di bangku business premier kereta eurostar yang tengah melaju super cepat. Selama perjalanan pun Rara dan Anggar banyak tidur, wajar saja kepala mereka masih sedikit cenat-cenut perihal skydive tadi siang. Hingga Rara terbangun ditengah perjalanan, lantas ia bermain ponsel karena tidak bisa tidur lagi.

Sebenarnya Rara sesekali melirik kearah Anggar yang tengah tertidur pulas disebelahnya. Sejenak Rara berpikir, tadi Anggar kesulitan bernapas juga gak ya? Apa Anggar berteriak seperti Rara berteriak? Apa dia punya perasaan kesal melihat Rara memeluk Rumi? Apa ada hal-hal seperti itu pada diri Anggar?

Dan... siapa Maudy? se-memorable itu kah perempuan itu hingga Anggar kerap menyebutkannya saat bersama Rara, Rara tuh kesal, kini Rara sadar bahwa ia sudah baper tidak ketulungan kepada pria disampingnya itu. Anggar yang manis, Anggar yang hangat, namun bisa juga Anggar yang jutek.

Dipandangnya wajah Anggar yang damai, Kalau dilihat-lihat pria ini memeiliki wajah polos, sepolos anak kecil. Tampan, setampan Idol korea yang Rara kagumi, dan se...

Seketika manik itu terbuka.

Hap. Tertangkap basah Rara dibuatnya.

“Udah liatinnya?” Anggar tersenyum jahil.

Otomatis Rara langsung kelabakan. “Ee-ngg-ak-k.” Ia memalingkan wajahnya kebawah sembari menahan malu yang sudah memuncak.

Anggar menoleh kearah Rara. “Liatin lagi doang.”

Masih saja Rara menunduk, sibuk bermain ponsel, sekedar membuka-tutup laman instagram. “Apasih, nggak! saya gak liatin kamu.” ketus Rara.

Anggar menghela napas. “Gapapa tau, jujur aja susah amat sih, saya seneng tau diliatin kamu.” Tersenyum lagi pria itu.

“Kamu gak tidur ya! pura-pura tidur kan saya tau.” Rara malah menuduh Anggar.

Anggar mendengus pelan, lalu ia mengubah posisinya, tiba-tiba ia menaruh kepalanya pada bahu Rara. “Ehh! ngapain Nggar.”

“Sstt, saya mau tidur, capek.”

Anggar kembali terlelap, dan Rara... Ya sudha berubah menjadi kepiting rebus.

Aku terbang, Kamu terbang, kalau cinta kita? jangan terbang juga ya.

Kalau urusan melanglang buana menjelajahi sudut-sudut dunia, Rara juaranya. Cocok sebenarnya dengan Anggar yang suka travelling tapi butuh teman yang banyak bicara, karena dirinya sendiri lumayan irit bersuara.

Setelah berperang batin akan gundah gulananya, Rara akhirnya mantap akan skydiving, walaupun sudah berganti seragam, Anggar berkali-kali mencoba meyakinkan Rara soal motion sickness perempuan itu yang lumayan parah. Mumpung belum bayar.

Yeh.

Pasalnya, jangankan turbulensi, waktu dulu Rara snorkeling saja ia langsung mual saat tubuhnya terombang-ambing ombak, lah ini? terombang-ambing udara plus jantung yang mungkin akan copot. Anehnya Rara malah sangat excited menantikan momen terjunnya nanti.

“Jangan coba-coba hentiin saya!!” Teriak Rara seperti anak kecil yang tantrum, Rara kesal karena Anggar terlalu mengkhawatirkan hal yang tidak perlu.

“Rara...” Anggar menghela napas pelan. “Yaudah tapi saya terjun duluan ya? pokoknya abis kamu freefall nanti kalau pusing atau gimana ngomong langsung.”

Rara berdecih kesal, gua bukan anak kecil ih!! “Iya iya.” Ucap Rara malas.

Mereka telah melalui beberapa proses seperti pengecekan kesehatan, membaca terms and conditions serta segala perintilannya. Sempat Anggar kembali bertanya pada pihak operator perihal motion sickness, dan kata mereka cuacanya bagus dan pesawat tidak akan terlalu goyang, tapi ya kalau tiba-tiba berawan mereka tidak bisa menjamin penerbangan akan smooth.

Batch sebelumnya baru saja mendarat, tandanya sebentar lagi adalah giliran Rara dan Anggar. Semua barang seperti dompet, handphone dimasukkan ke loker, dan kuncinya dititipkan ke resepsionis. Ya daripada waktu terbang terus barang-barangnya yang dibawa hilang, siapa tau kan jatuh tuh HP ke bawah.

Setelah semua peserta ready, satu persatu Tandem Master yang akan membantu para peserta untuk terjun pun datang, Greg (salah satu operator) menunjuk seseorang dibelakang Rara. “Ah... there he is, your Tandem Master.” Reflek Rara menoleh.

Seketika senyum sumriangahnya luntur begitu saja.

WHAT THE HECK?!?? Rara tercengang bukan main. Dari seluruh peradaban manusia didunia ini, dari sabang hingga merauke dari pagi hingga petang, mengapa harus dia?!

Astagfirulloh. Rara yang bengong malah membuat Anggar heran.

Gimana gak bengong? yang ada didepan mata Rara sekarang adalah Rumi.

Rumi Ardika Nasution.

Mantan gebetannya sewaktu kuliah. ANJIRRR!!! Berteriaklah Rara dalam hati. Ia menelan ludahnya pelan.

Tunggu... If Rumi is Rara's Tandem Master, it means... ANJIR!! dia bakal meluk gua dong?! Kembali Rara menelan ludahnya, lalu Rara melirik Anggar sekilas, pria itu tampak biasa saja. Apa ini kesempatan gua ya buat manasin si kutu kupret ini? siapa tau gua jadi tau ni orang nganggep gua serius apa nggak, oke markicob. Seketika senyum licik timbul pada wajah Rara.

Rumi datang mendekat, Rara masih bisa melihat ketampanan yang terpampang nyata dari pria bermarga Nasution itu. Hhhhh! okay.. okay relax.

Sejenak Rumi berbincang dengan Greg. Lalu Rumi mengampiri Rara yang memungguinya. Dilain sisi Anggar sudah dihampiri oleh Tandem Masternya yang bernama Johan.

Rumi menepuk pundak Rara. “Hello!! my name is— kalimatnya terputus tepat saat Rara berbalik sembari nyengir kuda.

“Loh?! Rara? wow...?” Rumi langsung menutup mulutnya yang menganga lebar. “How?” Masih speechless sepertinya Rumi ini.

Tak jauh dari sana Anggar melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa akrabnya Rara dengan si Tandem Master. Alisnya menukik tajam saat melihat Rara yang memeluk Rumi hangat. Ia yang tengah berbincang dengan Johan jadi tidak fokus.

Kembali pada sisi Rara. Perempuan itu tampak sumringah, memberikan senyum termanis yang sangat manis, pokoknya harus senyum terbaiknya. “Apa kabar bro!” Rara mencoba SKSD dengan Rumi.

Rumi yang masih diam menatap Rara tak percaya. “Rara kok bisa disini?”

“Hehe, iya Rumi, lagi liburan.”

“With who?”

Rara terkekeh pelan. “Hehe biasalah, fam trip.” Enggan Rara menyebutkan nama Anggar.

Rumi hanya manggut-manggut sembari ber-oh ria tanpa suara.

Panggilannya masih sama. Rara-Rumi, masih sama-sama memanggil nama. Rasanya seperti nostalgia. Ah nggak-nggak apaansih otak gua malah inget yang dulu-dulu.

Usai berbincang sedikit, tiba-tiba pesawat sudah siap, Rumi langsung nyuruh Rara buat berbaris bak anak TK buat masuk ke dalam pesawat. Anggar berada dibelakang Rara, tentunya berbaris bersama Johan. Tak lupa para photographer serta videographer yang nantinya akan mengabadikan momen mereka saat freefall.

Semua tampak berdesakkan, Rumi duduk tepat dibelakang Rara, dan menempel. Hingga pesawat mulai lepas landas, sesekali Rara memperhatikan Anggar yang tampak biasa saja, padahal Rara ingin sekali melihat ekspresi ketakutan Anggar yang sungguh luar biasa langka.

Keknya ni orang emang suka nguji adrenalin dah makanya nawarin ini semalem.

Hingga pesawat sampai pada ketinggian tertentu, Rumi mulai sibuk ngencengin sabuk pengamannya dan mengaitkannya ke sabuk pengaman Rara, tak lupa dengan telaten Rumi memakaikan Rara topi dan kacamata. Huh!! kenceng banget buset.

Sekitar beberapa menit kemudian, ketinggian sudah sampai pada 15.000 kaki, pintu pesawat dibuka, beberapa orang terjun duluan, lalu Anggar, sempat pria itu mengelus jemari Rara sekilas, lalu terjun begitu saja.

Kegugupan melanda Rara seketika, Rumi terus-terusan memberikan tepukan tenang pada lengan perempuan itu. Harusnya Anggar liat neh ah! Ia menatap dataran dibawah sana yang membuatnya meneguk ludah, sebentar lagi ia akan merasakan moment of truth yang dinantikannya, and... now... it's my turn. Semoga gua gak pusing deh.

Dalam sepersekian detik Rara sudah terjun dengan Rumi yang menempel dibelakangnya. Awalnya memang kaget dengan kecepatan jatuh yang luar biasa cepat, namun lambat laun Rara malah kesenengan. Dengan segala intruksi yang Rumi berikan ia terus memantau Rara dengan telaten.

Rara pikir ia akan ketakutan atau muntah, atau bahkan pingsan, nyatanya nggak sama sekali. Rara tidak takut, ia juga tidak extremely excited. Biasa aja. Pokoknya kalau Skydiving itu rasanya udah kaya terbang pake kecepatan internet 5G!!

Semuanya tampak mengasyikkan dan seru hingga tiba-tiba Rara...

Tidak bisa bernapas.

Teringat dibenak Rara, tadi Anggar sempat bilang “Kalau gak bisa napas, teriak aja Ra apapun yang pengen kamu luapin, tadi saya dikasih tau kaya gitu sama Johan.”

Rumi berkali-kali menginstruksikan Rara untuk menaruh jemarinya pada mulut, itu membantunya untuk bernapas. Namun Rara masih saja diam, wajahnya kian memerah dengan hidung yang sudah semerah badut.

1...

2...

3...

“ANGGAR GUA CINTA ANJIR SAMA LO GILAAAA!!! SINTING!! KAPAN LO SUKA SAMA GUANYA SIHH!! MASA LALU LO KEBANYAKAN LAMA-LAMA GUA CAPEK TAUUUUU!!!!! AAAAAAAAA!!!!!!” Rara berteriak kencang, kencang sekali.

Butuh 10-15 detik hingga otak Rara tersadar untuk kembali bernapas. Yah walaupun lewat mulut. Ditengah angin yang super kencang menerpa Rara masih terus merentangkan tangannya lebar-lebar, senyumnnya tak pernah pudar sama sekali, ia berharap teriakannya tadi bisa didengar Anggar barang sedetik saja. Andai ia seberani itu mengutarakan isi hatinya didepan Anggar.

Seketika kecepatan melamban saat parasut dibentangkan. Rara sudah bisa melihat pemandangan kota London bagian utara yang menyajikan patchwork of the farms yang begitu cantik dari ketinggian.

Hap.

Rara mendarat dengan mulus tepat di padang rumput yang asri. Setelah melepas semua atribut dan pergi melipir dari tempat mendarat Rara masih baik-baik saja. Hingga ia sampai tepat dihadapan Anggar seketika ia merasa pening. Sempat ia ngomel-ngomel ke Rumi karena tadi pria itu banyak memutar Rara diatas, padahal kan tadi udah dibilangin jangan puter kebanyakan, ya tapi gitu Rumi cuman ketawa-tawa sambil bilang “Kapan lagi diputer sama mantan gebetan Ra dilangit.” Ya Rara sih ketawa saja, menganggapnya sebagai lelucon.

Nyut Nyut Nyut.

Rara menatap Anggar samar-samar terlihat pria itu tampak menatapnya khawatir. “Ra?”

“Ra.. kenapa? pusing?”

“Ra?”

“Hello? answer me, please”

Rara yang sedari tadi menunduk sembari memegang kepalanya mendongak kearah Anggar. “Hah?” Rasa nyut itu semakin merajalela, langkah Rara sudah berada tepat didepan Anggar. Dan, seketika semuanya gelap.

Motion sickness sialan

Have you ever felt healthy love?

Rara kesal.

Mungkin luarnya tampak biasa saja, tapi jauh didalam sana Rara ingin sekali membanting Anggar. Sungguh, she wanna kiss him and then punch him right in his face. Yup, that's indeed a contradiction.

Kadang, Rara merasa Anggar bisa menjadi sosok yang akan membawa hubungan sehat untuknya, namun kadang juga ia merasa Anggar tidak bisa. Entah, sosok Anggar di benak Rara itu sungguh absurd, tak terbaca. Baik perasaannya, sikapnya, keinginannya, dan yang paling menyebalkan adalah masa lalunya.

Rara felt clueless about her own feelings.

Bisa-bisanya, dalam satu waktu pria itu memberikannya sebuah liontin mahal yang harganya bikin Rara spaneng, tapi tanpa ragu Anggar menyebutkan nama Maudy setelahnya, benar-benar mengesalkan. Mood Rara kan jadi drop.

“Iya, dulu Maudy yang kenalin London kesaya.”

Kesalnya bukan main. Tapi Rara bisa apa? bisa gila, iya.

Jadinya kan Rara bingung, padahal tanpa ragu bisa saja Rara langsung memeluk dan mencium Anggar tepat di puncak London Eye kemarin, tapi Rara malah diam tak menunjukkan reaksi senang sedikit pun. Sekedar berterima kasih atas hadiah yang diberi Anggar.

Mungkin memang Anggar hanya ingin berterimakasih karena Rara telah membuat Mami senang. Walau rasa ingin menyampaikan perasaannya sangat tinggi, Rara hanya bisa memendamnya. I shall have nothing to wish for, batin Rara semalam demi meredakan rasa cemburunya.

Sebenarnya ya, dibalik semua kecuek-an seorang Azarra Anahita ini, ia bisa saja menjadi perempuan paling agresif dan maniak kepada orang yang benar-benar ia sayang. Bahkan ia tipikal yang 'aku cemburu ya kalo kamu napas satu ruangan sama cewe itu!'. Yah, tapi sifat Anggar ini sungguh bentrok dengan Rara, membuatnya bertanya-tanya pria ini maunya apa sih?

“Ya maaf, kan gak tau.”

Masih kesal soal semalam, hari ini Anggar makin menyebalkan, bisa-bisanya Anggar tak sengaja menyenggol pundak Rara saat perempuan itu tengah fokus bersemedi dengan eyelinernya. THE GODDAMN EYELINER.

“Saya gak nerima maaf hari ini.” Masih baper soal semalem, jadinya kebawa deh emosinya sampai sekarang. Pokoknya mood Rara benar-benar seperti jungkat-jungkit tiap menatap wajah tanpa dosa Anggar, padahal tadi mereka baik-baik saja di WhatsApp.

“Ya kan bisa pake lagi Ra, tinggal di apus, terus dipake lagi.” Tambah Anggar.

Pake! pake! eyeliner tuh digambar!

Memang ya, lelaki mana pun tak ada yang mengerti bagaimana perjuangan seorang perempuan dalam memasang eyeliner.

“How can you talk so!” Merengut lah Rara. Wah! pleaseeeee ibu kita Kartini tolong dipentung lakik satu ini ya, saya mohon dengan sangat!!

Namun Anggar hanya diam membiarkan perempuan itu menggerutu sendirian, ditatapnya punggung Rara dari belakang. “Ohiya, saya mau ngasih tau soal rencana kita yang semalem.”

Otomatis mood Rara langsung melonjak tinggi, seketika senyum sumringah merekah ruah pada wajahnya. “Apa? Gimana?? Jadi kann?? Gimanaa???” Bertubi-tubi Rara bertanya. Ia melompat-lompat kecil.

“Semalem udah saya e-mail provider-nya, soal motion sickness yang kamu concerned semalem, terus tadi pagi baru dijawab. No need to worry kok.”

“Emang jawab apa???” Masih memegang eyeliner pada jemarinya, Rara menghampiri Anggar.

“Wait,” Anggar menyalakan ponsel yang sedaritadi digenggamnya, mengulir beberapa pesan disana. “Nih.” Ia menunjukkan pesan e-mail balasan dari provider yang ia contact semalam.

Dear,

Mr. Anggar Lingga Sadadi.

Yes, we've had planty of people who have motion sickness jump, with and without the motion sickness tablets. They have enjoyed it throughly. But, every person is different so, what has happened for another person may be different for yourself.

And also, we can ask the Tandem Masters not to do spins while you guys are under the parachute.

Sincerely,

Erick

Rara manggut-manggut saja membacanya. “Yaudah yuk? udah siap kan??” Tanya Rara yang tengah memasukkan segala tetek-bengek kedalam mini purse-nya.

“Of course.”


WUSH!

“Skydiveeeee!!! I'm cominggggg!!!”

Rara kegirangan pada lapangan lepas landas itu, berkali-kali ia berkacak pinggang, seolah-olah tengah melakukan strecthing. Kini Rara dan Anggar sudah mengenakan seragam yang menurut Rara kece abis!

“Hihihi!!” Masih saja Rara cengengesan dari tadi.

“Seneng banget ni ye.” Komentar Anggar.

“Ih!! dari dulu tuh ya, saya kan sesuka itu sama ketinggian, udah lama pengen loncat dari atas gedung, tapi daripada mati konyol gajelas mending nyobain yang aman aja kaya skydiving, yakannn!!” Rara melompat-lompat kecil, gemas sekali Anggar melihatnya.

Anggar menatap Rara dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Scanning. Scanning. Scanning.

“Apa liat-liat??!” Rara mulai risih dengan tatapan Anggar.

terkekeh Anggar mendengar omelan Rara, selalu begitu, Rara selalu ketus. “Gakpapa. Kamu cocok aja pake seragam skydiving, keren.”

“Ya itu mah gak usah dikasih tau Nggar.” Rara malah tertawa puas. Lalu Rara mengeluarkan lipbalm dari kantungnya. “Saya mah emang kece!”

Cuaca Inggris bulan ini memang cukup dingin, angin kencang serta gerimis terkadang lewat pada jam-jam sore, membuat siapapun harus siap sedia untuk melembabkan area kulitnya. Rara memoleskan lipbalm itu pada ranumnya, mencecapnya kemudian. Mwah!

Iya sih, cuacanya memang mendukung sekali untuk membuat bibir siapa saja menjadi kering kerontang seperti padang pasir. Anggar mengulum bibirnya, ia merasakan kering pada perpotongan ranumnya. “Rara.”

“Hmm...” Masih sibuk wanita itu memoleskan lipbalm pada ranumnya.

Can you...” Ada jeda panjang dalam kalimat Anggar, sedikit ragu untuk mengatakannya. “Eumm... Can you apply that on my lips too? please?

Rara menatap Anggar heran. “Ini?” ia mengacungkan lipbamnya. Anggar langsung mengangguk kecil. “Bibirnya pecah juga?” Anggar kembali menganggguk.

Tanpa Ragu Rara segera menjinjit, memoleskan lipbalm vanilla itu ke bibir Anggar. Seketika tubuh Rara limbung, dengan gesit Anggar menahannya. Grep.

EH?

Anggar mencecap bibirnya sendiri, lalu mengangguk kecil sendirian. Masih dalam posisi Rara jatuh dipelukan Anggar dengan Anggar yang memegang kedua lengan Rara. Ditatapnya manik Rara tepat dibola matanya.

“Oh ini.” Ujar Anggar hampir seperti berbisik.

Rara yang masih clueless akan posisi mereka hanya menatap Anggar heran. “Ini apa?”

“Rasa bibir kamu.”

Gubrak.

Rara tercengang bukan main. Hah? maksudnyeee?!

“Yang saya cium waktu itu... sekali-kalinya saya cium gak sengaja.” tambah Anggar.

Seakan sadar akan posisi mereka, Rara langsung melepaskan diri. Huhh...hah...Huhh...hah... tarik napas...buang...fyuh....GILA! SINTING!

“Apaansi!” Malu lah digituin Anggar, cepat-cepat Rara menutup lipbalmnya dan memasukkannya ke kantung celana.

“Saya cuman lagi mengingat doang, pas saya coba lipbalm kamu langsung keinget kejadian waktu itu soalnya.”

“Apasih!! gausah diinget-inget kali itu ke-ce-la-ka-an doang!!” Ketus Rara, tanpa pamit ia langsung berbalik badan, berlari kecil menghampiri team lainnya yang tengah berkumpul ditengah lapangan.

Hihhhh!!! Mampus guaa! pasti udah kaya kepiting rebuss ni pipi!

Anggar mengemudikan mobilnya menyusuri jalanan Jakarta Selatan. Masih enggan memberitau maksud dan tujuan pria itu membawa Rara mengelilingi gelapnya langit malam. Yang Anggar maksud healing apa sih?

Hingga Anggar memberhentikan laju kendaraannya tepat didepan pintu masuk Jalan layang non-tol Antasari yang terlihat sangat sepi. Tangannya terangkat menekan tombol bluetooth pada tape mobilnya lalu menyambungkannya ke spotify. Ia tersenyum tipis, lalu menoleh kearah Rara. “Saya buat playlist, khusus buat kamu, hope you enjoy the music, Ra.”

Nit! Bluetooth mobil terhubung dengan spotify Anggar. Lalu ia menekan play button pada playlistnya, alunan musik mulai terdengar di rungu keduanya, lagu pertama dan paling utama yang sengaja Anggar masukkan pada playlistnya, Keepyousafe-Yahya.

🎶...I can’t show you how to love yourself, but i promise you, i’ll be the one by your side...🎶

Anggar mulai melajukan kembali mobilnya pada kecepatan sedang, menyusuri flyover Antasari perlahan. Pria itu masih enggan membuka suara selain memberitau perihal playlist yang ia buat.

🎶...I won’t tell you the truth about love... it’s so difficult for me. Babe, i don't want you to get hurt...🎶

Rara semakin heran, namun, lantunan lagu yang dibawakan oleh Yahya itu sungguh menyentuh relungnya, entah mengapa ia merasakan ketulusan yang suci dari lirik lagu itu.

🎶...When i first met you, i knew that we can be together forever... night we spent so long until you’re fall a sleep... on my lip... cause i..., i’ve been waiting for this so long,oh...,long... and i, i will always keep you safe...🎶

Seketika manik Rara terbebelak saat tangan kiri Anggar yang bebas meraih jemarinya, menggenggamnya erat. Sontak hal itu membuat ujung jemari Rara mendingin, ia gugup setengah mati. Susah payah ia meneguk salivanya.

Anggar kenapa tiba-tiba begini sih? Dan... tubuh gua kaya gabisa nolak?

Manik Anggar masih fokus pada jalanan didepan, tak lupa jemari mereka yang masih bertaut, memberikan rasa hangat untuk keduanya ditengah dinginnya malam.

“Ra, if you questioning what am i doing right now... saya juga gatau, saya mau aja kaya gini—Anggar melirik Rara sekilas— Saya pengen jadi orang yang bisa bikin kamu lupa sama sedihnya kamu, sakitnya kamu, apapun status kita, mau temen, pacar, suami-istri, saya gapeduli, saya beneran pure pengen liat kamu senyum lagi.”

Rara termenung menatap Anggar. Maniknya tak bisa bohong bahwa ia memancarkan rasa kagum dan sedikit rasa tidak percaya?

Lantunan lagu selanjutnya yang terputar secara otomatis, Lay your head on me-Crush.

🎶...I see you hurt, i see you sufferin’ You’re not alone, in case you’re wondering Oh you can come to me And lay your head on me...🎶

“Ra, saya... saya gasanggup liat kamu selalu nangis jam 1 pagi dan selesai jam 5, saya ngerasa gagal jadi suami kamu, saya harusnya bisa ngasih rasa nyaman ke kamu, tapi... kayaknya saya gak cukup ya Ra? Buat bahagiain kamu... kamu... gak nyesel kan nikah sama saya?” Entah mengapa manik Anggar mulai berair.

Rara mengerutkan dahinya, ia semakin bingung dengan semua lanturan Anggar, semua kata-katanya sungguh ambigu. Kenapa bahas nyesel? Emangnya gua pernah bilang gua nyesel nikah sama dia?

🎶...Can see you're lost, i see you strugglin’ Can’t even tell your friends from your enemies But you can come to me... And lay your head on me...🎶

Anggar memberhentikan mobilnya tepat di pinggir Flyover Antasari. Ia tak kuasa menahan bulir bening yang kian deras berhamburan pada wajahnya, Rara sampai terkejut saat melihat wajah pria itu basah. “Ng-Nggar...”

Jemari Rara terangkat, ia menghapus bulir bening yang menutupi pelupuk mata Anggar dengan ibu jarinya. “Nggar, it’s okay... saya udah gak papa kok, kemaren saya cuman butuh space, kamu... kamu gapernah gagal buat saya senyum kok Nggar... dan... kenapa kamu bilang saya nyesel nikah sama kamu? Justru saya gabisa bayangin hidup saya kalo gak nikah sama kamu, saya gabisa bayangin kalo saya nikahin orang yang demanding, kamu itu sempurna Nggar dan pas di kantong.” Rara mencoba bercanda, walau ia tak bisa menutupi rasa sedih yang sebenarnya masih terpatri dalam dirinya.

Anggar terkekeh kecil. “Masih aja bercanda Ra.”

Kini Anggar yang terbelalak saat tanpa ragu, Rara memeluk tubuh Anggar, merengkuhnya erat seolah ia tak mau berpisah barang sedikit saja. “Nggar... makasih udah berperan sebagai teman dan suami dalam satu waktu, makasih kamu selalu bisa nenangin saya...”

🎶...The more I'm there for you I'm thinking about you always... I’m thinking about you always... So lay your head on me... So lay your head on me... So lay your head on me... So lay your head on me...🎶

Anggar merasa Rara sudah cukup stabil untuk diajak bicara lebih serius, karena wanita itu terlihat tidak menangis sama sekali. “So... kamu sama mba Widya?…” bisiknya ditelinga Rara.

Seketika manik Rara mendadak muram hanya dengan mendengar nama itu, moodnya langsung drop, ia langsung menegakkan tubuhnya sembari bersedekap menatap gedung-gedung tinggi disebrang sana.

“Ra?”

“Jangan sebut dia, saya masih gak sudi.”

Belum ternyata. Anggar menghela napas lelah. “Ra, listen to me.”

Anggar mengangkat tangannya, menangkup wajah Rara sembari menatapnya intens. “Gini ra, kamu debat ini debat itu berantem sama mba Widya, padahal nyatanya kamu sama dia sama-sama sakit, maaf ya kalo saya lancang, saya tau dan paham kamu sedih, hancur, tapi coba kamu liat sisi lain, apa kamu mikirin perasaannya eyang Her? Gimana rasanya seorang ibu kehilangan anaknya, itu hancur Ra, tak tertandingi, mau kamu pun saya pasti pernah berpikir, pengen pergi duluan dibanding orang tua karena gasanggup liatnya, tapi akan lebih sakit lagi kalo kita sebagai orang tua liat anak sendiri pergi duluan.” Anggar menghela napas.

“Tau ra? definisi dewasa sesungguhnya? se-simple kamu gak bilang duren bau banget didepan orang yang lagi makan duren, se-simple ngehargain orang berbicara sampai selesai baru kamu menjawab, dunia bakal seindah itu kalo kamu bisa ngerhargai perasaan satu sama lain. Kalau kamu masih menyalahkan orang lain atas kebahagiaan yang gabisa kamu capai, namanya kamu belum dewasa, karena... happiness isn’t something already made, it comes from your own action, Ra.” Tambah Anggar.

Rara terdiam menatap Anggar, maniknya mulai berair, ia sedikit terisak, ia tidak tau harus berkata apa, semua yang dikatakan pria itu benar adanya, boleh larut dalam kesedihan, namun, kita harus cepat bangkit dan melihat dunia lebih luas lagi, melihat siapa yang paling tersakiti, bukan berlagak layaknya tak ada seorang pun yang lebih sakit dari kita.

Anggar... kenapa lo baik banget sih?

Karena Rara tak kunjung membalas penuturannya, Anggar melepas tangkupan pada wajah wanita itu, lalu ia menekan salah satu tombol yang berada di sampingnya. “Wait...” seketika atap mobil itu terbuka. Netra Rara menangkap puluhan bintang yang bekerlip terang memenuhi langit angkasa. Indah.

Ya. Luar angkasa yang Anggar maksud, ia ingin menonton puluhan bintang diatas flyover Antasari sembari menunggu sunrise. Adakah yang lebih romantis?

Pria itu menurunkan sandaran kursinya, lalu menurunkan sandaran kursi Rara, lantas pria itu mengisyaratkan Rara untuk merebahkan tubuhnya disana.

Keduanya bersandar pada bangku mobil, seketika Rara tertawa kecil, ia menatap salah satu bintang kecil dan menunjuknya. “Nggar, kamu pernah bilang saya mirip bintang kan? Masih mirip gak sekarang? Coba bintang bisa dipelihara dirumah pasti lucu, sayang cuman ada dilangit malem.” Rara tampak fokus menatap bintang diatas sana.

Sedangkan fokus Anggar bukan langit indah diatas sana, namun, perempuan disebelahnya, tentu saja Rara tidak sadar akan tatapan penuh arti Anggar. “Ra, tau ga?”

Rara berdehem, maniknya masih tampak berbinar menatap langit diatas. “The stars aren’t just coming from the sky, it’s also coming from your eyes.” Lirih Anggar pelan.

WUSH! Angin kencang yang seketika datang diatas flyover itu membuat Rara kesulitan mendengar ucapan Anggar. “Hah? Apa Nggar?”

Anggar terkekeh geli mengingat ucapannya barusan. “Nggak, kamu masih mirip kok, masih mungil tapi sok kuat.”

“Dih.”

“Ra.”

“Apa?”

“Dulu waktu belum nikah sama saya, kenapa gapernah pacaran lagi? emang kamu segitunya gak mau kenal dan coba nyembuhin diri dari masa lalu? emangnya kamu gapernah dibaperin orang?”

Rara terkekeh geli mendengar pertanyaan Anggar. “Saya bisa baper Nggar, kapan pun dimana pun sama siapa pun. tapi nggak sama sayang dan cinta, gatau dua hal itu susah banget buat saya. Kalau soal pacaran… rasanya kayak gatau ya, saya capek aja mesti kenalan lagi, pdkt lagi, adaptasi lagi, cerita tentang masa lalu lagi, saya bahkan sampe mikir, bisa gak sih pacaran tuh langsung aja gausah pake kenal-kenal dulu capek tau. Kaya sia-siain waktu cuman buat hal gapenting kaya gitu, kalo ujung-ujungnya sakit kan ya sama aja boong.”

Anggar mengangguk-angguk setuju. “Bener sih, capek juga kenalan lagi. Makanya saya nikahin kamu, capek saya kenalan.”

Rara menoleh kearah Anggar yang tengah menatap langit. “Maksudnya? Kita kan baru kenal pas kamu ngajar saya?”

Anggar tersenyum. “Ya karena udah pernah ngajar itu, saya jadi kenal kan.” Entah mengapa Rara merasakan ada sedikit rasa getar serta kegugupan pada suara Anggar.

Anggar bangkit, menatap Rara yang masih fokus menatapnya. “Need another hug?” Entah ia juga heran mengapa ia menawarkan itu tiba-tiba.

Rara terkekeh geli, entah hanya ia yang merasa atau tidak, namun, Anggar seperti pengisi daya untuknya. Ia pun menyambut tangan Anggar yang sudah merekah lebar.

Tepat saat Rara merengkuh tubuh Anggar, lantunan musik Honne yang berjudul by my side, lansung mengisi rungu keduanya.

🎶...You were there every time Every time that i needed a shoulder... And you kept me warm When my world grew darker and colder...🎶

Rara semakin mengeratkan rengkuhannya, tak terasa keduanya terisak kecil, entah menangisi apa, keduanya sama-sama bahagia dan terharu.

🎶...*You gave your strength When mine had gone And i could not go on...

Where were you when I hurt the most?

Where were you when I needed hope? I needed you close...

You were by my side*...🎶

Ada sekitar 4 menit hingga lagu itu habis, Rara baru melepas rengkuhanya, menatap Anggar sembari tersenyum manis. “Thanks.”

Anggar pun ikut tersenyum. “You’re welcome.

Rara kembali merebahkan tubuhnya, pun Anggar, mereka sama-sama diam seribu bahasa menonton langit malam yang indah, hingga tanpa sadar Rara terpejam, ia mulai kehilangan kesadarannya dan tertidur.

Anggar mendengus kecil sembari tersenyum miring. “Ra... bahagia terus ya sama saya...” Ia bangkit dari sandaran kursi, mendekatkan wajahnya kearah Rara, dan...

CUP~

Anggar mengecup pipi Rara, lalu mengelus surai wanita itu pelan. “Good night, sleep tight.” Bisiknya ditelinga Rara.


Rara mengerjapkan mata karena sinar matahari yang terus mengganggu ketenangan tidurnya. Netranya menangkap matahari yang baru saja terbit dengan indahnya. Warna putih oranye dengan dominasi langit gelap berkolabori indah membuat Rara terpesona.

“Wah!!” Rara tergugu kagum menatap sunrise didepannya. Ia sedikit menggeliat lalu menoleh kesamping, terlihat Anggar yang tengah menatapnya sembari tersenyum.

Seketika Rara langsung bangun dari tidurnya, menegakkan tubuhnya sembari bersedekap, tanpa malu-malu semburat merah yang terasa panas memenuhi pipinya. “Nggar? Kamu kenapa?” Ia seperti salah tingkah dilihati oleh pria itu.

Anggar masih tampak fokus menatap Rara.

Duh anjir ni orang kenapa jadi serem gini...

Rara langsung menutup wajah Anggar dengan telapaknya. “Nggar ih! Stop looking at me like that!

Anggar menyingkirkan jemari Rara dari wajahnya. “Morning.

CUP~

Anggar mengecup pucuk kepala Rara, sembari mengelus surai wanita itu pelan. “Tidurnya nyenyak?” Tanyanya lagi.

Otomatis Rara langsung menabok Anggar kencang. “IH ANGGAR!”

Anggar hanya terkekeh geli lalu tangannya beralih ke kemudi. “Kita harus cepet pulang nih.”

Rara menatap Anggar heran. “Kenapa?”

“Mami mau dateng kerumah, nginep semalem. Kita harus beresin kamar masing-masing kan?”

Seakan lupa dengan kecupan Anggar barusan. Rara langsung terlihat panik. “Hah?! All of a sudden?! Nginep?”

“Yup, all of a sudden. Selalu gitu bukannya?”

“Yaudah ayooo pulang sekarang cepet-cepettt!!” Rara memukul-mukul kecil lengan Anggar.

Anggar menekan tombol untuk menutup kembali atap mobil itu, dan melajukan kendaraannya membelah jalan T.B Simatupang, untuk pulang segera kerumah.

Duh... tidur bareng dong ini?

Anggar mengemudikan mobilnya menyusuri jalanan Jakarta Selatan. Masih enggan memberitau maksud dan tujuan pria itu membawa Rara mengelilingi gelapnya langit malam. Yang Anggar maksud healing apa sih?

Hingga Anggar memberhentikan laju kendaraannya tepat didepan pintu masuk Jalan layang non-tol Antasari yang terlihat sangat sepi. Tangannya terangkat menekan tombol bluetooth pada tape mobilnya lalu menyambungkannya ke spotify. Ia tersenyum tipis, lalu menoleh kearah Rara. “Saya buat playlist, khusus buat kamu, hope you enjoy the music, Ra.”

Nit! Bluetooth mobil terhubung dengan spotify Anggar. Lalu ia menekan play button pada playlistnya, alunan musik mulai terdengar di rungu keduanya, lagu pertama dan paling utama yang sengaja Anggar masukkan pada playlistnya, Keepyousafe-Yahya.

🎶...I can’t show you how to love yourself, but i promise you, i’ll be the one by your side...🎶

Anggar mulai melajukan kembali mobilnya pada kecepatan sedang, menyusuri flyover Antasari perlahan. Pria itu masih enggan membuka suara selain memberitau perihal playlist yang ia buat.

🎶...I won’t tell you the truth about love... it’s so difficult for me. Babe, i don't want you to get hurt...🎶

Rara semakin heran, namun, lantunan lagu yang dibawakan oleh Yahya itu sungguh menyentuh relungnya, entah mengapa ia merasakan ketulusan yang suci dari lirik lagu itu.

🎶...When i first met you, i knew that we can be together forever... night we spent so long until you’re fall a sleep... on my lip... cause i..., i’ve been waiting for this so long,oh...,long... and i, i will always keep you safe...🎶

Seketika manik Rara terbebelak saat tangan kiri Anggar yang bebas meraih jemarinya, menggenggamnya erat. Sontak hal itu membuat ujung jemari Rara mendingin, ia gugup setengah mati. Susah payah ia meneguk salivanya.

Anggar kenapa tiba-tiba begini sih? Dan... tubuh gua kaya gabisa nolak?

Manik Anggar masih fokus pada jalanan didepan, tak lupa jemari mereka yang masih bertaut, memberikan rasa hangat untuk keduanya ditengah dinginnya malam.

“Ra, if you questioning what am i doing right now... saya juga gatau, saya mau aja kaya gini—Anggar melirik Rara sekilas— Saya pengen jadi orang yang bisa bikin kamu lupa sama sedihnya kamu, sakitnya kamu, apapun status kita, mau temen, pacar, suami-istri, saya gapeduli, saya beneran pure pengen liat kamu senyum lagi.”

Rara termenung menatap Anggar. Maniknya tak bisa bohong bahwa ia memancarkan rasa kagum dan sedikit rasa tidak percaya?

Lantunan lagu selanjutnya yang terputar secara otomatis, Lay your head on me-Crush.

🎶...I see you hurt, i see you sufferin’ You’re not alone, in case you’re wondering Oh you can come to me And lay your head on me...🎶

“Ra, saya... saya gasanggup liat kamu selalu nangis jam 1 pagi dan selesai jam 5, saya ngerasa gagal jadi suami kamu, saya harusnya bisa ngasih rasa nyaman ke kamu, tapi... kayaknya saya gak cukup ya Ra? Buat bahagiain kamu... kamu... gak nyesel kan nikah sama saya?” Entah mengapa manik Anggar mulai berair.

Rara mengerutkan dahinya, ia semakin bingung dengan semua lanturan Anggar, semua kata-katanya sungguh ambigu. Kenapa bahas nyesel? Emangnya gua pernah bilang gua nyesel nikah sama dia?

🎶...Can see you're lost, i see you strugglin’ Can’t even tell your friends from your enemies But you can come to me... And lay your head on me...🎶

Anggar memberhentikan mobilnya tepat di pinggir Flyover Antasari. Ia tak kuasa menahan bulir bening yang kian deras berhamburan pada wajahnya, Rara sampai terkejut saat melihat wajah pria itu basah. “Ng-Nggar...”

Jemari Rara terangkat, ia menghapus bulir bening yang menutupi pelupuk mata Anggar dengan ibu jarinya. “Nggar, it’s okay... saya udah gak papa kok, kemaren saya cuman butuh space, kamu... kamu gapernah gagal buat saya senyum kok Nggar... dan... kenapa kamu bilang saya nyesel nikah sama kamu? Justru saya gabisa bayangin hidup saya kalo gak nikah sama kamu, saya gabisa bayangin kalo saya nikahin orang yang demanding, kamu itu sempurna Nggar dan pas di kantong.” Rara mencoba bercanda, walau ia tak bisa menutupi rasa sedih yang sebenarnya masih terpatri dalam dirinya.

Anggar terkekeh kecil. “Masih aja bercanda Ra.”

Kini Anggar yang terbelalak saat tanpa ragu, Rara memeluk tubuh Anggar, merengkuhnya erat seolah ia tak mau berpisah barang sedikit saja. “Nggar... makasih udah berperan sebagai teman dan suami dalam satu waktu, makasih kamu selalu bisa nenangin saya...”

🎶...The more I'm there for you I'm thinking about you always... I’m thinking about you always... So lay your head on me... So lay your head on me... So lay your head on me... So lay your head on me...🎶

Anggar merasa Rara sudah cukup stabil untuk diajak bicara lebih serius, karena wanita itu terlihat tidak menangis sama sekali. “So... kamu sama mba Widya?…” bisiknya ditelinga Rara.

Seketika manik Rara mendadak muram hanya dengan mendengar nama itu, moodnya langsung drop, ia langsung menegakkan tubuhnya sembari bersedekap menatap gedung-gedung tinggi disebrang sana.

“Ra?”

“Jangan sebut dia, saya masih gak sudi.”

Belum ternyata. Anggar menghela napas lelah. “Ra, listen to me.”

Anggar mengangkat tangannya, menangkup wajah Rara sembari menatapnya intens. “Gini ra, kamu debat ini debat itu berantem sama mba Widya, padahal nyatanya kamu sama dia sama-sama sakit, maaf ya kalo saya lancang, saya tau dan paham kamu sedih, hancur, tapi coba kamu liat sisi lain, apa kamu mikirin perasaannya eyang Her? Gimana rasanya seorang ibu kehilangan anaknya, itu hancur Ra, tak tertandingi, mau kamu pun saya pasti pernah berpikir, pengen pergi duluan dibanding orang tua karena gasanggup liatnya, tapi akan lebih sakit lagi kalo kita sebagai orang tua liat anak sendiri pergi duluan.” Anggar menghela napas.

“Tau ra? definisi dewasa sesungguhnya? se-simple kamu gak bilang duren bau banget didepan orang yang lagi makan duren, se-simple ngehargain orang berbicara sampai selesai baru kamu menjawab, dunia bakal seindah itu kalo kamu bisa ngerhargai perasaan satu sama lain. Kalau kamu masih menyalahkan orang lain atas kebahagiaan yang gabisa kamu capai, namanya kamu belum dewasa, karena... happiness isn’t something already made, it comes from your own action, Ra.” Tambah Anggar.

Rara terdiam menatap Anggar, maniknya mulai berair, ia sedikit terisak, ia tidak tau harus berkata apa, semua yang dikatakan pria itu benar adanya, boleh larut dalam kesedihan, namun, kita harus cepat bangkit dan melihat dunia lebih luas lagi, melihat siapa yang paling tersakiti, bukan berlagak layaknya tak ada seorang pun yang lebih sakit dari kita.

Anggar... kenapa lo baik banget sih?

Karena Rara tak kunjung membalas penuturannya, Anggar melepas tangkupan pada wajah wanita itu, lalu ia menekan salah satu tombol yang berada di sampingnya. “Wait...” seketika atap mobil itu terbuka. Netra Rara menangkap puluhan bintang yang bekerlip terang memenuhi langit angkasa. Indah.

Ya. Luar angkasa yang Anggar maksud, ia ingin menonton puluhan bintang diatas flyover Antasari sembari menunggu sunrise. Adakah yang lebih romantis?

Pria itu menurunkan sandaran kursinya, lalu menurunkan sandaran kursi Rara, lantas pria itu mengisyaratkan Rara untuk merebahkan tubuhnya disana.

Keduanya bersandar pada bangku mobil, seketika Rara tertawa kecil, ia menatap salah satu bintang kecil dan menunjuknya. “Nggar, kamu pernah bilang saya mirip bintang kan? Masih mirip gak sekarang? Coba bintang bisa dipelihara dirumah pasti lucu, sayang cuman ada dilangit malem.” Rara tampak fokus menatap bintang diatas sana.

Sedangkan fokus Anggar bukan langit indah diatas sana, namun, perempuan disebelahnya, tentu saya Rara tidak sadar akan tatapan penuh arti Anggar. “Ra, tau ga?”

Rara berdehem, maniknya masih tampak berbinar menatap langit diatas. “The stars aren’t just coming from the sky, it’s also coming from your eyes.” Lirih Anggar pelan.

WUSH! Angin kencang yang seketika datang diatas flyover itu membuat Rara kesulitan mendengar ucapan Anggar. “Hah? Apa Nggar?”

Anggar terkekeh geli mengingat ucapannya barusan. “Nggak, kamu masih mirip kok, masih mungil tapi sok kuat.”

“Dih.”

“Ra.”

“Apa?”

“Dulu waktu belum nikah sama saya, kenapa gapernah pacaran lagi? emang kamu segitunya gak mau kenal dan coba nyembuhin diri dari masa lalu? emangnya kamu gapernah dibaperin orang?”

Rara terkekeh geli mendengar pertanyaan Anggar. “Saya bisa baper Nggar, kapan pun dimana pun sama siapa pun. tapi nggak sama sayang dan cinta, gatau dua hal itu susah banget buat saya. Kalau soal pacaran… rasanya kayak gatau ya, saya capek aja mesti kenalan lagi, pdkt lagi, adaptasi lagi, cerita tentang masa lalu lagi, saya bahkan sampe mikir, bisa gak sih pacaran tuh langsung aja gausah pake kenal-kenal dulu capek tau. Kaya sia-siain waktu cuman buat hal gapenting kaya gitu, kalo ujung-ujungnya sakit kan ya sama aja boong.”

Anggar mengangguk-angguk setuju. “Bener sih, capek juga kenalan lagi. Makanya saya nikahin kamu, capek saya kenalan.”

Rara menoleh kearah Anggar yang tengah menatap langit. “Maksudnya? Kita kan baru kenal pas kamu ngajar saya?”

Anggar tersenyum. “Ya karena udah pernah ngajar itu, saya jadi kenal kan.” Entah mengapa Rara merasakan ada sedikit rasa getar serta kegugupan pada suara Anggar.

Anggar bangkit, menatap Rara yang masih fokus menatapnya. “Need another hug?” Entah ia juga heran mengapa ia menawarkan itu tiba-tiba.

Rara terkekeh geli, entah hanya ia yang merasa atau tidak, namun, Anggar seperti pengisi daya untuknya. Ia pun menyambut tangan Anggar yang sudah merekah lebar.

Tepat saat Rara merengkuh tubuh Anggar, lantunan musik Honne yang berjudul by my side, lansung mengisi rungu keduanya.

🎶...You were there every time Every time that i needed a shoulder... And you kept me warm When my world grew darker and colder...🎶

Rara semakin mengeratkan rengkuhannya, tak terasa keduanya terisak kecil, entah menangisi apa, keduanya sama-sama bahagia dan terharu.

🎶...*You gave your strength When mine had gone And i could not go on...

Where were you when I hurt the most?

Where were you when I needed hope? I needed you close...

You were by my side*...🎶

Ada sekitar 4 menit hingga lagu itu habis, Rara baru melepas rengkuhanya, menatap Anggar sembari tersenyum manis. “Thanks.”

Anggar pun ikut tersenyum. “You’re welcome.

Rara kembali merebahkan tubuhnya, pun Anggar, mereka sama-sama diam seribu bahasa menonton langit malam yang indah, hingga tanpa sadar Rara terpejam, ia mulai kehilangan kesadarannya dan tertidur.

Anggar mendengus kecil sembari tersenyum miring. “Ra... bahagia terus ya sama saya...” Ia bangkit dari sandaran kursi, mendekatkan wajahnya kearah Rara, dan...

CUP~

Anggar mengecup pipi Rara, lalu mengelus surai wanita itu pelan. “Good night, sleep tight.” Bisiknya ditelinga Rara.


Rara mengerjapkan mata karena sinar matahari yang terus mengganggu ketenangan tidurnya. Netranya menangkap matahari yang baru saja terbit dengan indahnya. Warna putih oranye dengan dominasi langit gelap berkolabori indah membuat Rara terpesona.

“Wah!!” Rara tergugu kagum menatap sunrise didepannya. Ia sedikit menggeliat lalu menoleh kesamping, terlihat Anggar yang tengah menatapnya sembari tersenyum.

Seketika Rara langsung bangun dari tidurnya, menegakkan tubuhnya sembari bersedekap, tanpa malu-malu semburat merah yang terasa panas memenuhi pipinya. “Nggar? Kamu kenapa?” Ia seperti salah tingkah dilihati oleh pria itu.

Anggar masih tampak fokus menatap Rara.

Duh anjir ni orang kenapa jadi serem gini...

Rara langsung menutup wajah Anggar dengan telapaknya. “Nggar ih! Stop looking at me like that!

Anggar menyingkirkan jemari Rara dari wajahnya. “Morning.

CUP~

Anggar mengecup pucuk kepala Rara, sembari mengelus surai wanita itu pelan. “Tidurnya nyenyak?” Tanyanya lagi.

Otomatis Rara langsung menabok Anggar kencang. “IH ANGGAR!”

Anggar hanya terkekeh geli lalu tangannya beralih ke kemudi. “Kita harus cepet pulang nih.”

Rara menatap Anggar heran. “Kenapa?”

“Mami mau dateng kerumah, nginep semalem. Kita harus beresin kamar masing-masing kan?”

Seakan lupa dengan kecupan Anggar barusan. Rara langsung terlihat panik. “Hah?! All of a sudden?! Nginep?”

“Yup, all of a sudden. Selalu gitu bukannya?”

“Yaudah ayooo pulang sekarang cepet-cepettt!!” Rara memukul-mukul kecil lengan Anggar.

Anggar menekan tombol untuk menutup kembali atap mobil itu, dan melajukan kendaraannya membelah jalan T.B Simatupang, untuk pulang segera kerumah.

Duh... tidur bareng dong ini?

Anggar mengemudikan mobilnya menyusuri jalanan Jakarta Selatan. Masih enggan memberitau maksud dan tujuan pria itu membawa Rara mengelilingi gelapnya langit malam. Yang Anggar maksud healing apa sih?

Hingga Anggar memberhentikan laju kendaraannya tepat didepan pintu masuk Jalan layang non-tol Antasari yang terlihat sangat sepi. Tangannya terangkat menekan tombol bluetooth pada tape mobilnya lalu menyambungkannya ke spotify. Ia tersenyum tipis, lalu menoleh kearah Rara. “Saya buat playlist, khusus buat kamu, hope you enjoy the music, Ra.”

Nit! Bluetooth mobil terhubung dengan spotify Anggar. Lalu ia menekan play button pada playlistnya, alunan musik mulai terdengar di rungu keduanya, lagu pertama dan paling utama yang sengaja Anggar masukkan pada playlistnya, Keepyousafe-Yahya.

🎶...I can’t show you how to love yourself, but i promise you, i’ll be the one by your side...🎶

Anggar mulai melajukan kembali mobilnya pada kecepatan sedang, menyusuri flyover Antasari perlahan. Pria itu masih enggan membuka suara selain memberitau perihal playlist yang ia buat.

🎶...I won’t tell you the truth about love... it’s so difficult for me. Babe, i don't want you to get hurt...🎶

Rara semakin heran, namun, lantunan lagu yang dibawakan oleh Yahya itu sungguh menyentuh relungnya, entah mengapa ia merasakan ketulusan yang suci dari lirik lagu itu.

🎶...When i first met you, i knew that we can be together forever... night we spent so long until you’re fall a sleep... on my lip... cause i..., i’ve been waiting for this so long,oh...,long... and i, i will always keep you safe...🎶

Seketika manik Rara terbebelak saat tangan kiri Anggar yang bebas meraih jemarinya, menggenggamnya erat. Sontak hal itu membuat ujung jemari Rara mendingin, ia gugup setengah mati. Susah payah ia meneguk salivanya.

Anggar kenapa tiba-tiba begini sih? Dan... tubuh gua kaya gabisa nolak?

Manik Anggar masih fokus pada jalanan didepan, tak lupa jemari mereka yang masih bertaut, memberikan rasa hangat untuk keduanya ditengah dinginnya malam.

“Ra, if you questioning what am i doing right now... saya juga gatau, saya mau aja kaya gini—Anggar melirik Rara sekilas— Saya pengen jadi orang yang bisa bikin kamu lupa sama sedihnya kamu, sakitnya kamu, apapun status kita, mau temen, pacar, suami-istri, saya gapeduli, saya beneran pure pengen liat kamu senyum lagi.”

Rara termenung menatap Anggar. Maniknya tak bisa bohong bahwa ia memancarkan rasa kagum dan sedikit rasa tidak percaya?

Lantunan lagu selanjutnya yang terputar secara otomatis, Lay your head on me-Crush.

🎶...I see you hurt, i see you sufferin’ You’re not alone, in case you’re wondering Oh you can come to me And lay your head on me...🎶

“Ra, saya... saya gasanggup liat kamu selalu nangis jam 1 pagi dan selesai jam 5, saya ngerasa gagal jadi suami kamu, saya harusnya bisa ngasih rasa nyaman ke kamu, tapi... kayaknya saya gak cukup ya Ra? Buat bahagiain kamu... kamu... gak nyesel kan nikah sama saya?” Entah mengapa manik Anggar mulai berair.

Rara mengerutkan dahinya, ia semakin bingung dengan semua lanturan Anggar, semua kata-katanya sungguh ambigu. Kenapa bahas nyesel? Emangnya gua pernah bilang gua nyesel nikah sama dia?

🎶...Can see you're lost, i see you strugglin’ Can’t even tell your friends from your enemies But you can come to me... And lay your head on me...🎶

Anggar memberhentikan mobilnya tepat di pinggir Flyover Antasari. Ia tak kuasa menahan bulir bening yang kian deras berhamburan pada wajahnya, Rara sampai terkejut saat melihat wajah pria itu basah. “Ng-Nggar...”

Jemari Rara terangkat, ia menghapus bulir bening yang menutupi pelupuk mata Anggar dengan ibu jarinya. “Nggar, it’s okay... saya udah gak papa kok, kemaren saya cuman butuh space, kamu... kamu gapernah gagal buat saya senyum kok Nggar... dan... kenapa kamu bilang saya nyesel nikah sama kamu? Justru saya gabisa bayangin hidup saya kalo gak nikah sama kamu, saya gabisa bayangin kalo saya nikahin orang yang demanding, kamu itu sempurna Nggar dan pas di kantong.” Rara mencoba bercanda, walau ia tak bisa menutupi rasa sedih yang sebenarnya masih terpatri dalam dirinya.

Anggar terkekeh kecil. “Masih aja bercanda Ra.”

Kini Anggar yang terbelalak saat tanpa ragu, Rara memeluk tubuh Anggar, merengkuhnya erat seolah ia tak mau berpisah barang sedikit saja. “Nggar... makasih udah berperan sebagai teman dan suami dalam satu waktu, makasih kamu selalu bisa nenangin saya...”

🎶...The more I'm there for you I'm thinking about you always... I’m thinking about you always... So lay your head on me... So lay your head on me... So lay your head on me... So lay your head on me...🎶

Anggar merasa Rara sudah cukup stabil untuk diajak bicara lebih serius, karena wanita itu terlihat tidak menangis sama sekali. “So... kamu sama mba Widya?…” bisiknya ditelinga Rara.

Seketika manik Rara mendadak muram hanya dengan mendengar nama itu, moodnya langsung drop, ia langsung menegakkan tubuhnya sembari bersedekap menatap gedung-gedung tinggi disebrang sana.

“Ra?”

“Jangan sebut dia, saya masih gak sudi.”

Belum ternyata. Anggar menghela napas lelah. “Ra, listen to me.”

Anggar mengangkat tangannya, menangkup wajah Rara sembari menatapnya intens. “Gini ra, kamu debat ini debat itu berantem sama mba Widya, padahal nyatanya kamu sama dia sama-sama sakit, maaf ya kalo saya lancang, saya tau dan paham kamu sedih, hancur, tapi coba kamu liat sisi lain, apa kamu mikirin perasaannya eyang Her? Gimana rasanya seorang ibu kehilangan anaknya, itu hancur Ra, tak tertandingi, mau kamu pun saya pasti pernah berpikir, pengen pergi duluan dibanding orang tua karena gasanggup liatnya, tapi akan lebih sakit lagi kalo kita sebagai orang tua liat anak sendiri pergi duluan.” Anggar menghela napas.

“Tau ra? definisi dewasa sesungguhnya? se-simple kamu gak bilang duren bau banget didepan orang yang lagi makan duren, se-simple ngehargain orang berbicara sampai selesai baru kamu menjawab, dunia bakal seindah itu kalo kamu bisa ngerhargai perasaan satu sama lain. Kalau kamu masih menyalahkan orang lain atas kebahagiaan yang gabisa kamu capai, namanya kamu belum dewasa, karena... happiness isn’t something already made, it comes from your own action., Ra.” Tambah Anggar.

Rara terdiam menatap Anggar, maniknya mulai berair, ia sedikit terisak, ia tidak tau harus berkata apa, semua yang dikatakan pria itu benar adanya, boleh larut dalam kesedihan, namun, kita harus cepat bangkit dan melihat dunia lebih luas lagi, melihat siapa yang paling tersakiti, bukan berlagak layaknya tak ada seorang pun yang lebih sakit dari kita.

Anggar... kenapa lo baik banget sih?

Karena Rara tak kunjung membalas penuturannya, Anggar melepas tangkupan pada wajah wanita itu, lalu ia menekan salah satu tombol yang berada di sampingnya. “Wait...” seketika atap mobil itu terbuka. Netra Rara menangkap puluhan bintang yang bekerlip terang memenuhi langit angkasa. Indah.

Ya. Luar angkasa yang Anggar maksud, ia ingin menonton puluhan bintang diatas flyover Antasari sembari menunggu sunrise. Adakah yang lebih romantis?

Pria itu menurunkan sandaran kursinya, lalu menurunkan sandaran kursi Rara, lantas pria itu mengisyaratkan Rara untuk merebahkan tubuhnya disana.

Keduanya bersandar pada bangku mobil, seketika Rara tertawa kecil, ia menatap salah satu bintang kecil dan menunjuknya. “Nggar, kamu pernah bilang saya mirip bintang kan? Masih mirip gak sekarang? Coba bintang bisa dipelihara dirumah pasti lucu, sayang cuman ada dilangit malem.” Rara tampak fokus menatap bintang diatas sana.

Sedangkan fokus Anggar bukan langit indah diatas sana, namun, perempuan disebelahnya, tentu saya Rara tidak sadar akan tatapan penuh arti Anggar. “Ra, tau ga?”

Rara berdehem, maniknya masih tampak berbinar menatap langit diatas. “The stars aren’t just coming from the sky, it’s also coming from your eyes.” Lirih Anggar pelan.

WUSH! Angin kencang yang seketika datang diatas flyover itu membuat Rara kesulitan mendengar ucapan Anggar. “Hah? Apa Nggar?”

Anggar terkekeh geli mengingat ucapannya barusan. “Nggak, kamu masih mirip kok, masih mungil tapi sok kuat.”

“Dih.”

“Ra.”

“Apa?”

“Dulu waktu belum nikah sama saya, kenapa gapernah pacaran lagi? emang kamu segitunya gak mau kenal dan coba nyembuhin diri dari masa lalu? emangnya kamu gapernah dibaperin orang?”

Rara terkekeh geli mendengar pertanyaan Anggar. “Saya bisa baper Nggar, kapan pun dimana pun sama siapa pun. tapi nggak sama sayang dan cinta, gatau dua hal itu susah banget buat saya. Kalau soal pacaran… rasanya kayak gatau ya, saya capek aja mesti kenalan lagi, pdkt lagi, adaptasi lagi, cerita tentang masa lalu lagi, saya bahkan sampe mikir, bisa gak sih pacaran tuh langsung aja gausah pake kenal-kenal dulu capek tau. Kaya sia-siain waktu cuman buat hal gapenting kaya gitu, kalo ujung-ujungnya sakit kan ya sama aja boong.”

Anggar mengangguk-angguk setuju. “Bener sih, capek juga kenalan lagi. Makanya saya nikahin kamu, capek saya kenalan.”

Rara menoleh kearah Anggar yang tengah menatap langit. “Maksudnya? Kita kan baru kenal pas kamu ngajar saya?”

Anggar tersenyum. “Ya karena udah pernah ngajar itu, saya jadi kenal kan.” Entah mengapa Rara merasakan ada sedikit rasa getar serta kegugupan pada suara Anggar.

Anggar bangkit, menatap Rara yang masih fokus menatapnya. “Need another hug?” Entah ia juga heran mengapa ia menawarkan itu tiba-tiba.

Rara terkekeh geli, entah hanya ia yang merasa atau tidak, namun, Anggar seperti pengisi daya untuknya. Ia pun menyambut tangan Anggar yang sudah merekah lebar.

Tepat saat Rara merengkuh tubuh Anggar, lantunan musik Honne yang berjudul by my side, lansung mengisi rungu keduanya.

🎶...You were there every time Every time that i needed a shoulder... And you kept me warm When my world grew darker and colder...🎶

Rara semakin mengeratkan rengkuhannya, tak terasa keduanya terisak kecil, entah menangisi apa, keduanya sama-sama bahagia dan terharu.

🎶...*You gave your strength When mine had gone And i could not go on...

Where were you when I hurt the most?

Where were you when I needed hope? I needed you close...

You were by my side*...🎶

Ada sekitar 4 menit hingga lagu itu habis, Rara baru melepas rengkuhanya, menatap Anggar sembari tersenyum manis. “Thanks.”

Anggar pun ikut tersenyum. “You’re welcome.

Rara kembali merebahkan tubuhnya, pun Anggar, mereka sama-sama diam seribu bahasa menonton langit malam yang indah, hingga tanpa sadar Rara terpejam, ia mulai kehilangan kesadarannya dan tertidur.

Anggar mendengus kecil sembari tersenyum miring. “Ra... bahagia terus ya sama saya...” Ia bangkit dari sandaran kursi, mendekatkan wajahnya kearah Rara, dan...

CUP~

Anggar mengecup pipi Rara, lalu mengelus surai wanita itu pelan. “Good night, sleep tight.” Bisiknya ditelinga Rara.


Rara mengerjapkan mata karena sinar matahari yang terus mengganggu ketenangan tidurnya. Netranya menangkap matahari yang baru saja terbit dengan indahnya. Warna putih oranye dengan dominasi langit gelap berkolabori indah membuat Rara terpesona.

“Wah!!” Rara tergugu kagum menatap sunrise didepannya. Ia sedikit menggeliat lalu menoleh kesamping, terlihat Anggar yang tengah menatapnya sembari tersenyum.

Seketika Rara langsung bangun dari tidurnya, menegakkan tubuhnya sembari bersedekap, tanpa malu-malu semburat merah yang terasa panas memenuhi pipinya. “Nggar? Kamu kenapa?” Ia seperti salah tingkah dilihati oleh pria itu.

Anggar masih tampak fokus menatap Rara.

Duh anjir ni orang kenapa jadi serem gini...

Rara langsung menutup wajah Anggar dengan telapaknya. “Nggar ih! Stop looking at me like that!

Anggar menyingkirkan jemari Rara dari wajahnya. “Morning.

CUP~

Anggar mengecup pucuk kepala Rara, sembari mengelus surai wanita itu pelan. “Tidurnya nyenyak?” Tanyanya lagi.

Otomatis Rara langsung menabok Anggar kencang. “IH ANGGAR!”

Anggar hanya terkekeh geli lalu tangannya beralih ke kemudi. “Kita harus cepet pulang nih.”

Rara menatap Anggar heran. “Kenapa?”

“Mami mau dateng kerumah, nginep semalem. Kita harus beresin kamar masing-masing kan?”

Seakan lupa dengan kecupan Anggar barusan. Rara langsung terlihat panik. “Hah?! All of a sudden?! Nginep?”

“Yup, all of a sudden. Selalu gitu bukannya?”

“Yaudah ayooo pulang sekarang cepet-cepettt!!” Rara memukul-mukul kecil lengan Anggar.

Anggar menekan tombol untuk menutup kembali atap mobil itu, dan melajukan kendaraannya membelah jalan T.B Simatupang, untuk pulang segera kerumah.

Duh... tidur bareng dong ini?

Rara terduduk frustasi diatas kasur, ia mencengkram kuat surainya. “IHHHHH!! MALUUUU BANGET SUMPAH!”

Manik Rara menatap jengah ubin marmer ditengah ruangan yang menjadi saksi bisu kemesuman seorang Anggar Lingga Sadadi. “Aduh! Mati gua nih, ngapain sih ngajak pergi segala, mau taro dimana coba muka gua!! Curang lagii! Pake bawa-bawa Wilmo! Anjeng loo!”

“Coba deh mikir, ni orang fix kaga waras! Udah nyium gua tiba-tiba, terus tiba-tiba ngajak pergi jam 1 malem, gile lu ndro… ndro...” Rara bermonolog seraya mengambil hoodie hitamnya di lemari.

“Ya ada sih orang-orang yang emang suka pergi malem, ya tapi kan pasti ke nightclub? dugem gitu, lah ini ngapain coba… masa sih dia ngajak gua… dugem? yakali cuy…” Ucap Rara sembari menatap pantulan dirinya dicermin.

Rara memasukkan dompet serta ponsel kedalam saku hoodienya. Tak lupa ia menyemprotkan parfume Zara varian Nuit salah satu hal wajib yang ia lakukan sebelum pergi. It smells just like vanilla, manis, seger, soft, dan calming.

Rara menggosokkan kedua pangkal telapak tangannya lalu menghirup wangi yang tersisa disana. “Smells so goodddd.”

Kemudian Rara mengambil Lipbalm Yves Rocher varian vanilla, entah mengapa ia secinta itu dengan bau vanilla. Sesaat ia menatap wajahnya dicermin, lalu tangannya mulai terangkat ingin memakai lipbalm, namun, saat ia menatap bibirnya, air mukanya berubah muram. “LIAT AJE LU YE!! GUA MARAH SEMARAH-MARAHNYA AMA ELU NGGAR! AWAS YE LU!” Mood Rara mendadak buruk mengingat akan kejadian yang menimpanya tadi.

Mau niat baik kek mau niat buruk kek, tetep aje! Ciuman pertama gua!

Namun, akhirnya Rara memoleskan lipbalm itu, bibirnya manyun karena masih terasa kesal, sejenak ia memperhatikan ranumnya yang tampak bengkak dan memerah. Ia langsung memalingkan wajahnya dari cermin. Duhhhh! Apasih Ra kok lu malah salting liatin bibir lu sendiri.

Gak waras nih gua kalo udah begini! Tadi perasaan gua kesel deh? Tapi kok ada sedikit rasa... seneng ya?

Setelah selesai dengan semua tetek bengek, Rara pun melangkah keluar. Ia menatap suasana lantai 2 yang redup, seketika bulu kuduknya meremang, memang kata-kata terlarang yang dikatakan Anggar tadi sukses memaksanya untuk ikut pergi. Emang anzeng!!

Rara berjalan menuju tangga, melangkah kecil menuruni anakan tangga, rasa dingin dari kayu langsung menyambut indera perasa pada telapak kakinya.

Sesampainya dibawah, netranya menangkap Anggar yang tengah duduk disofa panjang ruang keluarga. “Mau kemana sih?” Tanya Rara.

Anggar bangkit, lalu berjalan kearah pintu keluar. “Udah ayok, jangan nanya terus, situ bukan wartawan.”

NI ORANG BENER-BENER!!!

Rara menatap penuh dendam kearah punggung Anggar yang tengah membuka pintu. Lo pilih deh Nggar! kuburan apa rumah sakit!! Hih!! Macem gapunya malu lo abis nyium perawan!

Rara melangkah mengikuti Anggar keluar, maniknya membulat hebat saat ia melihat sebuah mobil Mini Cooper berwarna biru muda terparkir di teras rumah. “Mobil… siapa?” Tanya Rara heran.

“Kamu.”

HAH?!. Rara tercengang bukan main.

“Udah ayok masuk.” Anggar masuk terlebih dahulu, meninggalkan Rara didepan pintu utama. Lantas wanita itu berdecih kesal sembari menghentakkan kakinya kecil.

Rara menutup pintu rumah yang otomatis terkunci, lalu ia masuk kedalam mobil, enggan menatap Anggar yang sudah siap didepan kemudi.

Sungguh kalau ini adalah dunia kartun, diatas kepala Rara pasti sudah ada sungut setan berwarna merah yang berbinar seperti kunang-kunang.

Anggar menjalankan mobilnya, meninggalkan pekarangan rumah mereka.

“Mau kemana sih?” Rara memasang seatbelt, lalu bersedekap.

“Inget gak waktu kita liat bintang di rooftop Kempinski?”

Rara mengangguk pelan, maniknya masih fokus menatap jalanan sepi didepan.

“Saya mau ajak kamu kesuatu tempat.”

“Kemana? Buat apa?”

Anggar tersenyum tipis, maniknya fokus kejalanan didepan. “Healing.

Pukul 23.59

TOK! TOK! TOK! Sudah dua jam Anggar mengetuk pintu kamar Rara, sebenernya sih bisa aja langsung masuk, orang password-nya gampang banget. Tapi, namanya juga kamar perempuan, gak bisa seenaknya masuk dong.

Biasanya dalam sekali atau dua kali ketukan, pintu itu akan terbuka, namun, pintu itu tak kunjung memperlihatkan penghuni di dalamnya. “Ra?” Anggar setengah berteriak.

Belum menyerah, Anggar terus mengetuk kamar Rara, masalahnya, perempuan itu belum makan sedari pagi. Karena Anggar hanya manusia biasa yang punya batas kesabaran, alhasil ia langsung menekan access code pintu kamar Rara.

Nit! Nit! Anggar mendorong pintu kamar Rara pelan, ia menyembulkan kepalanya, maniknya terbelalak saat ia melihat Rara yang tergeletak ditengah ruangan. “RARA!” Ia langsung berlari menghampiri Rara.

Reflek Anggar mendudukkan dirinya dilantai, menepuk pelan pipi Rara. Sialnya wanita itu tak kunjung bangun. “Ra... kamu... aduh ni orang masih idup kan?”

Anggar menatap Rara khawatir, maniknya mulai berair saat ia mencoba menggerakkan tubuh yang terkulai lemas didepannya, ia terus menggoyangkannya kencang, namun, nihil, wanita itu masih terdiam. Sekilas ia melihat botol melatonin yang sudah kosong berada disamping tubuh wanita itu. Did she just...? Shit — batin Anggar.

“Ra!!” Anggar menepuk pipi Rara sekali lagi. “Ra! bangun!... Hey!!” Ia menarik tubuh Rara kedalam rengkuhannya, menangis karena sang puan tak kunjung membuka matanya.

Sungguh, Anggar gelisah bukan main. Ia meletakkan kembali tubuh Rara pada ubin.

Sejenak Anggar terdiam. Kemudian, tanpa ragu, ia mendekatkan wajahnya ke arah wajah Rara. Kini jarak mereka sungguhlah dekat, hingga puncak hidungnya menyentuh puncak hidung Rara, sontak hal itu membuat Anggar merasakan aliran listrik yang menggelitik perutnya.

Pikiran Anggar sudah tak karuan, ia takut, takut sekali, jika sesuatu buruk menimpa wanita yang ada dihadapannya ini.

Anggar semakin menghapus jarak yang tinggal 5 centi itu.

Hingga.

CUP~

Anggar mendaratkan bibirnya pada benda kenyal nan lembut berwarna pink pucat milik Rara. Dengan cepat ia memegang kedua pipi wanita itu dengan jemarinya, ia mencoba memberi napas buatan. Pernah sekali ia membaca artikel tentang cara memberikan pertolongan pertama.

Sialnya, hanya itu cara yang teringat di benaknya.

Baru beberapa detik, seketika mata Rara terbuka, wanita itu terperanjat kala netranya menangkap Anggar yang tengah berada diatasnya.

“AAAAAAAAAA!!!!!” Teriakan Rara menggelegar mengisi kesunyian didalam kamarnya.

BRUK!! Dengan sekuat tenaga Rara mendorong tubuh Anggar kencang, membuat tubuh pria itu terpental tak jauh dari tempatnya.

Rara memeluk tubuhnya rapat. “IHHH! PERVERT!! NGAPAIN LO BARUSAN ANJIR?!?!!!” Ucap Rara penuh emosi.

ITU CIUMAN PERTAMA GUA JAENABBB!!!

Anggar masih tampak shock diatas lantai, ia menatap Rara tak percaya. “Eh… anu.. duh—Anggar sedikit salah tingkah menghadapi kebodohannya sendiri— saya pikir… kamu… kok kamu dilantai?!”

Rara yang masih tampak takut semakin merapatkan dirinya. “Ya emangnya kenapa! salah?!!”

Anggar mendengus kesal. “Ya nggak… ya cuman… ya kan—

“Ya apa?!” Sela Rara, masih penuh emosi.

“Lagian ngapain sih dilantai? kan saya pikir kamu kenapa-napa... Ini lagi—Anggar menunjuk botol obat yang telah kosong—, kenapa masih konsumsi pil ini sih? Saya pikir kamu keracunan tau.” Cicit Anggar pelan.

Rara menghela napas pelan. “Ya tidur dikasur panas! makanya saya tiduran diubin, lagian ya, saya ga minum ini—Ia mengambil botol kosong itu lalu menutupnya pelan— Saya tadi bosen, jadi saya mainin tutupnya.” Ucap Rara, masih tampak kesal.

Seketika Anggar tampak kesal mendengar penjelasan Rara, merasa tertipu. Ia mendengus kesal. “Gajelas banget sih. Lagian tinggal nyalain AC, jadi kan orang gasalah paham kaya gitu. Kenapa sih? Takut disuruh bayar listrik?”

Rara menatap Anggar tak percaya. “Dingin! Lagian ya! Even saya yang bayar listrik juga mampu kok! Gosah congkak!!”

Anggar memicingkan matanya. “Banyak mau. Dingin salah, panas salah.”

“Loh?!? SUKA-SUKA GUA GAK SIH?!!!!” Rara semakin ngotot.

Tak mau perbincangan ini menjadi debat kusir, Anggar memilih untuk bangkit. “Saya tunggu dibawah, pake hoodie atau cardigan, up to you. GPL, gapake lama.” Ucap Anggar sembari melangkah keluar.

“Loh mau kem—

“Gausah banyak tanya, cepetan siap-siap. Kalo gak mau pergi, saya tinggalin kamu dirumah sendiri, ntar Wilmo dateng!” Ancam Anggar.

Manik Rara otomatis membulat. “IHHHHH NGESELINNNNN!!!!!” Ia langsung melempar bantal kecil yang tadi ia gunakan ke arah Anggar.

BLAM! Pintu itu tertutup tepat saat bantal yang tadi Rara lempar mengenai pintu.

Awas lu ye!

Rara bangkit, lalu berjalan pelan kearah pintu, mengambil bantal yang tadi ia lempar, sejenak ia memeluk bantal itu sembari berpikir.

By the way... tadi kok mukanya Anggar kaya merah gitu sih? Dia sakit?

Pukul 23.59

TOK! TOK! TOK! Sudah dua jam Anggar mengetuk pintu kamar Rara, sebenernya sih bisa aja langsung masuk, orang password-nya gampang banget. Tapi, namanya juga kamar perempuan, gak bisa seenaknya masuk dong.

Biasanya dalam sekali atau dua kali ketukan, pintu itu akan terbuka, namun, pintu itu tak kunjung memperlihatkan penghuni di dalamnya. “Ra?” Anggar setengah berteriak.

Belum menyerah, Anggar terus mengetuk kamar Rara, masalahnya, perempuan itu belum makan sedari pagi. Karena Anggar hanya manusia biasa yang punya batas kesabaran, alhasil ia langsung menekan access code pintu kamar Rara.

Nit! Nit! Anggar mendorong pintu kamar Rara pelan, ia menyembulkan kepalanya, maniknya terbelalak saat ia melihat Rara yang tergeletak ditengah ruangan. “RARA!” Ia langsung berlari menghampiri Rara.

Reflek Anggar mendudukkan dirinya dilantai, menepuk pelan pipi Rara. Sialnya wanita itu tak kunjung bangun. “Ra... kamu... aduh ni orang masih idup kan?”

Anggar menatap Rara khawatir, maniknya mulai berair saat ia mencoba menggerakkan tubuh yang terkulai lemas didepannya, ia terus menggoyangkannya kencang, namun, nihil, wanita itu masih terdiam. Sekilas ia melihat botol melatonin yang sudah kosong berada disamping tubuh wanita itu. Did she just...? Shit — batin Anggar.

“Ra!!” Anggar menepuk pipi Rara sekali lagi. “Ra! bangun!... Hey!!” Ia menarik tubuh Rara kedalam rengkuhannya, menangis karena sang puan tak kunjung membuka matanya.

Sungguh, Anggar gelisah bukan main. Ia meletakkan kembali tubuh Rara pada ubin.

Sejenak Anggar terdiam. Kemudian, tanpa ragu, ia mendekatkan wajahnya ke arah wajah Rara. Kini jarak mereka sungguhlah dekat, hingga puncak hidungnya menyentuh puncak hidung Rara, sontak hal itu membuat Anggar merasakan aliran listrik yang menggelitik perutnya.

Pikiran Anggar sudah tak karuan, ia takut, takut sekali, jika sesuatu buruk menimpa wanita yang ada dihadapannya ini.

Anggar semakin menghapus jarak yang tinggal 5 centi itu.

Hingga.

CUP~

Anggar mendaratkan bibirnya pada benda kenyal nan lembut berwarna pink pucat milik Rara. Dengan cepat ia memegang kedua pipi wanita itu dengan jemarinya, ia mencoba memberi napas buatan. Pernah sekali ia membaca artikel tentang cara memberikan pertolongan pertama.

Sialnya, hanya itu cara yang teringat di benaknya.

Baru beberapa detik, seketika mata Rara terbuka, wanita itu terperanjat kala netranya menangkap Anggar yang tengah berada diatasnya.

“AAAAAAAAAA!!!!!” Teriakan Rara menggelegar mengisi kesunyian didalam kamarnya.

BRUK!! Dengan sekuat tenaga Rara mendorong tubuh Anggar kencang, membuat tubuh pria itu terpental tak jauh dari tempatnya.

Rara memeluk tubuhnya rapat. “IHHH! PERVERT!! NGAPAIN LO BARUSAN ANJIR?!?!!!” Ucap Rara penuh emosi.

ITU CIUMAN PERTAMA GUA JAENABBB!!!

Anggar masih tampak shock diatas lantai, ia menatap Rara tak percaya. “Eh… anu.. duh—Anggar sedikit salah tingkah menghadapi kebodohannya sendiri— saya pikir… kamu… kok kamu dilantai?!”

Rara yang masih tampak takut semakin merapatkan dirinya. “Ya emangnya kenapa! salah?!!”

Anggar mendengus kesal. “Ya nggak… ya cuman… ya kan—

“Ya apa?!” Sela Rara, masih penuh emosi.

“Lagian ngapain sih dilantai? kan saya pikir kamu kenapa-napa... Ini lagi—Anggar menunjuk botol obat yang telah kosong—, kenapa masih konsumsi pil ini sih? Saya pikir kamu keracunan tau.” Cicit Anggar pelan.

Rara menghela napas pelan. “Ya tidur dikasur panas! makanya saya tiduran diubin, lagian ya, saya ga minum ini—Ia mengambil botol kosong itu lalu menutupnya pelan— Saya tadi bosen, jadi saya mainin tutupnya.” Ucap Rara, masih tampak kesal.

Seketika Anggar tampak kesal mendengar penjelasan Rara, merasa tertipu. Ia mendengus kesal. “Gajelas banget sih. Lagian tinggal nyalain AC, jadi kan orang gasalah paham kaya gitu. Kenapa sih? Takut disuruh bayar listrik?”

Rara menatap Anggar tak percaya. “Dingin! Lagian ya! Even saya yang bayar listrik juga mampu kok! Gosah congkak!!”

Anggar memicingkan matanya. “Banyak mau. Dingin salah, panas salah.”

“Loh?!? SUKA-SUKA GUA GAK SIH?!!!!” Rara semakin ngotot.

Tak mau perbincangan ini menjadi debat kusir, Anggar memilih untuk bangkit. “Saya tunggu dibawah, pake hoodie atau cardigan, up to you. GPL, gapake lama.” Ucap Anggar sembari melangkah keluar.

“Loh mau kem—

“Gausah banyak tanya, cepetan siap-siap. Kalo gak mau pergi, saya tinggalin kamu dirumah sendiri, ntar Wilmo dateng!” Ancam Anggar.

Manik Rara otomatis membulat. “IHHHHH NGESELINNNNN!!!!!” Ia langsung melempar bantal kecil yang tadi ia gunakan ke arah Anggar.

BLAM! Pintu itu tertutup tepat saat bantal yang tadi Rara lempar mengenai pintu.

Awas lu ye!!!

Rara bangkit, lalu berjalan pelan kearah pintu, mengambil bantal yang tadi ia lempar, sejenak ia memeluk bahan itu sembari berpikir.

By the way... tadi kok mukanya Anggar kaya merah gitu sih? Dia sakit?

Sekarang Rara dan Anggar kembali melanjutkan jalannya, menyusuri kawasan Thamrin-Sudirman, hingga mencapai titik yang mereka tuju. Ya, bundaran HI.

“Yeayyy!!!” Rara bersorak kegirangan. Ia menatap takjub kearah Tugu dengan air mancur disekitarnya.

Sungguh, Rara merasa dejavu, kala netranya melihat Mall Grand Indonesia, pikirannya melayang pada saat ia melakukan pertemuan dengan Anggar di resto Social House.

Ntah apa yang akan terjadi jika Anggar tidak datang untuk bertemu dengannya, habis sudah Rara dilahap bule biadab bernama Michael itu.

Rara menghela napas. “Capek juga ya jalan sejauh ituuu... enak nih kalo makan es doger.” Maniknya jelalatan mencari penjual asongan yang mondar-mandir di pinggir jalan.

Anggar mengernyit. “Ra.. Ra.. kamu tuh niat jalan apa niat kulineran sih disini.”

“Dua-duanya dong!!” Rara bertepuk tangan semangat sembari menghentak-hentakan kakinya kecil. “Masih pengen nyari itu deh, apa namanya... Otak-otak dua ribuan yang ikan sapu-sapu.”

Anggar terbelalak. “Yaampun Ra, kamu tau itu ikan sapu-sapu tapi tetep kamu makan?” Ia menatap Rara tak percaya.

Rara menatap Anggar heran. “Dih! apasi. Maksud saya tuh ikan sapu-sapu ya karena harganya murah banget cuman dua ribu, walaupun porsinya seiprit, tapii yaa tetep enak tetep kenyel gitu, kaya kebanyakan tepung aci, tapi saya tetep suka sih... Eh!! itu ada—Netra Rara tak sengaja melihat penjual yang tengah membakar otak-otak diatas gerobaknya—... saya kesana dulu ya hehe.” Rara langsung meninggalkan Anggar disaat pria itu tengah mengikat tali sepatunya yang sempat kendur.

Sejenak Anggar memainkan ponselnya dipinggir trotoar, maniknya bolak-balik beralih dari ponsel lalu ke arah Rara lalu ke ponsel lagi. Dalam sepersekian detik, Rara menghilang, perempuan itu tidak berada disamping gerobak otak-otak.

Anggar pun langsung beranjak dari tempatnya, netranya menerawang seluruh penjuru jalan, mencari-cari dimana perempuan itu berada.

Nah! Anggar menatap tak suka saat netranya menangkap Rara yang tengah berbincang asik dengan seorang pria dengan tubuh tinggi dan juga atletis.

“Makin cantik aja Ra… Single gak nihh…”

Rara terbahak mendengar penuturan pria itu, membuat Anggar geram dan langsung beranjak menghampiri keduanya. “Ra, dicariin kemana, taunya disini.” Ucap Anggar datar, ia menatap dingin kearah pria dihadapan Rara.

Rara tersentak saat ada seseorang yang mencolek lengannya. “Eh? oalahh.. Anggar toh.”

“Ini siapa Ra...?” Ucap pria yang tadi tengah bercanda dengan Rara.

Rara tersenyum tipis sembari menunjuk pria didepannya dengan telunjuknnya. “Oh ya Nggar, kenalin ini Jeffri, temen pas SMA. Nah, Jeff, kenalin ini Anggar, suami gua.”

“Owh... damn... i didn't know you

Rara memicingkan matanya kearah Jeffri. “Gua ngundang lo ya!! lo nya aja yang workholic sok-sok gadateng...”

“Sorry, kayaknya undangan lo ketumpuk sama berkas lain pas ditaro dimeja gua deh, puyeng dah jadi lawyer.”

“Iye dah yang sibuk.”

Anggar semakin tak suka saat ia melihat tatapan Jeffri kearah Rara. Jelas saja, sebagai sesama pria, ia mengerti mana tatapan biasa mana tatapan tertarik. “Ra, pulang yuk?”

“Eh? oh.. capek Nggar?”

“Iya.” Singkat, padat, dingin.

Rara kembali menatap Jeffri. “Jeff gua balik dulu ya? udah dari pagi soalnya.”

“Ohiya Ra! tiati yak!”

Rara tersenyum tipis, baru saja ia ingin mengangkat tangan untuk berdadah-dadah ria, Anggar dengan cepat menggandeng jemari Rara. “Ayok.”

Sembari berjalan, Rara menoleh sedikit kearah Jeffri. “Ehh.. ehiya sabar dong. Pamit ya Jeff… dahh!” Rara berlalu, meninggalkan Jeffri yang menatap punggung dua insan yang kian menjauh. Gila… makin cantik aja. — Pikir Jeffri.

Dilain sisi, Anggar yang masih menggenggam jemari Rara, seketika ia berhenti melangkah. Otomatis Rara pun ikut berhenti. “Eh… kenapa Nggar?”

Anggar terdiam, menatap Rara datar. Rara mengernyit heran. “Nggar? kenapa diem aja?”

Anggar masih terdiam.

“Nggar?” Rara mengibaskan jemarinya didepan wajah Anggar. “Oitt!”

“Jeffri dulu ngeceng kamu ya?”

Alis Rara naik satu. “Loh… kok tau?”

Anggar semakin menekuk wajahnya. “Pernah deket?”

“Nggak sih.. kan dulu saya punya pacar…”

Anggar terdiam.

“Nggar?”

Pria itu masih terdiam, menatap Rara datar.

“Hey?” Kembali Rara mengibaskan jemarinya.

Cup~

Dalam hitungan detik Anggar mengecup pelipis Rara cepat. “Tanda. Biar cowok lain gak seenaknya nebar senyum kekamu. Dan juga —Anggar melirik jemari Rara— cincinnya lain kali dipake, saya aja gapernah lepas.” Lalu ia beranjak pergi meninggalkan Rara yang membeku diam ditempatnya.

Rara meneguk salivanya. Hah…… . . . . . Sialan.