@mintsugarkyopta

Selamat membaca sayang!

Sore itu, niat awalnya Rafina dan Garda mau mampir sebentar ke Apart Garda. Hanya untuk ambil hoodie, ambil tumblr, lalu berangkat.

Simple. Harusnya.

Pintu apartemen terbuka dengan satu dorongan malas. Garda masuk lebih dulu. Di belakangnya, Rafina—dengan langkah kecil ragu—mengikut pelan seraya clingak-clinguk, layaknya bocah yang nyasar di pasar.

Begitu pintu terbuka, alih-alih suasana sepi yang menyambut mereka justru suara riuh layak pasar malam berkumandang.

Anjing.

Bola mata Rafina hampir copot separuh saat melihat ruangan yang penuh sesak dengan makhluk-makhluk bertampang urakan macam tukang tambal ban, tukang las, dan musisi indie. Semuanya berambut awut-awutan, kaos lusuh, celana training belel, dan asap rokok yang nyaris menghalangi penglihatannya.

Refleks Rafina ngerem di ambang pintu saat aroma tembakau memasuki rungunya.

Di dalam, semua anggota Nocturn nongkrong kayak abang-abang pangkalan.

Bagas selonjoran sambil ngunyah ciki, Fadhil ketawa-ketiwi seraya nonton tiktok, Gersa nyeduh kopi sachet sambil debat sama Agra soal teori politik yang tidak mudah untuk dipahami.

Lantas Garda mendelik datar seraya masuk ke area dapurnya. “Bangke… lupa kalo bocah-bocah ini pada izin nongkrong di sini.” Tuturnya pelan.

Satu per satu, kepala-kepala itu menoleh ke arah kedua muda mudi itu, ekspresi mereka langsung seperti anak sekolahan yang baru ketahuan basah saat sedang nyontek berjamaah.

Shock. Berat.

“Lah? Loh?” Gersa memulai dengan tampang herannya seraya menunjuk Rafina.

“PAANEH!!! PENGANTEN KAH?” teriak Fadhil, langsung meledakkan tawanya.

“WAH DI KUA APA GRAHA, GAR??” Tambah Bagas seraya mengacungkan cikinya.

Lantas Fadhil melipat tangan di dada, mimik wajah sok serius, “Aku ingin bertanya… akad-nya kapan, Mas Garda?”

“CAILEHH ‘Mas Garda’ asoyyy benerrr.” Tambah Bagas seraya menabok pundak Fadhil pelan.

Lantas keduanya cekikikan seraya memegang perutnya.

Agra yang sedang berdiri di samping Gersa pun langsung berkacak pinggang dengan mimik sok tidak menyangkanya. “Walah mesti ngundang rombongan kayak e! Iki kudu tak siapno batik siji!”

“Gue lindes pala lo pada ya.” Jawab Garda cepat seraya melepas sepatu salomonnya.

Nael dan Wikan, yang duduk di karpet sambil main Uno, langsung menjatuhkan kartunya ke karpet saat maniknya menatap Rafina, sang sahabat, sang musuh bebuyutan Garda, datang ke dalam sarang penyamun.

“Lu ngapain Rafina…” Nael tenganga lebar. Ia terlihat sangat shock.

Sedangkan Wikan hanya terdiam karena iya betul ia tidak bisa berkata-kata.

Yang ditanya hanya bisa berdiri mematung. Maniknya sedikit melotot, tangannya menempel erat di tas selempangnya kayak lagi nyari pegangan hidup.

Astaga. Astaga. Astaga.

Mungkin, kalau Rafina jalan mundur pelan-pelan sekarang, dia masih bisa kabur sebelum urat malunya terputus.

Garda pun masuk ke area ruang tamunya, seraya mengibaskan tangan. “Udah, diem lo pada. Bentar ya, gue sholat dulu. Lo duduk aja samping Nael sama Wikan.” Ucapnya seraya mengalihkan wajahnya ke Rafina.

“HAAAH??!” Bagas hampir tersedak ciki. “LO SHOLAT, GAR?!” Teriaknya keras.

“ANJIR NITIP GAR, NITIP SATU ROKAAT.” Tambah Fadhil cepat.

“Mending lo refill dulu kuota soljum lu Dhil,” Jawab Gersa meledek.

Garda dengan gaya cuek bebeknya, berjalan ke arah laci nakas kecil di samping sofa, mengambil sajadah lipet, lalu melengos masuk kamar.

Seraya lewat depan Rafina yang telah terduduk kaku di samping Nael dan Wikan, ia nyeletuk. “Lo kalo mau cari Joder di sini, percuma. Nggak ada di sini.” Lalu kabur masuk ke kamar.

Seperti tau niatnya ketahuan, mimik wajah Rafina langsung mecucu layaknya bocah kehilangan mainan di mall seraya celingak-celinguk hopeless, ngarep si Joder nongol dari balik sofa.


Minggu pagi yang sejuk dengan segudang deadline serta suara mesin cuci yang mengisi kesunyian pada kediaman Anggar dan Rara.

Setelah menerima pesan singkat akan ajakan menonton film bersama di Mini Theatre oleh Anggar, Rara langsung keluar dari kamarnya dan mengangkat beberapa jemuran. Setelah itu ia mengambil beberapa cemilan dari pantry dapur dan 2 cup kopi Tuku yang memang ia stock di dalam kulkasnya.

Usai membawa beberapa perintilan serta selimut bulu hangat favorite-nya, Rara langsung masuk kedalam theatre, netranya menangkap Anggar yang sedang asyik dengan ponselnya di atas sofa bed yang melingkari layar lebar yang ada di ruangan yang redup itu.

“Mau nonton apa sih?” Tanya Rara tepat saat ia menjatuhkan tubuhnya pada sofa bed di sebelah Anggar. Ia menaruh berbagai cemilan cepuluh yang ia bawa tadi.

Anggar hanya menatap Rara, arah pandangnya mengikuti seluruh gerakan Rara. “Apa ya? kamu suka film yang gimana?”

“Hmm... saya suka apa aja sih. EHH— Tau Posesif gak? mau nyoba nonton deh, kemaren kata Aras bagus, banyak moral value-nya.”

“Filmnya tentang apa?” Tanya Anggar.

Rara terdiam sejenak. “Hmmm... anak sma gitu pacaran, kurang tau sih, gak nanya juga kemaren tentang apa. Setel aja, ada kan di Netflix?”

“Bentar ya saya cari dulu.” Aslinya Anggar bukan tipikal yang menonton film-film menye dengan genre teenlit-romance seperti itu, bukan Anggar sekali, yah tapi kalau Rara yang meminta, Anggar bisa apa?

Usai mencari serta menyetel film itu, Anggar hanya duduk biasa sembari menyeruput kopi Tuku yang tadi Rara berikan, pun perempuan itu hanya duduk menonton sembari memakan cemilannya dengan santai. Awalnya Anggar masih mendengar beberapa celotehan Rara akan pasangan yang jatuh cinta secara instan dan memutuskan untuk berpacaran namun menurut Rara itu sangat cringe.

Hingga pada segmen dimana konflik-konflik itu mulai berdatangan, Anggar tak lagi mendengar celotehan Rara, ruangan itu terlalu gelap untuk bisa melihat dengan jelas mimik wajah Rara, bias cahaya dari arah layar pun hanya memperlihatkan lekukan hidung serta mulut Rara. Kok dia diem aja? nikmatin banget nontonnya, batin Anggar.

Hingga saat adegan demi adegan yang turut membuat Anggar terbelalak, dimana pemeran utama mengalami banyak kekerasan fisik serta kekerasan verbal bahkan ancaman-ancaman yang merusak mental serta ketakutan tak berujung yang membuat pemeran utama perempuan itu merasa hancur. Anggar reflek menoleh ke arah Rara.

Anggar teringat akan sosok Rasyad, mantan Rara yang melakukan kekerasan fisik serta verbal kepada Rara dulu semasa SMA, walau Anggar tak pernah tau detailya seperti apa, ia hanya tau sedikit-sedikit dari sanak saudara atau sahabat-sahabat Rara.

Tepat saat Anggar menoleh, netranya melihat Rara dengan tubuh yang bergetar serta air mata yang sudah berderai pada kedua pipinya, manik Rara terus menatap layar itu tanpa henti, ralat, ia tak bisa beralih, ia terlalu larut dalam sebuah film yang menyajikan kisah masa lalunya, dan ia sudah tidak bisa mengontrol ketakutan pada dirinya yang kian hari kian meyelinap keluar untuk mengusik ketenangan Rara lagi. Ia merasa terancam.

Ra... your hands... are shaking...” Ucap Anggar, ia terkesiap dengan kondisi Rara sekarang.

Rara tak menjawab, perempuan itu semakin terlihat ketakutan hingga segukan kecil itu lolos begitu saja dari kerongkongan Rara, membuat Anggar semakin gelagapan dan bingung dengan kondisi Rara sekarang.

“Hey... kamu kenapa?” Anggar dengan ragu menaruh jemarinya pada pundak Rara, tangan kirinya yang bebas menekan tombol power off pada remote tanpa melihat ke arah remote tersebut. Otomatis ruangan menjadi gelap gulita, hanya sinar-sinar lampu led berwarna biru yang menerangi samar-samar ruangan itu.

Ra? are you okay?” Bingung, jujur Anggar sangat bingung, ia mengelus pundak Rara pelan, mencoba untuk menenangkan sang nona.

Masih tak menjawab, Rara malah meringkuk, ia menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya yang ia tumpu pada kedua lututnya. Bukannya reda, Rara malah semakin terisak, bahkan dengan jelas Anggar dapat mendengar sesaknya dada Rara yang terus menerus mencari pasokan oksigen.

Jawaban dari semua kondisi Rara sekarang adalah trauma yang ia ingat melalui film yang baru saja mereka tonton, bahkan hanya dari sebuah ketikan, artikel, film, atau hal-hal kecil lainnya bisa men-trigger Rara pada masa kelamnya itu.

Rara ingat dengan jelas sakitnya seperti apa, sakit yang tak berdarah namun sukses membuat berat badannya turun drastis, jam tidurnya berantakan, nilainya terjun bebas, rambutnya rontok tak terkontrol, serta kesehatan mentalnya yang terusik hebat. Hal itu tak lain tak bukan adalah sakit yang diberikan oleh Rasyad. Orang yang ia percaya, namun menghancurkan segalanya dan nyaris membunuhnya secara perlahan.

Selain itu, ingatan akan Reza pun terus mengusiknya, semuanya bertubi-tubi, rasa sayang serta cintanya kepada Rasyad membuat sahabat tersayangnya malah pergi selamanya dari dunia ini, sebut ia tolol, karena ia sendiri sudah merasa tak pernah cukup untuk siapapun.

Rara semakin terpuruk dan ego dalam dirinya terus merajai kegelapan yang kini melingkupi relung hatinya. Ia merasa tenggelam dalam masa-masa yang harusnya sudah ia lupakan, yang harusnya sudah ia buang jauh-jauh walau masih banyak sekali tanya yang belum dapat ia temukan jawabannya.

Air matanya kian deras dengan bahunya yang bergetar dan dadanya yang naik turun, rasanya Rara ingin sesegera mungkin mencabut segala perih yang terus mengiris hatinya. “Ma-af...”

“G-gua me-mang sal-lah...”

“Ma-af...”

“Gu-ua har-rus-nya deng-ngerin lo...”

“Tapi gua bisa apa...”

“Gu-a ci-n-nta s-am-ma d-dia..”

“Ma—

Why do birds suddenly appear

Rara langsung mendongak, isakannya berhenti mendadak kala lantunan lagu Close To You – Carpenters itu mengalun pada rungunya. Siapa lagi kalau bukan Anggar yang menaruh airpodsnya pada telinga kiri wanita itu.

Every time you are near?

“Saya kalau lagi suntuk dan capek banget selalu dengerin lagu ini, dulu waktu saya sedih suka didengerin lagu ini sama Oma, sebelum dia meninggal.” Anggar menatap Rara dengan tulus, ia sedih melihat wanita yang sangat ia cintai seterpuruk itu.

Just like me, they long to be

“Kalau kamu sedih, cerita aja ke saya, saya dengerin, jangan nangis kaya gini, saya sedih liatnya.”

Close to you

“Kamu punya saya, jangan merasa not enough lagi ya?”

Rara menoleh ia terdiam dan terus menatap Anggar yang masih setia menatapnya, sungguh entah ada yang percaya atau tidak, mereka hanya saling menatap hingga lagu itu habis, tak hanya Rara yang memakai airpods namun Anggar turut memakainya, keduanya saling memandang sekaligus menatap satu sama lain tepat di bola mata keduanya.

Anggar mencopot airpods dari telinga Rara, lalu mencopot dari telinganya juga menaruh benda kecil itu pada meja pendek di depannya. “Udah mendingan?”

Rara mengangguk kecil, ia tak mengerti mengapa semudah itu ia tenang saat Anggar melakukan hal-hal kecil untuknya.

“Kalau kamu udah siap, kamu boleh cerita sama saya tentang segala unek-unek kamu, saya siap kok berbagi rasa sakit, daripada kamu terus-terusan kaya gitu, saya ikhlas.”

Rara masih terdiam, lantas ia kembali menunduk, enggan menjawab tuturan Anggar, ia hanya termenung. Ia sadar sekali tak mungkin kan ia terus-terusan memendamnya tanpa membagi sakitnya kepada orang lain, tapi memang dasarnya perempuan itu takut kalau orang lain harus merasakan apa yang ia rasakan.

Ada jeda sangat panjang hingga Rara akhirnya menghembuskan napasnya panjang, ia mendongak, menatap lurus kesembarang arah. “Dulu...”

“Dulu, saya mungkin emang bodoh aja kali ya.”

Anggar terdiam, enggan menginterupsi Rara yang sudah mulai berani berbicara.

“Saya dulu kenal sama Rasyad bentar doang, awalnya temen sekelas gitu, dia PDKT sama saya cuman seminggu, terus saya sama dia ya gitu, saling suka secara instan, gimana sih anak SMP, cinta monyet gitu.” Rara menarik napas panjang.

“Saya... pada saat itu ya secinta itu sama dia, soalnya dia pacar pertama saya, yang deket banyak, tapi saya gak tau kenapa yang berhasil bikin saya suka banget ya dia. Saya tuh kalau liat diri saya di masa lalu bener-bener malu, ya... sebenernya saya malu ceritain ini ke kamu Nggar, aib soalnya.” Rara kembali terdiam.

Rara menghela napas pelan. “Saya bucin banget, mana saya tuh jujur ya, bucin-bucin cuek gitu, gimana sih duh saya bingung. Saya... lumayan jutek ke dia dan itu jadi masalah. 1 tahun hubungan saya sama dia itu baik-baik aja, tapi saya suka ngambek gitu dan judes sedangkan dia tuh anak tunggal yang clingy banget apa aja diturutin sama mamanya jadinya bertolak belakang banget sama saya. Masalahnya kadang ngambeknya saya juga aneh sih, ya tapi anak SMP gimana sih, liat pacar banyak yang suka dan deketin ya kesel aja, terus tahun-tahun selanjutnya dia mulai hilang-muncul, hilang-mucul gitu aja terus. Pokoknya dramanya banyak, saya diselingkuhin 3-4 kali apa ya? saya lupa deh pokoknya banyak, saya terus maafin, saya juga gak ngerti sih kenapa, tapi kalau ditanya sekarang, kenapa saya gak lepas aja dari dulu, ya saya juga gak tau jawabannya, saya bahkan gak kenal diri saya saat itu.”

“Kamu... diselingkuhin 4 kali?” Tanya Anggar, sebisa mungkin ia menyembunyikan mimik kesalnya.

Rara mengangguk kecil sembari mengulum bibirnya, menahan getar yang mulai menjalar pada ranumnya. “Setiap ketauan selingkuh, ya dia marah sama saya, saya sering ngancem putus, bahkan saya pernah benar-benar ingin mutusin dia, tapi dia selalu gitu, persis kaya yang kita tonton tadi di film itu, semuanya saya alamin, untungnya, saya masih bisa menjaga kehormatan saya, itu suatu hal yang saya syukuri sampai sekarang.”

Hening.

Rara kembali terdiam, namun Anggar mengerti, mungkin Rara tengah mengontrol gemuruh amarah yang memporak-porandakan hatinya.

“Pernah satu waktu, saya foto sama teman sekelas saya, cowok, berdua doang, ini waktu kelas 9 SMP. Saya foto ya gak ada maksud gimana-gimana, saya cuman foto karena ya dia teman saya, dan waktu itu lagi ngerayain ulang tahun teman saya. Terus sorenya sama bimble, kebetulan saya bimble sekelas sama pacar saya ini, saya tunjukin foto as in cerita aja how was my day gitu kan. Karena siangnya dia gak masuk sekolah, tapi masuk les. Terus abis itu dia marah, di basement tempat saya les... – Rara mengambil napas panjang, mencoba untuk mengontrol getar pada suaranya – ... Dia marahin saya, katanya cemburu, tapi saya gak bakalan lupain apa yang dia lakuin saat itu.”

Glek! Anggar terdiam, entah mengapa ia takut mendengar kelanjutan cerita Rara.

“Dia ngelempar saya ke dinding, saya gak tau apakah saya sesalah itu sampai dia gituin aja, dia marah dan mojokin saya kaya orang gila, saya gak bisa mikir pada saat itu, saya diem dan otak saya cuman mikir, kok bisa anak kelas 9 punya personality kaya gitu. Terus pokoknya saya nangis, saya sampai takut banget, dan... setelah dia marah-marah dan nyadar kalau saya ketakutan, dia langsung meluk saya, dan minta maaf sambil nangis-nangis, pokoknya ngomong hal-hal yang bikin saya sedih dan merasa bersalah. Well... itu selalu terjadi tiap berantem selama 3 tahun saya pacaran sama dia kayak... kenapa harus dia yang nangis? kan dia yang marah-marah? sampai sekarang saya gak tau kenapa harus kaya gitu. Sebenernya masih banyak... bahkan lebih dari ngelempar ke dinding, dulu saya punya foto-foto memar karena ulah dia, tapi hp saya ke-reset dan belum sempet di backup.”

“Itu gaslighting. Tapi ya... anak SMP atau SMA belum ada knowledge tentang hal kaya gitu dulu, jadi wajar kalau kamu bingung menanggapinya.” Ucap Anggar sembari menatap Rara penuh prihatin. Ia sesekali meringis kesal tiap Rara menceritakan tiap detail akan ke brengsekan seorang Rasyad yang dulu merupakan sahabatnya di Inggris, bahkan kepalan tinju di balik punggungnya sudah teremat erat hingga buku-buku jemarinya memutih.

“Tapi setelah saya dewasa, saya paham kenapa dia kaya gitu, basically he is a spoiled kid yang gak pernah ditolak sama orang tuanya. Dia juga kapten futsal dimana dia dapet banyak dukungan dari orang-orang, selalu didukung dan gak pernah di salahin, saya jadi ngerti kenapa dia se-egois itu, mana dia itu lumayan tajir buat seukuran anak remaja.”

“Makanya saya lumayan pilih-pilih teman dan pasangan setelah putus sama dia. Kalau saya gak dijodohin sama kamu, mungkin saya bakal milih orang biasa dengan kehidupan yang biasa, saya gak mau semuanya harus berlebihan, saya gak butuh orang-orang hebat dengan kesombongan di atas rata-rata sehingga mereka gak mampu memanusiakan manusia hanya karena keinginannya gak kecapai, atau gak sesuai ekpektasi.”

Anggar masih terdiam, banyak sekali hal yang ingin ia sampaikan, ingin sekali ia bilang bahwa ia telah mencintai perempuan di hadapannya itu lebih dulu dibanding Rasyad, namun Anggar tau perempuan di depannya itu sangat trauma akan sebuah rasa cinta yang dihianati.

“Pokoknya setelah segala hal yang saya lewatin sama Rasyad, saya gak mau dengan mudah menaruh rasa sayang sama orang lain secara gamblang, dulu ada sih satu orang yang saya ngerasa kayaknya bisa nih gitu, tapi lagi-lagi karena saya ragu, ya gak jadi. Rugi sih di sayanya karena saya secara gak langsung ngeremehin kepercayaan orang, padahal masih banyak orang tulus di dunia ini.” Rara menunduk, ia kembali murung.

“Ra, emang berat kok, saya mungkin gak melewati apa yang kamu lewati, jadi saya mungkin gak begitu paham sama apa yang menghalangi hati kamu, tapi... kalau kamu ngerasa struggle sama beberapa hal, kamu boleh kok jadiin saya kelinci percobaan, pura-pura aja saya PDKT-in kamu, dan kamu sendiri yang nilai, apakah kamu udah bener-bener pulih dari sakit hati kamu itu apa belum.” Ucap Anggar, sengaja ia menaruh nada bercanda agar Rara tidak terlalu tegang.

Rara malah terkekeh. “Jangan ah.” Ia tersenyum tipis sembari menggosok kedua telapak tangannya, gugup mungkin. Lantas ia mendongak, menatap Anggar dengan intens. “Nggar.”

“Ya?” Tanya Anggar, ia turut menatap Rara tepat di bola mata perempuan itu.

“Jangan suka sama saya ya?” Saya takut suka sama kamu.

Alis Anggar naik satu. “Kenapa?”

Rara tersenyum lebar lalu terkekeh, maniknya menyipit sehingga wajahnya sedikit berseri-seri. “Saya gak mau jatuh cinta, kamu itu lumayan tipe saya loh, tapi saya gak mau suka sama kamu, jadi jangan suka sama saya ya?”

Anggar langsung tertawa hambar. “Hahaha... Geer kamu, siapa juga yang bakal suka sama kamu, gak usah pede.”

Bagus, jangan suka sama saya.

Rara ikut tertawa, lalu kembali menatap Anggar. “Bener ya? tolong jangan lewatin batas, tolong kerjasamanya.”

Anggar menghela napas pelan lalu mengangguk tipis sembari tersenyum tipis.

Belum maju, namun sudah ditolak, kadang cinta memang se-sakit itu.


Minggu pagi yang sejuk dengan segudang deadline serta suara mesin cuci yang mengisi kesunyian pada kediaman Anggar dan Rara.

Setelah menerima pesan singkat akan ajakan menonton film bersama di Mini Theatre oleh Anggar, Rara langsung keluar dari kamarnya dan mengangkat beberapa jemuran. Setelah itu ia mengambil beberapa cemilan dari pantry dapur dan 2 cup kopi Tuku yang memang ia stock di dalam kulkasnya.

Usai membawa beberapa perintilan serta selimut bulu hangat favorite-nya, Rara langsung masuk kedalam theatre, netranya menangkap Anggar yang sedang asyik dengan ponselnya di atas sofa bed yang melingkari layar lebar yang ada di ruangan yang redup itu.

“Mau nonton apa sih?” Tanya Rara tepat saat ia menjatuhkan tubuhnya pada sofa bed di sebelah Anggar. Ia menaruh berbagai cemilan cepuluh yang ia bawa tadi.

Anggar hanya menatap Rara, arah pandangnya mengikuti seluruh gerakan Rara. “Apa ya? kamu suka film yang gimana?”

“Hmm... saya suka apa aja sih. EHH— Tau Posesif gak? mau nyoba nonton deh, kemaren kata Aras bagus, banyak moral value-nya.”

“Filmnya tentang apa?” Tanya Anggar.

Rara terdiam sejenak. “Hmmm... anak sma gitu pacaran, kurang tau sih, gak nanya juga kemaren tentang apa. Setel aja, ada kan di Netflix?”

“Bentar ya saya cari dulu.” Aslinya Anggar bukan tipikal yang menonton film-film menye dengan genre teenlit-romance seperti itu, bukan Anggar sekali, yah tapi kalau Rara yang meminta, Anggar bisa apa?

Usai mencari serta menyetel film itu, Anggar hanya duduk biasa sembari menyeruput kopi Tuku yang tadi Rara berikan, pun perempuan itu hanya duduk menonton sembari memakan cemilannya dengan santai. Awalnya Anggar masih mendengar beberapa celotehan Rara akan pasangan yang jatuh cinta secara instan dan memutuskan untuk berpacaran namun menurut Rara itu sangat cringe.

Hingga pada segmen dimana konflik-konflik itu mulai berdatangan, Anggar tak lagi mendengar celotehan Rara, ruangan itu terlalu gelap untuk bisa melihat dengan jelas mimik wajah Rara, bias cahaya dari arah layar pun hanya memperlihatkan lekukan hidung serta mulut Rara. Kok dia diem aja? nikmatin banget nontonnya, batin Anggar.

Hingga saat adegan demi adegan yang turut membuat Anggar terbelalak, dimana pemeran utama mengalami banyak kekerasan fisik serta kekerasan verbal bahkan ancaman-ancaman yang merusak mental serta ketakutan tak berujung yang membuat pemeran utama perempuan itu merasa hancur. Anggar reflek menoleh ke arah Rara.

Anggar teringat akan sosok Rasyad, mantan Rara yang melakukan kekerasan fisik serta verbal kepada Rara dulu semasa SMA, walau Anggar tak pernah tau detailya seperti apa, ia hanya tau sedikit-sedikit dari sanak saudara atau sahabat-sahabat Rara.

Tepat saat Anggar menoleh, netranya melihat Rara dengan tubuh yang bergetar serta air mata yang sudah berderai pada kedua pipinya, manik Rara terus menatap layar itu tanpa henti, ralat, ia tak bisa beralih, ia terlalu larut dalam sebuah film yang menyajikan kisah masa lalunya, dan ia sudah tidak bisa mengontrol ketakutan pada dirinya yang kian hari kian meyelinap keluar untuk mengusik ketenangan Rara lagi. Ia merasa terancam.

Ra... your hands... are shaking...” Ucap Anggar, ia terkesiap dengan kondisi Rara sekarang.

Rara tak menjawab, perempuan itu semakin terlihat ketakutan hingga segukan kecil itu lolos begitu saja dari kerongkongan Rara, membuat Anggar semakin gelagapan dan bingung dengan kondisi Rara sekarang.

“Hey... kamu kenapa?” Anggar dengan ragu menaruh jemarinya pada pundak Rara, tangan kirinya yang bebas menekan tombol power off pada remote tanpa melihat ke arah remote tersebut. Otomatis ruangan menjadi gelap gulita, hanya sinar-sinar lampu led berwarna biru yang menerangi samar-samar ruangan itu.

Ra? are you okay?” Bingung, jujur Anggar sangat bingung, ia mengelus pundak Rara pelan, mencoba untuk menenangkan sang nona.

Masih tak menjawab, Rara malah meringkuk, ia menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya yang ia tumpu pada kedua lututnya. Bukannya reda, Rara malah semakin terisak, bahkan dengan jelas Anggar dapat mendengar sesaknya dada Rara yang terus menerus mencari pasokan oksigen.

Jawaban dari semua kondisi Rara sekarang adalah trauma yang ia ingat melalui film yang baru saja mereka tonton, bahkan hanya dari sebuah ketikan, artikel, film, atau hal-hal kecil lainnya bisa men-trigger Rara pada masa kelamnya itu.

Rara ingat dengan jelas sakitnya seperti apa, sakit yang tak berdarah namun sukses membuat berat badannya turun drastis, jam tidurnya berantakan, nilainya terjun bebas, rambutnya rontok tak terkontrol, serta kesehatan mentalnya yang terusik hebat. Hal itu tak lain tak bukan adalah sakit yang diberikan oleh Rasyad. Orang yang ia percaya, namun menghancurkan segalanya dan nyaris membunuhnya secara perlahan.

Selain itu, ingatan akan Reza pun terus mengusiknya, semuanya bertubi-tubi, rasa sayang serta cintanya kepada Rasyad membuat sahabat tersayangnya malah pergi selamanya dari dunia ini, sebut ia tolol, karena ia sendiri sudah merasa tak pernah cukup untuk siapapun.

Rara semakin terpuruk dan ego dalam dirinya terus merajai kegelapan yang kini melingkupi relung hatinya. Ia merasa tenggelam dalam masa-masa yang harusnya sudah ia lupakan, yang harusnya sudah ia buang jauh-jauh walau masih banyak sekali tanya yang belum dapat ia temukan jawabannya.

Air matanya kian deras dengan bahunya yang bergetar dan dadanya yang naik turun, rasanya Rara ingin sesegera mungkin mencabut segala perih yang terus mengiris hatinya. “Ma-af...”

“G-gua me-mang sal-lah...”

“Ma-af...”

“Gu-ua har-rus-nya deng-ngerin lo...”

“Tapi gua bisa apa...”

“Gu-a ci-n-nta s-am-ma d-dia..”

“Ma—

Why do birds suddenly appear

Rara langsung mendongak, isakannya berhenti mendadak kala lantunan lagu Close To You – Carpenters itu mengalun pada rungunya. Siapa lagi kalau bukan Anggar yang menaruh airpodsnya pada telinga kiri wanita itu.

Every time you are near?

“Saya kalau lagi suntuk dan capek banget selalu dengerin lagu ini, dulu waktu saya sedih suka didengerin lagu ini sama Oma, sebelum dia meninggal.” Anggar menatap Rara dengan tulus, ia sedih melihat wanita yang sangat ia cintai seterpuruk itu.

Just like me, they long to be

“Kalau kamu sedih, cerita aja ke saya, saya dengerin, jangan nangis kaya gini, saya sedih liatnya.”

Close to you

“Kamu punya saya, jangan merasa not enough lagi ya?”

Rara menoleh ia terdiam dan terus menatap Anggar yang masih setia menatapnya, sungguh entah ada yang percaya atau tidak, mereka hanya saling menatap hingga lagu itu habis, tak hanya Rara yang memakai airpods namun Anggar turut memakainya, keduanya saling memandang sekaligus menatap satu sama lain tepat di bola mata keduanya.

Anggar mencopot airpods dari telinga Rara, lalu mencopot dari telinganya juga menaruh benda kecil itu pada meja pendek di depannya. “Udah mendingan?”

Rara mengangguk kecil, ia tak mengerti mengapa semudah itu ia tenang saat Anggar melakukan hal-hal kecil untuknya.

“Kalau kamu udah siap, kamu boleh cerita sama saya tentang segala unek-unek kamu, saya siap kok berbagi rasa sakit, daripada kamu terus-terusan kaya gitu, saya ikhlas.”

Rara masih terdiam, lantas ia kembali menunduk, enggan menjawab tuturan Anggar, ia hanya termenung. Ia sadar sekali tak mungkin kan ia terus-terusan memendamnya tanpa membagi sakitnya kepada orang lain, tapi memang dasarnya perempuan itu takut kalau orang lain harus merasakan apa yang ia rasakan.

Ada jeda sangat panjang hingga Rara akhirnya menghembuskan napasnya panjang, ia mendongak, menatap lurus kesembarang arah. “Dulu...”

“Dulu, saya mungkin emang bodoh aja kali ya.”

Anggar terdiam, enggan menginterupsi Rara yang sudah mulai berani berbicara.

“Saya dulu kenal sama Rasyad bentar doang, awalnya temen sekelas gitu, dia PDKT sama saya cuman seminggu, terus saya sama dia ya gitu, saling suka secara instan, gimana sih anak SMP, cinta monyet gitu.” Rara menarik napas panjang.

“Saya... pada saat itu ya secinta itu sama dia, soalnya dia pacar pertama saya, yang deket banyak, tapi saya gak tau kenapa yang berhasil bikin saya suka banget ya dia. Saya tuh kalau liat diri saya di masa lalu bener-bener malu, ya... sebenernya saya malu ceritain ini ke kamu Nggar, aib soalnya.” Rara kembali terdiam.

Rara menghela napas pelan. “Saya bucin banget, mana saya tuh jujur ya, bucin-bucin cuek gitu, gimana sih duh saya bingung. Saya... lumayan jutek ke dia dan itu jadi masalah. 1 tahun hubungan saya sama dia itu baik-baik aja, tapi saya suka ngambek gitu dan judes sedangkan dia tuh anak tunggal yang clingy banget apa aja diturutin sama mamanya jadinya bertolak belakang banget sama saya. Masalahnya kadang ngambeknya saya juga aneh sih, ya tapi anak SMP gimana sih, liat pacar banyak yang suka dan deketin ya kesel aja, terus tahun-tahun selanjutnya dia mulai hilang-muncul, hilang-mucul gitu aja terus. Pokoknya dramanya banyak, saya diselingkuhin 3-4 kali apa ya? saya lupa deh pokoknya banyak, saya terus maafin, saya juga gak ngerti sih kenapa, tapi kalau ditanya sekarang, kenapa saya gak lepas aja dari dulu, ya saya juga gak tau jawabannya, saya bahkan gak kenal diri saya saat itu.”

“Kamu... diselingkuhin 4 kali?” Tanya Anggar, sebisa mungkin ia menyembunyikan mimik kesalnya.

Rara mengangguk kecil sembari mengulum bibirnya, menahan getar yang mulai menjalar pada ranumnya. “Setiap ketauan selingkuh, ya dia marah sama saya, saya sering ngancem putus, bahkan saya pernah benar-benar ingin mutusin dia, tapi dia selalu gitu, persis kaya yang kita tonton tadi di film itu, semuanya saya alamin, untungnya, saya masih bisa menjaga kehormatan saya, itu suatu hal yang saya syukuri sampai sekarang.”

Hening.

Rara kembali terdiam, namun Anggar mengerti, mungkin Rara tengah mengontrol gemuruh amarah yang memporak-porandakan hatinya.

“Pernah satu waktu, saya foto sama teman sekelas saya, cowok, berdua doang, ini waktu kelas 9 SMP. Saya foto ya gak ada maksud gimana-gimana, saya cuman foto karena ya dia teman saya, dan waktu itu lagi ngerayain ulang tahun teman saya. Terus sorenya sama bimble, kebetulan saya bimble sekelas sama pacar saya ini, saya tunjukin foto as in cerita aja how was my day gitu kan. Karena siangnya dia gak masuk sekolah, tapi masuk les. Terus abis itu dia marah, di basement tempat saya les... – Rara mengambil napas panjang, mencoba untuk mengontrol getar pada suaranya – ... Dia marahin saya, katanya cemburu, tapi saya gak bakalan lupain apa yang dia lakuin saat itu.”

Glek! Anggar terdiam, entah mengapa ia takut mendengar kelanjutan cerita Rara.

“Dia ngelempar saya ke dinding, saya gak tau apakah saya sesalah itu sampai dia gituin aja, dia marah dan mojokin saya kaya orang gila, saya gak bisa mikir pada saat itu, saya diem dan otak saya cuman mikir, kok bisa anak kelas 9 punya personality kaya gitu. Terus pokoknya saya nangis, saya sampai takut banget, dan... setelah dia marah-marah dan nyadar kalau saya ketakutan, dia langsung meluk saya, dan minta maaf sambil nangis-nangis, pokoknya ngomong hal-hal yang bikin saya sedih dan merasa bersalah. Well... itu selalu terjadi tiap berantem selama 3 tahun saya pacaran sama dia kayak... kenapa harus dia yang nangis? kan dia yang marah-marah? sampai sekarang saya gak tau kenapa harus kaya gitu.”

“Itu gaslighting. Tapi ya... anak SMP atau SMA belum ada knowledge tentang hal kaya gitu dulu, jadi wajar kalau kamu bingung menanggapinya.” Ucap Anggar sembari menatap Rara penuh prihatin. Ia sesekali meringis kesal tiap Rara menceritakan tiap detail akan ke brengsekan seorang Rasyad yang dulu merupakan sahabatnya di Inggris, bahkan kepalan tinju di balik punggungnya sudah teremat erat hingga buku-buku jemarinya memutih.

“Tapi setelah saya dewasa, saya paham kenapa dia kaya gitu, basically he is a spoiled kid yang gak pernah ditolak sama orang tuanya. Dia juga kapten futsal dimana dia dapet banyak dukungan dari orang-orang, selalu didukung dan gak pernah di salahin, saya jadi ngerti kenapa dia se-egois itu, mana dia itu lumayan tajir buat seukuran anak remaja.”

“Makanya saya lumayan pilih-pilih teman dan pasangan setelah putus sama dia. Kalau saya gak dijodohin sama kamu, mungkin saya bakal milih orang biasa dengan kehidupan yang biasa, saya gak mau semuanya harus berlebihan, saya gak butuh orang-orang hebat dengan kesombongan di atas rata-rata sehingga mereka gak mampu memanusiakan manusia hanya karena keinginannya gak kecapai, atau gak sesuai ekpektasi.”

Anggar masih terdiam, banyak sekali hal yang ingin ia sampaikan, ingin sekali ia bilang bahwa ia telah mencintai perempuan di hadapannya itu lebih dulu dibanding Rasyad, namun Anggar tau perempuan di depannya itu sangat trauma akan sebuah rasa cinta yang dihianati.

“Pokoknya setelah segala hal yang saya lewatin sama Rasyad, saya gak mau dengan mudah menaruh rasa sayang sama orang lain secara gamblang, dulu ada sih satu orang yang saya ngerasa kayaknya bisa nih gitu, tapi lagi-lagi karena saya ragu, ya gak jadi. Rugi sih di sayanya karena saya secara gak langsung ngeremehin kepercayaan orang, padahal masih banyak orang tulus di dunia ini.” Rara menunduk, ia kembali murung.

“Ra, emang berat kok, saya mungkin gak melewati apa yang kamu lewati, jadi saya mungkin gak begitu paham sama apa yang menghalangi hati kamu, tapi... kalau kamu ngerasa struggle sama beberapa hal, kamu boleh kok jadiin saya kelinci percobaan, pura-pura aja saya PDKT-in kamu, dan kamu sendiri yang nilai, apakah kamu udah bener-bener pulih dari sakit hati kamu itu apa belum.” Ucap Anggar, sengaja ia menaruh nada bercanda agar Rara tidak terlalu tegang.

Rara malah terkekeh. “Jangan ah.” Ia tersenyum tipis sembari menggosok kedua telapak tangannya, gugup mungkin. Lantas ia mendongak, menatap Anggar dengan intens. “Nggar.”

“Ya?” Tanya Anggar, ia turut menatap Rara tepat di bola mata perempuan itu.

“Jangan suka sama saya ya?” Saya takut suka sama kamu.

Alis Anggar naik satu. “Kenapa?”

Rara tersenyum lebar lalu terkekeh, maniknya menyipit sehingga wajahnya sedikit berseri-seri. “Saya gak mau jatuh cinta, kamu itu lumayan tipe saya loh, tapi saya gak mau suka sama kamu, jadi jangan suka sama saya ya?”

Anggar langsung tertawa hambar. “Hahaha... Geer kamu, siapa juga yang bakal suka sama kamu, gak usah pede.”

Bagus, jangan suka sama saya.

Rara ikut tertawa, lalu kembali menatap Anggar. “Bener ya? tolong jangan lewatin batas, tolong kerjasamanya.”

Anggar menghela napas pelan lalu mengangguk tipis sembari tersenyum tipis.

Belum maju, namun sudah ditolak, kadang cinta memang se-sakit itu.


Minggu pagi yang sejuk dengan segudang deadline serta suara mesin cuci yang mengisi kesunyian pada kediaman Anggar dan Rara.

Setelah menerima pesan singkat akan ajakan menonton film bersama di Mini Theatre oleh Anggar, Rara langsung keluar dari kamarnya dan mengangkat beberapa jemuran. Setelah itu ia mengambil beberapa cemilan dari pantry dapur dan 2 cup kopi Tuku yang memang ia stock di dalam kulkasnya.

Usai membawa beberapa perintilan serta selimut bulu hangat favorite-nya, Rara langsung masuk kedalam theatre, netranya menangkap Anggar yang sedang asyik dengan ponselnya di atas sofa bed yang melingkari layar lebar yang ada di ruangan yang redup itu.

“Mau nonton apa sih?” Tanya Rara tepat saat ia menjatuhkan tubuhnya pada sofa bed di sebelah Anggar. Ia menaruh berbagai cemilan cepuluh yang ia bawa tadi.

Anggar hanya menatap Rara, arah pandangnya mengikuti seluruh gerakan Rara. “Apa ya? kamu suka film yang gimana?”

“Hmm... saya suka apa aja sih. EHH— Tau Posesif gak? mau nyoba nonton deh, kemaren kata Aras bagus, banyak moral value-nya.”

“Filmnya tentang apa?” Tanya Anggar.

Rara terdiam sejenak. “Hmmm... anak sma gitu pacaran, kurang tau sih, gak nanya juga kemaren tentang apa. Setel aja, ada kan di Netflix?”

“Bentar ya saya cari dulu.” Aslinya Anggar bukan tipikal yang menonton film-film menye dengan genre teenlit-romance seperti itu, bukan Anggar sekali, yah tapi kalau Rara yang meminta, Anggar bisa apa?

Usai mencari serta menyetel film itu, Anggar hanya duduk biasa sembari menyeruput kopi Tuku yang tadi Rara berikan, pun perempuan itu hanya duduk menonton sembari memakan cemilannya dengan santai. Awalnya Anggar masih mendengar beberapa celotehan Rara akan pasangan yang jatuh cinta secara instan dan memutuskan untuk berpacaran namun menurut Rara itu sangat cringe.

Hingga pada segmen dimana konflik-konflik itu mulai berdatangan, Anggar tak lagi mendengar celotehan Rara, ruangan itu terlalu gelap untuk bisa melihat dengan jelas mimik wajah Rara, bias cahaya dari arah layar pun hanya memperlihatkan lekukan hidung serta mulut Rara. Kok dia diem aja? nikmatin banget nontonnya, batin Anggar.

Hingga saat adegan demi adegan yang turut membuat Anggar terbelalak, dimana pemeran utama mengalami banyak kekerasan fisik serta kekerasan verbal bahkan ancaman-ancaman yang merusak mental serta ketakutan tak berujung yang membuat pemeran utama perempuan itu merasa hancur. Anggar reflek menoleh ke arah Rara.

Anggar teringat akan sosok Rasyad, mantan Rara yang melakukan kekerasan fisik serta verbal kepada Rara dulu semasa SMA, walau Anggar tak pernah tau detailya seperti apa, ia hanya tau sedikit-sedikit dari sanak saudara atau sahabat-sahabat Rara.

Tepat saat Anggar menoleh, netranya melihat Rara dengan tubuh yang bergetar serta air mata yang sudah berderai pada kedua pipinya, manik Rara terus menatap layar itu tanpa henti, ralat, ia tak bisa beralih, ia terlalu larut dalam sebuah film yang menyajikan kisah masa lalunya, dan ia sudah tidak bisa mengontrol ketakutan pada dirinya yang kian hari kian meyelinap keluar untuk mengusik ketenangan Rara lagi. Ia merasa terancam.

Ra... your hands... are shaking...” Ucap Anggar, ia terkesiap dengan kondisi Rara sekarang.

Rara tak menjawab, perempuan itu semakin terlihat ketakutan hingga segukan kecil itu lolos begitu saja dari kerongkongan Rara, membuat Anggar semakin gelagapan dan bingung dengan kondisi Rara sekarang.

“Hey... kamu kenapa?” Anggar dengan ragu menaruh jemarinya pada pundak Rara, tangan kirinya yang bebas menekan tombol power off pada remote tanpa melihat ke arah remote tersebut. Otomatis ruangan menjadi gelap gulita, hanya sinar-sinar lampu led berwarna biru yang menerangi samar-samar ruangan itu.

Ra? are you okay?” Bingung, jujur Anggar sangat bingung, ia mengelus pundak Rara pelan, mencoba untuk menenangkan sang nona.

Masih tak menjawab, Rara malah meringkuk, ia menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya yang ia tumpu pada kedua lututnya. Bukannya reda, Rara malah semakin terisak, bahkan dengan jelas Anggar dapat mendengar sesaknya dada Rara yang terus menerus mencari pasokan oksigen.

Jawaban dari semua kondisi Rara sekarang adalah trauma yang ia ingat melalui film yang baru saja mereka tonton, bahkan hanya dari sebuah ketikan, artikel, film, atau hal-hal kecil lainnya bisa men-trigger Rara pada masa kelamnya itu.

Rara ingat dengan jelas sakitnya seperti apa, sakit yang tak berdarah namun sukses membuat berat badannya turun drastis, jam tidurnya berantakan, nilainya terjun bebas, rambutnya rontok tak terkontrol, serta kesehatan mentalnya yang terusik hebat. Hal itu tak lain tak bukan adalah sakit yang diberikan oleh Rasyad. Orang yang ia percaya, namun menghancurkan segalanya dan nyaris membunuhnya secara perlahan.

Selain itu, ingatan akan Reza pun terus mengusiknya, semuanya bertubi-tubi, rasa sayang serta cintanya kepada Rasyad membuat sahabat tersayangnya malah pergi selamanya dari dunia ini, sebut ia tolol, karena ia sendiri sudah merasa tak pernah cukup untuk siapapun.

Rara semakin terpuruk dan ego dalam dirinya terus merajai kegelapan yang kini melingkupi relung hatinya. Ia merasa tenggelam dalam masa-masa yang harusnya sudah ia lupakan, yang harusnya sudah ia buang jauh-jauh walau masih banyak sekali tanya yang belum dapat ia temukan jawabannya.

Air matanya kian deras dengan bahunya yang bergetar dan dadanya yang naik turun, rasanya Rara ingin sesegera mungkin mencabut segala perih yang terus mengiris hatinya. “Ma-af...”

“G-gua me-mang sal-lah...”

“Ma-af...”

“Gu-ua har-rus-nya deng-ngerin lo...”

“Tapi gua bisa apa...”

“Gu-a ci-n-nta s-am-ma d-dia..”

“Ma—

Why do birds suddenly appear

Rara langsung mendongak, isakannya berhenti mendadak kala lantunan lagu Close To You – Carpenters itu mengalun pada rungunya. Siapa lagi kalau bukan Anggar yang menaruh airpodsnya pada telinga kiri wanita itu.

Every time you are near?

“Saya kalau lagi suntuk dan capek banget selalu dengerin lagu ini, dulu waktu saya sedih suka didengerin lagu ini sama Oma, sebelum dia meninggal.” Anggar menatap Rara dengan tulus, ia sedih melihat wanita yang sangat ia cintai seterpuruk itu.

Just like me, they long to be

“Kalau kamu sedih, cerita aja ke saya, saya dengerin, jangan nangis kaya gini, saya sedih liatnya.”

Close to you

“Kamu punya saya, jangan merasa not enough lagi ya?”

Rara menoleh ia terdiam dan terus menatap Anggar yang masih setia menatapnya, sungguh entah ada yang percaya atau tidak, mereka hanya saling menatap hingga lagu itu habis, tak hanya Rara yang memakai airpods namun Anggar turut memakainya, keduanya saling memandang sekaligus menatap satu sama lain tepat di bola mata keduanya.

Anggar mencopot airpods dari telinga Rara, lalu mencopot dari telinganya juga menaruh benda kecil itu pada meja pendek di depannya. “Udah mendingan?”

Rara mengangguk kecil, ia tak mengerti mengapa semudah itu ia tenang saat Anggar melakukan hal-hal kecil untuknya.

“Kalau kamu udah siap, kamu boleh cerita sama saya tentang segala unek-unek kamu, saya siap kok berbagi rasa sakit, daripada kamu terus-terusan kaya gitu, saya ikhlas.”

Rara masih terdiam, lantas ia kembali menunduk, enggan menjawab tuturan Anggar, ia hanya termenung. Ia sadar sekali tak mungkin kan ia terus-terusan memendamnya tanpa membagi sakitnya kepada orang lain, tapi memang dasarnya perempuan itu takut kalau orang lain harus merasakan apa yang ia rasakan.

Ada jeda sangat panjang hingga Rara akhirnya menghembuskan napasnya panjang, ia mendongak, menatap lurus kesembarang arah. “Dulu...”

“Dulu, saya mungkin emang bodoh aja kali ya.”

Anggar terdiam, enggan menginterupsi Rara yang sudah mulai berani berbicara.

“Saya dulu kenal sama Rasyad bentar doang, awalnya temen sekelas gitu, dia PDKT sama saya cuman seminggu, terus saya sama dia ya gitu, saling suka secara instan, gimana sih anak SMP, cinta monyet gitu.” Rara menarik napas panjang.

“Saya... pada saat itu ya secinta itu sama dia, soalnya dia pacar pertama saya, yang deket banyak, tapi saya gak tau kenapa yang berhasil bikin saya suka banget ya dia. Saya tuh kalau liat diri saya di masa lalu bener-bener malu, ya... sebenernya saya malu ceritain ini ke kamu Nggar, aib soalnya.” Rara kembali terdiam.

Rara menghela napas pelan. “Saya bucin banget, mana saya tuh jujur ya, bucin-bucin cuek gitu, gimana sih duh saya bingung. Saya... lumayan jutek ke dia dan itu jadi masalah. 1 tahun hubungan saya sama dia itu baik-baik aja, tapi saya suka ngambek gitu dan judes sedangkan dia tuh anak tunggal yang clingy banget apa aja diturutin sama mamanya jadinya bertolak belakang banget sama saya. Masalahnya kadang ngambeknya saya juga aneh sih, ya tapi anak SMP gimana sih, liat pacar banyak yang suka dan deketin ya kesel aja, terus tahun-tahun selanjutnya dia mulai hilang-muncul, hilang-mucul gitu aja terus. Pokoknya dramanya banyak, saya diselingkuhin 3-4 kali apa ya? saya lupa deh pokoknya banyak, saya terus maafin, saya juga gak ngerti sih kenapa, tapi kalau ditanya sekarang, kenapa saya gak lepas aja dari dulu, ya saya juga gak tau jawabannya, saya bahkan gak kenal diri saya saat itu.”

“Kamu... diselingkuhin 4 kali?” Tanya Anggar, sebisa mungkin ia menyembunyikan mimik kesalnya.

Rara mengangguk kecil sembari mengulum bibirnya, menahan getar yang mulai menjalar pada ranumnya. “Setiap ketauan selingkuh, ya dia marah sama saya, saya sering ngancem putus, bahkan saya pernah benar-benar ingin mutusin dia, tapi dia selalu gitu, persis kaya yang kita tonton tadi di film itu, semuanya saya alamin, untungnya, saya masih bisa menjaga kehormatan saya, itu suatu hal yang saya syukuri sampai sekarang.”

Hening.

Rara kembali terdiam, namun Anggar mengerti, mungkin Rara tengah mengontrol gemuruh amarah yang memporak-porandakan hatinya.

“Pernah satu waktu, saya foto sama teman sekelas saya, cowok, berdua doang, ini waktu kelas 9 SMP. Saya foto ya gak ada maksud gimana-gimana, saya cuman foto karena ya dia teman saya, dan waktu itu lagi ngerayain ulang tahun teman saya. Terus sorenya sama bimble, kebetulan saya bimble sekelas sama pacar saya ini, saya tunjukin foto as in cerita aja how was my day gitu kan. Karena siangnya dia gak masuk sekolah, tapi masuk les. Terus abis itu dia marah, di basement tempat saya les... – Rara mengambil napas panjang, mencoba untuk mengontrol getar pada suaranya – ... Dia marahin saya, katanya cemburu, tapi saya gak bakalan lupain apa yang dia lakuin saat itu.”

Glek! Anggar terdiam, entah mengapa ia takut mendengar kelanjutan cerita Rara.

“Dia ngelempar saya ke dinding, saya gak tau apakah saya sesalah itu sampai dia gituin aja, dia marah dan mojokin saya kaya orang gila, saya gak bisa mikir pada saat itu, saya diem dan otak saya cuman mikir, kok bisa anak kelas 9 punya personality kaya gitu. Terus pokoknya saya nangis, saya sampai takut banget, dan... setelah dia marah-marah dan nyadar kalau saya ketakutan, dia langsung meluk saya, dan minta maaf sambil nangis-nangis, pokoknya ngomong hal-hal yang bikin saya sedih dan merasa bersalah. Well... itu selalu terjadi tiap berantem selama 3 tahun saya pacaran sama dia kayak... kenapa harus dia yang nangis? kan dia yang marah-marah? sampai sekarang saya gak tau kenapa harus kaya gitu.”

“Itu gaslighting. Tapi ya... anak SMP atau SMA belum ada knowledge tentang hal kaya gitu dulu, jadi wajar kalau kamu bingung menanggapinya.” Ucap Anggar sembari menatap Rara penuh prihatin. Ia sesekali meringis kesal tiap Rara menceritakan tiap detail akan ke brengsekan seorang Rasyad yang dulu merupakan sahabatnya di Inggris, bahkan kepalan tinju di balik punggungnya sudah teremat erat hingga buku-buku jemarinya memutih.

“Tapi setelah saya dewasa, saya paham kenapa dia kaya gitu, basically he is a spoiled kid yang gak pernah ditolak sama orang tuanya. Dia juga kapten futsal dimana dia dapet banyak dukungan dari orang-orang, selalu didukung dan gak pernah di salahin, saya jadi ngerti kenapa dia se-egois itu, mana dia itu lumayan tajir buat seukuran anak remaja.”

“Makanya saya lumayan pilih-pilih teman dan pasangan setelah putus sama dia. Kalau saya gak dijodohin sama kamu, mungkin saya bakal milih orang biasa dengan kehidupan yang biasa, saya gak mau semuanya harus berlebihan, saya gak butuh orang-orang hebat dengan kesombongan di atas rata-rata sehingga mereka gak mampu memanusiakan manusia hanya karena keinginannya gak kecapai, atau gak sesuai ekpektasi.”

Anggar masih terdiam, banyak sekali hal yang ingin ia sampaikan, ingin sekali ia bilang bahwa ia telah mencintai perempuan di hadapannya itu lebih dulu dibanding Rasyad, namun Anggar tau perempuan di depannya itu sangat trauma akan sebuah rasa cinta yang dihianati.

“Pokoknya setelah segala hal yang saya lewatin sama Rasyad, saya gak mau dengan mudah menaruh rasa sayang sama orang lain secara gamblang, dulu ada sih satu orang yang saya ngerasa kayaknya bisa nih gitu, tapi lagi-lagi karena saya ragu, ya gak jadi. Rugi sih di sayanya karena saya secara gak langsung ngeremehin kepercayaan orang, padahal masih banyak orang tulus di dunia ini.” Rara menunduk, ia kembali murung.

“Ra, emang berat kok, saya mungkin gak melewati apa yang kamu lewati, jadi saya mungkin gak begitu paham sama apa yang menghalangi hati kamu, tapi... kalau kamu ngerasa struggle sama beberapa hal, kamu boleh kok jadiin saya kelinci percobaan, pura-pura aja saya PDKT-in kamu, dan kamu sendiri yang nilai, apakah kamu udah bener-bener pulih dari sakit hati kamu itu apa belum.” Ucap Anggar, sengaja ia menaruh nada bercanda agar Rara tidak terlalu tegang.

Rara malah terkekeh. “Jangan ah.” Ia tersenyum tipis sembari menggosok kedua telapak tangannya, gugup mungkin. Lantas ia mendongak, menatap Anggar dengan intens. “Nggar.”

“Ya?” Tanya Anggar, ia turut menatap Rara tepat di bola mata perempuan itu.

“Jangan suka sama saya ya?”

Alis Anggar naik satu. “Kenapa?”

Rara tersenyum lebar lalu terkekeh, maniknya menyipit sehingga wajahnya sedikit berseri-seri. “Saya gak mau jatuh cinta, kamu itu lumayan tipe saya loh, tapi saya gak mau suka sama kamu, jadi jangan suka sama saya ya?”

Anggar langsung tertawa hambar. “Hahaha... Geer kamu, siapa juga yang bakal suka sama kamu, gak usah pede.”

Rara ikut tertawa, lalu kembali menatap Anggar. “Bener ya? tolong jangan lewatin batas, tolong kerja-samanya.”

Anggar menghela napas pelan lalu mengangguk tipis sembari tersenyum tipis.

Belum maju, namun sudah ditolak, kadang cinta memang se-sakit itu.

Maafkan aku terbuai olehmu. Kau buat hatiku jadi merana... Terjatuh aku lemas tak berdaya... Kuingin.. jatuh dipelukan

Tadinya Anggar tidak disarankan untuk keluar kamar, wajar, 24 jam pasca operasi usus buntu pria itu masih merasa pusing dan keleyengan.

Namun saat seorang suster datang dan memberitahu ada seorang perempuan yang mencari dirinya ke kamar lama, tanpa ragu, saat itu juga ia langsung keluar menghampiri Rara. Ia tau itu Rara.

SROTTT! Rara menarik ingusnya kencang, masih saja wanita itu terisak kecil kala ia mendengarkan Anggar bercerita tentang Maudy. “Is she happy now?” ucapnya dengan wajah murung.

Kini Anggar terduduk di atas kasur kamar rawat inapnya dengan Rara yang ikut duduk miring pada pinggiran kasur.

Anggar manggut-manggut lalu menengklengkan wajahnya, ia mengelus pipi Rara sembari menghapus air mata dari pipi wanitanya. “Hmm.. I hope so.

Rara malah semakin manyun mendengarnya. “Hati saya jadi gak enak.”

Anggar menghela napas pelan. “Udah, gak harus jadi beban pikiran kamu, kebiasaan ah kaya gitu.” Tutur Anggar.

“Ya tap-

“Sini.” Sergah Anggar.

Rara mengerutkan dahinya heran. “Apa?”

“Sini, deketan dikit.”

Rara memajukan wajah, hingga wajahnya hanya selisih beberapa centi dari wajah Anggar. Pria itu menangkup wajah Rara dengan jemarinya.

CUP~ Anggar mengecup kening Rara, ia menahan bibirnya beberapa saat disana sembari memejamkan maniknya. Sontak hal itu membuat Rara terkejut sekaligus memerah.

IH ANGGAR SELALU DEHH! Rara kan jadi salah tingkah.

Tiba-tiba Rara merasakan gesekan pada kulit lengannya bagian dalam. Terasa sebuah tangan yang perlahan melingkar pada pinggangnya lalu ke punggungnya. Anggar merengkuhnya, mendekapnya erat. Pria itu menenggelamkan dirinya tepat pada ceruk leher Rara.

Rara meneguk salivanya. Ia membeku.

“Kalau di hitung dari tahun 2008, waktu saya pertama kali liat kamu di CUP SMP saya, berarti saya udah sayang kamu selama itu ya..” Ucap Anggar dengan suara yang teredam.

Rara tersipu malu mendengarnya. Ia membalas rengkuhan Anggar sembari mengelus surai pria itu dengan jemarinya. “Kok bisa sih gak pindah hati?” Tanya Rara, jujur perasaan Anggar menimbulkan tanya pada benak Rara.

“Ra, Ra. Kamu tu nanyain pertanyaan yang saya gak tau jawabannya.” Ucap Anggar.

Rara melepas paksa rengkuhan Anggar. “IH! boong banget! buktinya kamu bisa pacaran sama Najma tuhh!!”

Nahkan, mulai deh.

Anggar menatap Rara heran, tangannya masih setia pada pinggang wanita itu. “Kok tiba-tiba bahas Najma?”

Rara malah memalingkan wajahnya kesal. “Gak tau.”

Melihat Rara yang merajuk, Anggar malah tertawa. “Cemburu kok sama masa lalu.” Ucapnya enteng.

Anggar mendekatkan dirinya ke arah Rara, berbisik pelan pada telinga Rara. “Cemburu tuh sama anak kita nanti, yang bakal ngambil semua waktu saya, gak tersisa buat kamu.”

“IH!” Rara menatap Anggar geram.

SREKK! Seketika Rara dan Anggar menoleh ke arah pintu bersamaan. Relek Rara langsung melepas tangan Anggar yang berada dipinggangnya dan turun dari atas kasur. Diluar pintu terdapat beberapa dokter dan suster.

Adohhhh malu! Teriak Rara dalam hati. Anggar sih biasa-biasa saja kelihatannya.

Para dokter itu masuk. Pada barisan terdepan, tampak pria dengan surai yang sudah memutih dimakan usia. Dokter Nino namanya.

“Gimana pak Anggar, sudah enakan?” Sapa dokter Nino sembari tersenyum kearah Rara dan Anggar.

Bisa dengan jelas Rara lihat, dokter-dokter lain dan para suster yang terlihat menahan senyum malunya dibelakang dokter Nino. Aduh! pasti tadi mereka liat dari luar nih.

“Yah, lumayan, masih rada keleyengan dikit.” Tutur Anggar.

“Masih sedikit pusing ya, oke... Hmm.. ngomong-ngomong ini istrinya ya pak?” Tanya dokter Nino.

Anggar terkekeh pelan. “Iya, dok. Namanya, Rara.”

“Loh, kenapa kemaren bukan bu Rara yang tanda-tangan surat persetujuan operasi?”

Otomatis Rara dan Anggar langsung saling pandang.

Anggar tersenyum simpul sembari mengangguk-angguk. “Ohiya, kemaren emang dia lagi sibuk banget, baru pulang dari Inggris. Biasa dok, kerjaan.” Tutur Anggar kemudian.

Dokter Nino pun hanya manggut-manggut.

Usai pemeriksaan harian, dokter Nino mendekat ke arah Rara. “Bu, ini suaminya tolong dikasih sayang yang banyak ya, biar cepet pulih.” Ucap dokter Nino sembari terkekeh pelan. Dokter itu mencoba bercanda.

“Hahahah...” Semua orang dalam ruangan itu tertawa melihat Rara yang langsung menunduk malu sembari menyelipkan anakan rambutnya kebelakang telinga. Terlihat sekali bahwa Rara malu.

“Wah dok, kalo itumah gak harus disuruh, dia bucin banget ke saya.” Ledek Anggar.

“Aduh, jangan didengerin ya dok, suami saya emang suka ngehayal.” Ucap Rara sembari tersenyum kikuk ia mengibas-ngibaskan jemarinya di udara.

“Pokoknya jangan kurang cinta ya bu.” Ucap dokter Nino. “Pak Anggar kena usus buntu karena pola makan yang gak bener dan banyak pikiran...” Jelas dokter Nino, bermaksud bercanda.

Rara menoleh ke arah Anggar. “Iya gitu? Banyak pikiran ngapain sampai makannya gak teratur?”

Anggar pun hanya menghela napas mendengarnya. Dasar gak peka.

Shit!

Rara memijat pelipisnya pelan, rasa pening itu terus melingkupi kepalanya. Ia terbangun dengan jantung yang berdegup kencang, rasanya sesak sekali. Bahkan ia bisa merasakan kesat akibat arus air mata yang membekas pada wajahnya.

Rara menangis sepanjang tidurnya. Ia melihat sekitar. Lorong rumah sakit. Rara tertidur di atas kursi tunggu didepan kamar rawat inap yang tadi ia masuki.

Ternyata apa yang ia rasakan barusan adalah sebuah fatamorgana. Sebuah cerminan akan ketakutannya selama ini.

It was just a dream.

Sesuatu yang sangat kita takutkan bisa menjadi sebuah mimpi buruk yang terasa nyata. Rara takut Anggar pergi dari hidupnya.

Rara mengubah posisinya, menyandarkan punggungnya pada kursi tunggu, ia menunduk sembari menopang pipinya dengan kedua jemarinya.

Terlalu nyata untuk sebuah mimpi.

Namun kala Rara mengingat akan pesan yang dikirim oleh Ramzy, ia sadar, mimpinya memang betulan, sang bunga tidur hanya membantunya untuk mempersiapkan diri.

Membantunya menghadapi kenyataan.

Rara kembali menangis, ia tak kuasa menahan sakit yang menusuk jiwanya. Ia terus mengusap wajahnya kasar, merasa bodoh karena telah menyianyiakan cinta Anggar selama ini.

Tubuhnya semakin membungkuk, dengan bahu yag naik turun, tangannya masih bergetar dengan ujung jemari yang mendingin.

Ting! Masih dengan bulir kristal yang membuat alur sungai pada pipinya ia mengangkat wajahnya, menoleh sedikit untuk melihat notif pada ponselnya yang baru saja menyala.

From Anggarsadadi@gmail.com

Don't cry, I'm here, look up.

Seketika tangisnya berhenti, dahi nya mengerut hebat. Ada sekita 10 detik Rara benar-benar terdiam tak bergerak barang se inchi pun. Maniknya terus memandang ponselnya hingga layarnya mati dan menggelap.

Netra Rara menangkap pantulan sosok seseorang dari layar ponselnya.

Hah?

Dengan Ragu Rara mendongak, seketika maniknya terbelalak saat melihat Anggar dengan piyama pasien tengah memandang datar dirinya sembari memegang ponsel pada tangan kirinya. Wajahnya pucat, dengan kantung mata yang bertengger pada wajahnya, bibirnya biru.

Rara terisak kembali. “Yallah, gua liat setan! Astagfirullohaladzim -Rara langsung menunduk, mencoba memalingkan wajahnya-... Allahu la ila ha illa hu...” Mulutnya komat-kamit merapalkan surat ayat kursi, kini Rara menangis karena ketakutan, bukan lagi karena sedih.

“Heh heh, saya bukan setan...” Protes Anggar.

Rara masih menunduk. “Astagfirulloh setannya bisa ngomong...” Kembali rara mengangkat tangannya, membaca kembali surat ayat kursi. Ia benar-benar takut.

Anggar sampai geram sendiri melihatnya. Namun ia terkekeh pelan kemudian, menatap tingkah ajaib istrinya yang tampak pucat pasi seperti baru bertemu mayat hidup.

Anggar kesal.

Anggar menarik kedua lengan Rara, memaksanya untuk berdiri. “Ya Allah gua bakal melayang bentar lagi, Ya Allah, astagfirulloh, ayat kursi gak mempan...” Ucap Rara sembari memejamkan maniknya rapat-rapat. “Ohiya tadi ga pake bismillah. Bismillahirr—

Seketika doa Rara terputus, ia terbelalak saat merasakan sebuah benda kenyal yang dingin menyentuh ranumnya. Anggar melumat bibir Rara perlahan, merasakan rindu yang tertunda begitu lama.

Anggar menciumnya. Benda pink pucat yang sedari dulu selalu ia dambakan.

Ada sekitar 30 detik Anggar menahan pagutannya. Rara sampai mematung dan menatap kosong kesembarang arah. Anggar menangkup wajah Rara, mengarahkan wajah wanitanya untuk menatap maniknya. “Liat saya.”

Rara masih tampak shock dan membeku dibuatnya.

Anggar melepaskan tangkupannya, lalu menarik tangan Rara yang bebas. Ia menaruh telapak tangan Rara pada pipinya. “Pegang.” titahnya, ada nada kesal disana.

“Ada dimensinya kan?” Tutur Anggar. “Kenyel kan?” Ucapnya lagi berusaha meyakinkan.

Rara masih mematung, menatap Anggar tak percaya. Ia masih berusaha untuk memproses otaknya.

Anggar—baru—saja—mencium—Rara.

AAaaaaaa! Sayangnya teriakan itu hanya debut dalam hati Rara, wajar saja lidahnya kelu dan membeku.

Mencoba untuk mengontrol dirinya, walau ia tau pasti pipinya sudah memerah seperti tomat segar. Rara pun menarik tangannya, lalu menekan pipi Anggar dengan telunjuknya.

Hmm.. lembek, kaya bakpau tapi rada glowing. Rara pun mengangguk singkat. “Kamu... tuh bukan qodam kan?” Ia mengacungkan telunjuknya.

Ck. Masih saja wanita ini.

“Saya bukan qodam, saya sayang.

Seketika manik Rara melebar, lalu menunduk malu, mencoba menghindari contact mata dengan Anggar.

Anggar semakin tertawa. Ia memegang dagu Rara, mengangkatnya ke atas. Otomatis Rara langsung mengalihkan pandangannya kesembarang arah.

“Kenapa sih gitu matanya? tadi pas saya cium mata kamu melek padahal.”

HHhhhhhh!!!!!

Rara meneguk salivanya. “Yy—aa t—ta-ad-ddi...”

Anggar tersenyum. “Iya, paham. Jangan nangis lagi ya? Sayang.” selanya cepat semabri menghampus pelupuk Rara yang basah dengan ibu jarinya.

Rara hanya mengangguk kikuk, masih enggan menatap Anggar.

“Jadi?” Anggar menengklengkan kepalanya lalu tersenyum sembari menaikkan satu alisnya.

Dahi Rara mengerut heran, kali ini ia menatap Anggar. “Apa?”

“Udah cinta?”

Rara berjalan menyusuri taman rumah sakit, ia jalan tanpa arah, bahkan orang-orang sekitar sudah melihatnya aneh. Berjalan tanpa alas kaki, kaus yang lecek dan wajah yang kusut. Bahkan rambutnya sudah berantakan sedari tadi.

Tanpa ampun, perempuan itu mengacak-acak surainya kasar. Ia duduk di bangku panjang, disana tampak sepi, hanya ada segelintir orang. Namun lumayan jauh.

Rara menatap kosong rerumputan didepannya.

Masa sih hidupnya hanya seperti ini? Masa sih?

Kembali Rara menangis, Ia menatap rerumputan yang terlihat meliuk-liuk bersama ilalang yang tampaknya tak dipangkas.

Anggar benar-benar pergi, gitu?

Tangisnya sudah pecah sedari tadi, bahkan sekarang pelupuknya tampak kering, ia terus mengacuhkan ponselnya yang bergetar. Panggilan telfon yang terus masuk pada ponselnya ia acuhkan.

Masih diam dan akan selalu diam.

“RA!”

Rara menoleh, melihat kearah sumber suara. Ramzy.

“Ngapain?” Tanya Rara lemah.

Ramzy berlutut didepan Rara yang duduk diatas kursi taman. “Ra.” Ia menatap Rara khawatir. “Gua minta maaf. Gua salah gak ngasih tau lo sedari awal.”

“Anggar udah gak ada Ra, dia udah berpulang.” Tambah Ramzy.

Ramzy menghela napas panjang. “Awalnya usus buntu, tapi ternyata dia selama ini nahan sakitnya dan gak pernah di periksa, dan kemarin tiba-tiba dia ambruk, pas dicek, semuanya udah telat. Usus buntunya pecah.”

Rara hanya mengangguk kecil mendengar penjelasan Ramzy. Lalu Rara menatap Ramzy dari atas hingga bawah. Semuanya serba hitam. Jelas semua.

Ramzy bangkit lalu melepas jaket yang ia kenakan, hoodie hitam itu Ramzy sampirkan pada bahu Rara. “Pake, anginnya kenceng.”

Rara hanya mengangguk pelan. Sorot matanya tampak kosong. Dengan perlahan Ramzy membantu Rara berdiri, menuntun perempuan itu untuk berjalan pulang.

Iya pulang kerumah, pulang untuk mengantar Anggar berpulang.

“Kita kemana.” Ucap Rara pelan, masih dengan sorot mata hampa. Kini mereka tengah berada didalam mobil yang melaju cepat, Ramzy sesekali melirik Rara khawatir, ia takut sepupunya itu melakukan sesuatu yang tak diinginkan.

Jelas saja, Ramzy paham. Ini pasti berat untuk Rara, ini sulit untuk Rara, ini sangat menyakitkan untuk Rara. Ramzy juga tau, Rara tidak hanya kehilangan satu orang, tapi tiga. Tiga orang yang ia sayang, meninggalkannya. Wajar jika Ramzy tampak khawatir akan kesehatan mental sepupunya itu.

“Rumah, Tante Retno, Ra. Anggar disana.”

Kembali Rara hanya mengangguk pelan.

Hingga mereka sampai dirumah masa kecil Anggar pun, Rara tidak lagi menangis. Ia benar-benar diam tak bersuara, siapapun yang datang untuk memberikan bela sungkawa dan memeluknya benar-benar tak ia respon.

Rara mati Rasa.

Rara lupa cara berbicara.

Rara lupa cara tersenyum.

Rara lupa cara tertawa.

Bahkan,

Rara lupa cara menangis.

Hatinya sudah hancur, pecah, dan tak ada satu pun hal di dunia ini yang bisa mengobatinya.

Kalbunya mati.

Rara hanya menatap datar wajah Anggar dengan kelopak mata yang tertutup, bibir yang terkatup, dan nyawa yang tiada.

Anggar telah tiada.

Sandiego Hills sore ini tampak mendung, gumpalan awan putih yang melingkupi pemakaman itu memberi efek sejuk kepada para pelayat.

Tapi nyatanya, sejuknya udara tak dapat memadamkan api pada hati Rara. Kini semuanya sudah berubah menjadi gelap. Relungnya berubah menjadi batu yang tenggelam kedalam palung mariana, dan tak ada satu pun orang yang bisa menemukannya.

Rara adalah sesosok manusia yang tidak dimanusiakan oleh dirinya sendiri. Ia mati.

Rara telah mati pada usianya yang baru 25 tahun.

Pemakaman Anggar berjalan dengan lancar, hanya sedikit mendung dan angin kencang yang terus menerpa scraft yang Rara kenakan. Rara melihat dengan sangat jelas, kali terakhir ia melihat wajah Anggar hinga wajah itu tertutup tanah.

Rara masih sama. Ia tak bereaksi sedikitpun.

Berbeda dengan orang-orang lain disekitarnya, mereka tampak histeris dan menangis tersedu-sedu. Rara tampak tak mempunyai perasaan sama sekali.

Setelah pemakaman Anggar selesai, dan batu nisan tertancap sempurna. Rara berbalik, ia berjalan paling pertama meninggalkan pusara itu. Bahkan Ramzy sampai terkejut kala Rara lewat didepannya dengan wajah datar dan sorot mata yang mati.

Rara sudah tau, semesta memang tak pernah berpihak padanya.

Semua pasti berubah, mau tidak mau. Semua pasti berpisah, ingin tidak ingin. Semua pasti berakhir, siap tidak siap

Tiba-tiba Rara menghentikan langkahnya, ia menatap sekitar. Menatap barisan pusara yang tersusun rapih dibawah sana.

Rumah Anggar.

Pada sore hari ini, dengan banyaknya pelayat yang datang, Rara tetap merasa sepi. Ia merasa sendiri. Namun kala ia melihat tangannya, ingatan itu mulai kembali. Bak melihat sebuah film dokumenter yang terputar pada imajinasinya, tiba-tiba Rara tersenyum kala kenangannya dengan Anggar lewat pada benaknya.

To my endless love and my hardest goodbye,

I Love You.

Kalau saja masa-masa indah ini sudah ada sejak dulu, mungkin sekarang Rara dan Anggar sudah mempunyai krucil-krucil yang menggemaskan. Kalau saja, Rara menerima permintaan pin BB Anggar waktu itu pasti mereka sudah pacaran sedari dulu.

Terang saja, Anggar itu tipe Rara banget! Dari segi fisik maupun karakter. Ingat betul Rara kalau di dekati oleh lelaki yang terlalu agresif pasti ia kabur. Kalau yang kalem-kalem menghanyutkan seperti Anggar, Rara mana bisa nolak.

Seperti sekarang ini, Tadinya Rara sedang membereskan pakaian yang Anggar gunakan saat di rawat, namun pria itu malah melarangnya, Laundry aja dulu, katanya.

Kadang, hal-hal simple seperti itu lah yang Rara suka dari Anggar, perhatian tapi tak terlihat.

Sempat tadi Rara bertanya, dirumah sebesar ini kenapa Anggar tidak mengizinkan Rara mencari asisten rumah tangga.

“Kalau ada orang lain, gabisa nyerang kamu dimana-mana.” Ucap Anggar tadi dengan santai.

Otomatis saat itu juga Rara melengos keluar kamar. Wajar, baru kali ini Anggar terang-terangan menggodanya.

Usai semua beres, Rara duduk disamping Anggar yang kini tengah menonton berita. Menyandarkan kepalanya pada dada pria itu.

“Nggar.” Panggil Rara pelan.

Anggar hanya berdeham, masih fokus pada acara berita.

“Nggar ih!” Rara maunya Anggar melihat wajahnya.

“Iya, apa.” Anggar menoleh kebawah, menatap wajah Rara yang tampak cemburut.

“Tadi kamu tuh...”

“Apa?”

Makin manyun saja bibir Rara itu. Anggar semakin mengerutkan dahinya. “Kenapa Ra? kok ditekuk gitu mukanya.”

“Ya abisnya! ngapain tadi kamu pake salaman sama susternya!”

Otomatis Anggar menghela napas pelan. “Ya kan tadi susternya yang duluan, lagian ucapan terimakasih juga.”

“Boong. Tadi susternya cantik.”

Huft. Kebiasaan nih cewek, suka ngambek gak jelas.

“Ra, dari jaman saya liat kamu pake gaun nikah sampe pake daster robek tetep aja cantikan kamu.”

“Boong banget. Orang saya dari kemaren kusut banget kok, gak kaya suster itu.” Gerutu Rara sebal.

Kembali Anggar menghela napas. “Tau gak?”

“Auk.” Malah ngambek wanita ini.

“Yeh. Dulu waktu saya gak sengaja masuk kamar hotel kamu, pas kamu dandan buat resepsi, masih inget gak?”

Rara mengangguk pelan walau wajahnya masih tampak bete.

“Kamu pasti heran kan kenapa saya masuk terus langsung keluar.”

Rara kembali mengangguk.

“Saya gak kuat tau, pas liat kamu, cantik banget.” Anggar mengelus pucuk surai Rara pelan. “Kayaknya kalau saya maksa tetep diruangan itu, I think... I would have had a seizure and passed out deh.” Ucapnya sembari terkekeh pelan.

Kan.

Anggar tuh kenapa sih. Seems cold but very warm hearted, Rara kan lemah.

“Gak usah gombal.” Aslinya Rara sudah salah tingkah, namun ia bersembunyi dibalik dada Anggar sembari memainkan telunjuknya disana.

“Ohiya, inget gak? Saya bilang kan di diary saya, kalo saya gak suka sharing? dari dulu tuh pengen banget ngomongin itu tapi kamu sih-

“Apa?!” sela Rara cepat.

“Nyebelin deh pokoknya, gapernah mau dengerin.” Ucap Anggar, ada sedikit maksud meledek disana.

“Ih apa...”

Anggar berpikir sejenak. “Saya tuh ya...pas jadi dosen, selain pengen nyoba hal baru, ya karena kamu. Setengah tahun saya pake buat nyari tau tentang kamu, since saya udah tau kalau kita dijodohin setahun sebelumnya.”

Otomatis manik Rara langsung terbelalak, ia menegakkan tubuhnya sembari melotot kearah Anggar. “SETAHUN SEBELUMNYA?”

“Hu um” Anggar mengangguk pelan. “Sering banget saya denger kamu misuhin saya dibelakang. Seneng aja liatnya. Apa lagi nama kontak saya, Datuk Maringgih apaantuh gak bener banget sama sifat saya.” Ucapnya membela diri.

Rara reflek melotot. “Ih kok tau!!”

“Ya waktu itu gak sengaja liat, terus awalnya saya bingung itu siapa masuk notif kamu mulu, eh pas saya liat pesan yang masuk, ternyata itu kontak saya. Seburuk itu ya pandangan kamu ke saya?”

“Ih gagitu maksud saya...” Rara jadi merasa bersalah kan.

Anggar terkekeh pelan sembari menyentil hidung Rara. “Iya Rara, enggak.”

Idih! Nyebelin!! Rara mengusap hidungnya.

“Terus ada lagi gak cerita yang lain.” malah ketagihan Rara ini.

“Saya solawatin kamu tau waktu pertama kali nyuruh kamu jadi PJ kelas.”

YAAMPON!! Rara menepok jidatnya.

“Idih, pantes. Pake pelet halal.” Rara langsung bersedekap.

Anggar malah terkekeh melihat Rara sok ngambek seperti itu, gemas rasanya.

“Kirain selama ini kamu cuman rekayasa doang.” Nyinyir Rara.

Anggar tertawa kecil mendengarnya. “Saya ini dosen manajemen proyek Ra, bukan dosen manajemen rekayasa, perasaan saya gak pernah saya rekayasa tapi saya jadiin proyek buat ngebangun hubungan yang lebih settle diantara kita.”

“Iya dah serah lu.” Ucap Rara, sudah tak bisa ia membantah omongan Anggar.

Rara kembali menyandarkan kepalanya pada bahu Anggar. Memainkan ponselnya sejenak, sembari melihat-lihat laman Instagram.

“Eh Nggar, ini tuh kapal pesiar ya?” Tanya Rara sembari menyodorkan layar ponselnya.

Anggal menoleh kearah ponsel Rara. “Iya. Kenapa? Mau?”

Rara merengut heran. “Saya cuman nanya ih!”

Anggar tersenyum jail. “Honeymoon lagi yuk.”

“Kapal pesiar?”

Anggar manggut-manggut lalu menaik-turunkan alisnya .

“Kok... tatapan kamu serem ya...”

Sebenarnya sedari tadi Anggar tak sanggup menahan gesekan antara kulitnya dan kulit Rara, bahkan beberapa kali Anggar menahan napasnya saat Rara mengeratkan tubuhnya ke Anggar. Hormones.

Anggar terkekeh pelan. Namun tiba-tiba ia bangkit dari sofa, lalu berdiri di depan Rara yang terduduk sembari mendongak menatap Anggar heran. “Mau kemana?”

Anggar malah diam, masih menatap Rara intens.

“Ih, stop looking at me like that!

Anggar menatap Rara datar, tatapan penuh intimidasi. “I need you to do something.

What?

Anggar duduk tepat di atas meja pendek di depan sofa.

Take off your clothes, pieces by pieces.

Then,- Ada jeda panjang disana.

spread your legs.” Tambah Anggar dengan manik yang menggelap, ia memainkan bibir bagian bawahnya dengan jari tengahnya.

Show me that you really love me.” Tutur Anggar.

Seketika Rara menyandarkan dirinya pada sofa, tersenyum nakal sembari mengigit telunjuknya. “Kiss me, then help me.

Take them off from me.” Sepertinya Rara tak mau kalah.

Dan,

Sepertinya Anggar lupa. Ia baru saja operasi.

Rara berdiri tepat di depan kamar rawat inap Anggar, suasana lorong itu sangat sepi, bahkan ia tak melihat satu pun suster yang lewat. Ia memandang Kamar VVIP dengan pintu kayu geser serta kaca buram itu.

Rara berdiri disana cukup lama, mencoba untuk mempersiapkan dirinya akan kemungkinan terburuk yang akan ia hadapi.

20% bukanlah angka yang besar, itu angka kritis yang mungkin akan menjadi akhir bagi kehidupan Rara.

Rara menarik napas panjang, beberapa kali ia meneguk salivanya, takut sekali menghadapi kenyataan bahwa Anggar ada di dalam sana, terbaring tak berdaya.

Srekk!

Pintu itu terbuka dengan mudah, netra Rara langsung mendapati tirai yang menutupi kasur pada bangsal itu. Rara berjalan perlahan. Degup jantungnya terus memompa tak karuan.

Tes Air matanya lolos begitu saja saat ia dengan ragu memegang ujung tirai merematnya erat, mencoba untuk menariknya perlahan. Tirai itu terbuka, otomatis netra Rara menangkap seseorang yang tengah terbaring dengan alat pendeteksi detak jatung yang menempel pada tubuh sosok itu.

Rara kembali meneguk salivanya. Ia merasa tak kuat. Seketika pecahlah tangisnya. Air mata itu berhamburan membanjiri pipinya, kedua jemarinya bergetar, dadanya naik turun pun bahunya yang tak kalah bergetar hebat.

Rara mendekat, mencoba melihat lebih jelas wajah Anggar. Namun, dahinya segera mengkerut kala ia tak mendapatkan Anggar disana. Rara tampak bingung, namun ia masih tak bisa menahan sedihnya, ia melongok ke papan nama pasien.

Hermawan.

Alis Rara menukik tajam. Terus dimana Anggar?

Lantas Rara keluar dari kamar rawat inap itu, masih terlihat linglung, ia mendudukan dirinya pada kursi tunggu. Ia sampai bingung mengapa ia sampai salah masuk kamar, atau memang Anggar sudah...

Tidak ada?

Masih dengan tangan yang tremor, Rara menelpon Ramzy, ia ingin tau apa yang sebenarnya terjadi.

Tut...Tut...Tut...

“Dimana Anggar.” Ucap Rara datar, ia sudah tak ada emosi lagi yang dapat ia keluarkan, ia pasrah kalau semisalnya Anggar sudah tak ada di bumi ini.

“Gak ada Ra.” Jawab Ramzy pelan dari sebrang sana. Ia tau memberitahu Rara yang sebenarnya adalah hal yang tepat, ia tidak mau menundanya lagi.

“Gak lucu, lo gausah ngeboong. Zy... please, tell me that you're liying.” Rara semakin lemas, bahunya mengendur, bahkan saraf-saraf tegang pada tubuhnya sudah tampak lelah.

“No, i'm not. Anggar udah gak ada. Lo dima-

Terputus.

Tepat saat Rara mematikan telpon Ramzy, ia menangis, melempar ponselnya asal pada bangku disebelahnya. Rara menangkup wajahnya, berserah diri pada Tuhan Yang Maha Esa.

Anggar pergi.

Kebahagiaannya hilang.

Anggar benar-benar meninggalkannya.

“Ng—gga-ar…” Cicit Rara pelan, ia masih menangkup wajahnya.

Rara menangis sejadi-jadinya, Ia sudah tampak kusut, dengan pipi yang memerah, mata yang sayu, pelupuk yang basah, dan guaratan lelah yang terpatri pada wajahnya.

“Kka—t-ta-nny-aa m—aa-u.” Rara mengambil napas panjang sembari terisak kecil.

“Rr—eeeb-but-tan kka—am-mar mma—an-di-i?” Tak kuat. Rara tak kuat.

Rasanya Rara hancur saat itu juga.

Rara menaikkan kakinya, memeluk lututnya, ia menangis dalam tangkupannya sendiri. Bahunya masih sama, bergetar naik turun dengan sesak di dadanya.

Perih rasanya ditinggal oleh orang-orang yang ia sayangi. Mengapa semuanya pergi disaat Rara baru menyadari perasaannya.

Rara menyesal. Ia menyesal akan dirinya yang dulu, Because, Rara had a love she wasn't sure about.

Harusnya Rara sadari itu sedari dulu. Rara menyesal tidak mencobanya sedari awal, mencoba membuka hatinya untuk Anggar. She's avoided relationships because she's afraid of giving her heart again, only to drive another love away.

Masih pada posisinya, Rara menangis tak karuan. Rara bahkan sudah tidak peduli bila ada yang menganggapnya aneh disana.

Relungnya hancur, dan pecah berkeping-keping, memang sedari dulu cinta slalu sial untuknya.

DRAP DRAP DRAP

Rara berlari tak tentu arah, Ramzy terus mengejarnya dari belakang. Perempuan itu terus berlari tanpa alas kaki dengan air mata yang berlinang.

Bahkan Rara sampai tak sadar bahwa telapak kakinya sudah baret karena aspal yang kasar.

Sakit, kakinya sakit. Tapi itu tak lagi penting sekarang.

“RA!!” Ramzy terus berteriak dari belakang, keringatnya sudah membanjiri sekujur tubuhnya, bahkan kaos hitam nya sudah menjiplak pada tubuhnya. Basah.

Rara tak menggubris teriakan Ramzy sama sekali. Ia tutup telinga.

Seusai Ramzy memberitahu perihal kondisi Anggar, Rara nyaris jatuh ke lantai kalau saja Ramzy tidak menahannya. Perempuan itu terus meraung dan menangis dalam rengkuhan Ramzy.

Hingga kini, Rara memimpin di depan sana. Ramzy bahkan sampai tak sanggup mengejar Rara, entah energi dari mana yang perempuan itu dapatkan.

Sampai langkah mereka terhenti pada pinggiran jalan raya. Rara langsung berlari menyebrangi jalan besar itu, kebetulan di depan komplek Rara terdapat pul taksi.

Baru Ramzy ingin mengejar. Perempuan itu sudah pergi dengan taksinya.

Sempat tadi Ramzy menyebutkan nomor kamar serta nama rumah sakitnya, yang mana langsung sesegera mungkin Rara kesana.

She won't ignore him anymore. Rara takut. Ia takut kalau sampai ia tak punya waktu untuk menyampaikan isi hatinya, terlebih pesannya kemarin tak kunjung dibaca.

Setidaknya, jika memang nanti Anggar pergi, Rara ingin menyampaikan isi hatinya tepat di samping telinga Anggar.

Jika Anggar masih bernapas, at least, his eyes are closed, but his ears are listening.

Rara terus menangis tanpa henti, bahkan supir taksi yang sedaritadi memerhatikannya dari kaca mobil sampai tak tega melihatnya. Supir itu terus menanyakan kondisi Rara, namun Rara tidak menjawabnya sama-sekali.

Rara ingin mengejar Anggar, she wanna fight for him no matter what. Masih ingat dengan sangat jelas saat kali pertama Rara menyatakan cintanya kepada Anggar. Kala itu hati kecilnya terus berteriak, how you gonna win, if you scared to take the risk?

So, she took the risk and confess her feelings to Anggar.

Masih. Aslinya Rara masih tak percaya akan perkataan Ramzy, ia tak sanggup jika Anggar pergi begitu saja, dunia sangat tidak adil untuknya.

Baru. Rara baru merasakan kebahagiaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, tapi mengapa diambil secepat itu? Semudah itu? Terlalu banyak kah dosanya hingga Tuhan saja enggan memberikan kedamaian dalam dirinya.

Apa Mama tengah menghukum Rara karena Rara menjadi anak yang nakal?

Apa Mama diatas sana tidak ridho, karena Rara pernah membentak Mama?

Dalam tangisnya serta napas yang tersendat-sendat. Rara baru menyadari bahwa semesta punya caranya masing-masing untuk mendewasakan kita, sebagai umat manusia. Karena semesta dan takdir itu ibaratkan sebuah surat dan perangko yang tak akan pernah terpisah.

Dan, semesta kita masing-masing, punya andil besar dalam menentukan takdir apa yang akan kita buat di masa yang akan datang. Karena Semesta dan takdir akan terbentuk dengan rapih jika kita berusaha karena akhir dari takdir ada pada usaha yang kita usahakan.

Makanya. Rara ingin sesegera mungkin sampai didepan Anggar, ia ingin melihatnya.

Rara menarik napas panjang, mencoba untuk menenangkan dirinya. Menahan gemetar yang melingkupi jemari serta bibirnya. Ia mengigit-gigit kecil bibirnya lalu mengeluarkan ponselnya.

Jika Tuhan mau mengabulkan doanya kali ini. Jika tuhan mau sedikit saja menolongnya kali ini, ia akan sangat bersyukur, ia akan sangat berterimakasih. Rara akan berjanji tidak akan menjadi anak nakal lagi untuk Alm. Mama dan Papa, ia akan menyanyangi Anggar lebih dari apapun.

Rara akan menjaganya, sepenuh jiwa.

Rara menulis beberapa paragraf pada laman compose E-mail di Hp-nya. Walau masih sedikit terisak, ia berusaha fokus menuliskan isi hatinya, walau ia tau e-mail itu tidak akan pernah sampai. Tapi balik lagi, semesta akan membantu jika kita berusaha. Akhir dari takdir merupakan usaha yang kita usahakan.

To : Anggarsadadi@gmail.com From : Azarraanahita@gmail.com

Hello, Anggar. Can I call you love? I really want to say that in front of you. Kamu pernah nanya ke saya “Saya cheesy ya Ra?”, Jujur saya pengen ketawa dengernya, tapi saya pilih diem, soalnya kamu bikin saya mati gaya. Kalau saya langsung jawab jujur, mungkin saya bakal jawab kalau kamu romantis. No, you're not cheesy at all, I meant sometimes your pickup lines are cheesy, but well, saya receh, jadi saya suka.

Okay, here's the thing... So... deep down in my heart, I wanna say sorry. Sorry. I was the problem. We never really talked about ourselves. I thought you didn't see me that way. I thought you didn't care about me that much. Yup, bener kok, gak cuman kamu, dan bukan selalu salah kamu, it's just not only you. I was bad in communication too, like, sometimes, I'm scared to find out the truth about your feelings. I'm scared that you'd have never felt what I feel.

I was wrong.

It seems like our first met is not our first meet, and that's not the beginning of your feelings. Yes, indeed, I was surprised that I would marry someone that is my lecturer. Siapa yang gak kaget? saya otomatis benci kamu, ya dari awal saya juga gak suka karena kamu nyebelin banget dikelas. Dasar keponakan tuhan! Ya pokoknya, saya bener-bener speechless pas tau nikahnya sama kamu. Saya heran, Mama nemu di kolong jebatan bagian mana.

That's why I'm upset with you. You drive me crazy. And, when you came to my house for the first time, saya langsung benci sama kamu, tuhkan saya bilang benci lagi. At the beginning of our marriage, waktu kita awal-awal tinggal bareng, you could say it was a little bit awkward. I was wondering about all of your kindness, is it real or fake, I saw the sincerity, but I always thought that I was just the expectations fulfiller.

Sampai akhirnya, banyak hal yang kita lewatin, saya gabisa nyebutin satu-satu, kamu terlalu sempurna buat saya. Awalnya saya mikir gitu, hingga saya terus terusan nemuin segala macem masa lalu kamu, gak hanya kamu yang nemuin masa lalu saya, kita seri. Saya pernah denger pepatah two damaged people can survive together, dan saya yakin seharusnya itu berhasil dikita, masalah kita adalah tertalu tertutup satu sama lain, hingga kita gak sadar kita saling nyakitin.

Gak banyak yang mau saya sampaikan, karena saya inginnya menyampaikan keseluruhan hati saya didepan kamu, dengan kondisi sadar, dengan kondisi sehat, dan bisa tertawa lebar. Saya mau liat mata kamu yang menghilang sewaktu senyum kamu mengembang.

Saya gak tau harus ngomong apa lagi, saya maunya ketemu kamu, e-mail ini hanya sebuah doa saya, dan angan saya. Anggap aja kamu baca tulisan ini, at least for me.

Looking forward, Rara, your reason for living.

Tepat saat Rara memencet icon send, taksi yang ia tumpangi sampai pada lobby rumah sakit. Karena tak membawa dompet, Rara hanya memberikan alamat rumahnya sebagai jaminan, kebetulan para taksi disana sudah hapal dengan para penghuni komplek Rara.

DRAP DRAP DRAP

Rara berlari ke arah meja resepsionis, bertanya perihal nomor kamar dan nama pasien kepada resepsionis yang berjaga disana.

“Iya, betul, memang benar, tapi-

Rara langsung melengos, kala ia mendapat validasi dari sang resepsionis. Ia langsung berlari menuju lorong, punggungnya kian jauh. Resepsionis itu terdiam sejenak, lalu menghela napasnya.

”.. udah gak ada.” lanjut resepsionis itu sendirian.